”Malaikat Penolong” di Tengah Perang Ukraina-Rusia (Bagian 25)
Dalam kecamuk perang, aneka bahaya rutin menghadirkan ketakutan. Pengepungan membuat warga sulit mendapat makanan. Dalam situasi seperti itu hadir orang-orang yang dengan ringan membantu dan menguatkan sesama.
Rasa kemanusiaan dan solidaritas terkadang muncul di tengah kebrutalan perang. Tak terkecuali pada perang Ukraina-Rusia. Meskipun sama-sama menjadi korban, ada saja yang merelakan diri untuk tetap berbuat baik bagi sesama.
Pada 24 Februari 2022 pagi, Miroslav Shylo (23) terperanjat dibangunkan sang istri. ”Perang sudah mulai,” kata istrinya sembari menunjuk lewat jendela. Jajaran tank-tank Rusia melintas di jalanan kota Trostyanets, Provinsi Sumy, Ukraina. Rasa khawatir dan bingung berkelindan jadi satu.
Baca juga: Menyelami Tragedi Kemanusiaan, Mengabarkan Sekecil Apa Pun Upaya Perdamaian (Bagian 1)
Miroslav Shylo adalah pemilik restoran Beerloga di Trostyanets, yang merupakan restoran terbesar di kota kecil itu. Dia mengelola restoran yang diwariskan oleh orangtuanya. Di saat normal, restoran itu ramai dikunjungi orang.
Meskipun tank-tank Rusia berkeliaran di Trostyanets, tidak ada serangan saat itu. Namun, warga panik dan menyerbu pasar swalayan dan minimarket untuk memborong bahan makanan karena ingin mengamankan stok pangan di rumah di tengah kepungan pasukan Rusia pada pengujung musim dingin itu.
Pasukan Rusia menguasai kota kecil itu dalam tiga hari sejak kedatangan mereka. Setelah diduduki Rusia, kota itu nyaris lumpuh karena pejabat pemerintah daerah dan petugas kepolisian mengungsi keluar kota bersama dengan sekitar 4.500 warga lain.
”Saya tidak mengungsi karena masih punya bayi berusia lima bulan. Terus kami juga masih ada pegawai. Jadi, kami lebih baik diam di rumah meskipun restoran tutup,” kata Shylo saat kami temui, Minggu (26/6/2022), di Trostyanets.
Saat itu, Trostyanets juga mendadak diisolasi di tengah musim dingin. Sebagian warga yang memilih tinggal di dalam kota dan tidak memiliki stok makanan di rumah mulai dilanda kelaparan. Adapun pasar swalayan, minimarket, termasuk rumah makan, tutup.
Sehari berselang setelah Trostyanets dikuasai Rusia, keluarga Shylo mengambil inisiatif untuk membuat roti di restoran bersama empat pegawai mereka dengan bahan yang tersisa. Ada sekitar 100 kilogram tepung terigu bersama bahan lain yang dapat dijadikan roti dan dibagikan gratis kepada warga.
Baca juga: Menembus Jantung Perang Eropa (Bagian 2)
Upaya Shylo dan keluarganya untuk membagikan roti secara gratis ini diunggah di laman Facebook sehingga banyak warga Trostyanets lain juga tergerak membantu. Ada pengusaha yang turut menyumbang tepung terigu untuk bahan roti. Selain itu, ada 20 sukarelawan yang bersedia membantu membuat roti.
Alhasil, Shylo, empat pegawai, dan sukarelawan mampu membuat 1.700 roti per hari untuk dibagikan kepada warga yang kelaparan secara gratis. ”Pada minggu pertama saat masih ada listrik bisa membuat 1.700 roti per hari. Setelah itu, listrik mati sehingga terpaksa memakai generator sehingga hanya bisa membuat 800 roti per hari,” ujarnya.
Ketika listrik mati, ada juga warga lain yang membantu bahan bakar hingga 300 liter. Selama 28 hari, dapur restoran itu terus menyala 24 jam nonstop untuk membuat roti. Setiap hari, warga berbondong-bondong memadati restoran tersebut.
Selain menjadi semacam dapur umum untuk membuat roti, aktivitas lain juga dipusatkan di restoran Beerloga, termasuk menampung bantuan kemanusiaan, mendata warga, hingga mengantarkan warga yang sakit ke rumah sakit. Restoran ini menjadi semacam pusat informasi menggantikan kantor pemerintahan kota.
Baca juga: Solidaritas Kemanusiaan Tanpa Batas bagi Pengungsi Ukraina (Bagian 3)
Bendera Palang Merah pun dipasang di atas restoran itu untuk menunjukkan bahwa bangunan itu dijadikan pusat bantuan kemanusiaan. ”Apa pun yang bisa saya perbuat saya lakukan. Karena saya memahami situasi sulit saat itu,” ujar Shylo.
Pada akhir Maret, setelah Rusia meninggalkan Trostyanets dan tidak ada lagi isolasi bagi warga, Shylo menghentikan operasionalisasi restorannya untuk membuat roti. Namun, dia tetap menyediakan makan malam gratis sebanyak 150 porsi bagi warga yang belum memiliki bahan makanan di rumah.
Baca juga : Adaptasi Warga Kyiv di Tengah Perang (Bagian 4)
Setelah 15 Juni 2022 ketika kondisi perlahan pulih, Shylo hanya menyediakan makan malam secara gratis pada hari Sabtu. Kendati menyiapkan makan malam gratis bagi warga, restoran Beerloga belum beroperasi secara normal. Dia memahami daya beli masyarakat masih belum membaik di tengah kecamuk perang.
Tempat perlindungan
Di belahan lain Ukraina, Vitaly Lavrenko (36) dan sejumlah orang yang berlindung di ruang bawah tanah (rubanah) salah satu rumah susun di pinggiran kota Sumy menemukan keakraban di antara mereka. ”Sebelum perang, kami sama sekali tidak mengenal sebagian besar orang di tempat perlindungan. Perang membuat kami saling mengenal satu sama lain,” ujarnya.
Selama di tempat perlindungan, mereka pernah merayakan ulang tahun dua pria yang datang dari luar kota Sumy. ”Kami baru kenal selama di tempat perlindungan. Sebelum itu, tidak ada bayangan kami akan bisa saling kenal,” ujarnya.
Baca juga: Banyak Pembatasan akibat Perang Ukraina, Penting Tetap Jaga Kewarasan (Bagian 5)
Bersama sejumlah penghuni tempat perlindungan, Lavrenko mencari bahan pangan, air, hingga obat-obatan. Tempat perlindungan itu memang sudah lama disiapkan sebagai antisipasi jika Ukraina diserang. Semasa menguasai Ukraina sampai 1951, Uni Soviet membangun banyak tempat perlindungan di Ukraina.
Meski dari kecil sudah tahu soal tempat itu, Lavrenko dan banyak orang di sekitarnya nyaris tidak pernah masuk ke tempat perlindungan. Karena itu, saat akhirnya harus dipakai, tidak ada stok makanan, obat, dan air. Tempat tidur pun terbatas.
Anak-anak dan orang berusia di atas 65 tahun mendapat prioritas memakai tempat tidur. Sementara makanan dan air dibagi rata.
Baca juga : Rudal Rusia Kejutkan Angelina (Bagian 6)
”Kami hanya punya 300 liter air. Jaringan penyedia air tidak berfungsi. Untung listrik dan pemanas tetap beroperasi,” katanya.
Pemanas penting karena sampai Maret 2022 masih musim dingin di Ukraina. Bahkan, salju turun di Sumy pada Maret 2022. ”Saya tidak pernah sebahagia itu melihat salju. Padahal, dari kecil saya sudah melihat salju di halaman rumah dan tempat kerja,” ujarnya.
Baca juga : Kisah Kyra dan Yarina di Depan Gereja St Michael (Bagian 7)
Jaringan pemasok air yang tidak berfungsi membuat Lavrenko dan penghuni tempat perlindungan mengharapkan salju turun. Dengan demikian, mereka bisa merebus salju dan meminumnya. ”Waktu salju turun, saya langsung bersiap mengeruk dan memasukkanya ke ember. Waktu benar-benar mengeruk, ternyata saya tidak sendiri. Semua berpikir menjadikan salju sebagai air,” tuturnya.
Ia masuk ke tempat perlindungan pada awal Maret 2022 dan bertahan di sana sampai awal April 2022. ”Saya mencarinya bersama seorang tetangga di rumah susun. Dari 18 unit, hanya dua unit masih ada penghuninya pada awal Maret. Sisanya mengungsi, tidak tahu ke mana,” katanya.
Ia tidak mengungsi karena seluruh keluarga besarnya di Sumy. ”Saya tidak tahu ada yang mengharapkan kedatangan kami di luar Sumy. Saya tidak punya bayangan harus mengontak siapa di luar Sumy,” ujarnya.
Baca juga : Gaung Harapan di Maidan, Segera Berakhirlah Perang Ini (Bagian 8)
Selain itu, ia masih masuk usia wajib militer sehingga tidak mungkin meninggalkan Ukraina. Ia tahu beberapa orang yang berpisah dengan keluarganya karena anak dan istri mengungsi, sementara ayah berada di garis depan.
”Sebagian masih terpisah sampai sekarang. Pengungsi mau pulang, sementara ayah di garis depan tidak tahu kapan waktunya keluarga bisa pulang karena tidak diketahui kapan akan aman,”ujarnya.
Baca juga : Perang Pertama Gelenna (Bagian 9)
Pada saat perang dan kondisi sulit, kemunculan sosok Shylo atau Lavrenko menjadi semacam dewa penolong bagi warga yang kesulitan dan ketakutan. Meskipun mereka juga menjadi korban, mereka menyadari ada warga lain yang lebih membutuhkan pertolongan.
----------
Serial lainnya liputan khusus Perang Ukraina-Rusia:
Aplikasi Digital Penolong Warga Kyiv (Bagian 10)
”Surga” Dunia Malam saat Damai, ”Surga” bagi Korban Saat Perang (Bagian 11)
Sejak Meletus Perang Ukraina, Etha Selalu Tidur Bersama Senjata (Bagian 12)
Dari Mariupol ke Kyiv, Perang Ukraina-Rusia Itu Mengerikan (Bagian 13)
Perang Mengejar Lyudmila dari Severodonetsk ke Bucha (Bagian 14)
Mereka Berupaya Memulihkan Trauma dari Horor di Borodyanka (Bagian 15)
Keindahan Sirna di Mata Anak-anak Muda Ukraina (Bagian 16)
Ilya dan Generasi Baru Pengungsi yang Lahir di Tengah Perang Ukraina-Rusia (Bagian 17)
Kode Jari Menembus Markas Milisi di Ukraina Selatan (Bagian 18)
Hasrat Sergei dan Sebotol Air di Garis Depan (Bagian 19)
Sievierodonetsk Jatuh, Kendali Rusia Meluas di Ukraina Timur (Bagian 20)
Perang Mengubah Jalan Hidup Warga Ukraina (Bagian 21)
Kisah dari Parit Pertahanan di Garis Depan (Bagian 22)
Korban Perang di Ukraina Bangkit dari Puing Serangan Bom (Bagian 23)
Diplomasi Jokowi dari Kyiv ke Moskwa, Indonesia Siap Damaikan Ukraina-Rusia (Bagian 24)