Solidaritas Kemanusiaan Tanpa Batas bagi Pengungsi Ukraina (Bagian 3)
Digerakkan tanggung jawab sebagai sesama manusia, WNI di Polandia tergerak membantu para pengungsi Ukraina di negara itu. Mereka membuka pintu rumah untuk tempat tinggal pengungsi.
Oleh
KRIS MADA, HARRY SUSILO, dari Warsawa, Polandia
·4 menit baca
WARSAWA, KOMPAS - Perang Ukraina sekali lagi menunjukkan solidaritas kemanusiaan tanpa batas. Penduduk Polandia, termasuk warga Indonesia di sana, membuka rumah mereka untuk menampung pengungsi dari Ukraina.
Bantuan kepada pengungsi Ukraina di Polandia masih terus berlangsung. Sebagian penduduk Polandia membantu secara spontan. ”Ini tanggung jawab sebagai manusia. Kami menerima siapa pun tanpa memandang latar belakang ras, agama, asal negara. Tidak ada yang bisa memilih dilahirkan di mana. Saya tidak bisa membenarkan jika harus pilih-pilih,” kata pendiri dan Presiden Fundacja Sakinah Foundation, Usman Iftikhar, Selasa (7/6/2022), di Warsawa.
Didirikan pada 2014, yayasan itu menjadi salah satu lembaga yang aktif membantu pengungsi Ukraina. ”Sepanjang perang, paling tidak 300 pengungsi kami bantu secara langsung. Sebagian lagi kami bantu secara tidak langsung,” katanya.
Bantuan langsung adalah menyediakan tempat tinggal, mengurus izin tinggal, dan memberikan makanan. Bantuan tidak langsung adalah mencarikan informasi di mana pengungsi bisa tinggal atau cara melanjutkan perjalanan. ”Tidak semua memilih tinggal di sini karena berbagai alasan,” ujar pria yang sehari-hari bekerja di bank itu.
Ayrton Wibowo juga menggunakan rumahnya untuk membantu pengungsi Ukraina. Warga Indonesia yang tinggal di Lodz, Polandia, itu menampung total hampir 20 keluarga sejak perang meletus. ”Sebagian masih di sini, sebagian lagi sudah ke tempat atau negara lain,” katanya.
Pemilik Podkawa, perusahaan importir dan pengolah kopi dari Indonesia untuk dipasarkan di Polandia, itu mengatakan bahwa mereka hanya sebagian dari penduduk Polandia yang spontan membantu. ”Sejak perang meletus, ada banyak spontanitas membantu pengungsi. Kami tergerak karena sama-sama manusia,” ujarnya.
Ia dan istrinya, Kinga, terutama tergerak karena sebagian besar dari 3,6 juta pengungsi Ukraina di Polandia merupakan perempuan dan anak. ”Sebagai ayah, saya tidak bisa diam saja melihat anak-anak dalam kesulitan. Sebagai orangtua, saya memahami beratnya kondisi yang dialami pengungsi,” katanya.
Seperti banyak penduduk Polandia lainnya, ia aktif mendatangi pusat-pusat penampungan dan informasi pengungsian di Lodz. Di sana, ia mencari tahu pengungsi yang bersedia tinggal di rumah keluarganya di pinggiran Lodz.
Bersama kerabat dan kenalannya, mereka juga membantu pengungsi mencari informasi untuk melanjutkan perjalanan ke tempat atau negara lain. Sementara bagi yang tinggal, mereka membantu mengurus izinnya. ”Kami membantu mendapatkan nomor jaminan sosial, nomor kependudukan. Jadi, pengungsi bisa bekerja, sekolah, dan tinggal secara legal di Polandia,” ujarnya.
Usman dan Ayrton tahu, Pemerintah Polandia memberikan subsidi kepada orang yang mau menampung pengungsi. ”Saya tidak mengejar itu. Sepeser pun saya tidak mengambil imbalan dari kegiatan di yayasan. Gaji saya sudah cukup dari bekerja di bank,” kata Usman.
Salah satu alasan Usman tidak mengajukan subsidi adalah butuh proses panjang. Harus ada verifikasi dari pemerintah untuk memastikan penerima subsidi benar-benar menampung pengungsi. Proses itu tidak selesai dalam satu atau dua hari. Padahal, sebagian pengungsi hanya tinggal di tempat Usman beberapa hari. ”Sebagian hanya mencari tempat tinggal sementara sebelum melanjutkan perjalanan,” katanya.
Yayasan Sakinah memang tidak hanya menampung orang Ukraina. Warga sejumlah negara yang berada di Ukraina lalu terpaksa mengungsi karena perang juga ditampung di yayasan itu.
”Saya tidak bisa diam saja saat banyak orang butuh bantuan. Anda tahu ada jutaan orang berusaha keluar Ukraina dan tidak bisa mulus keluar dari sana,” ujarnya.
Ayrton mengatakan, bantuan kepada pengungsi diberikan dari hasil sumbangan berbagai pihak dan dana pribadi. Bahkan, Ayrton memberikan sebagian kopi olahannya kepada sebagian penyumbang.
Sumbangan bukan hanya uang. Aneka barang dan keterampilan juga diperlukan untuk menolong pengungsi. ”Saat datang, sebagian dari mereka hanya punya beberapa baju. Di sini kami mengumpulkan baju dan barang-barang lain,” katanya.
Keterampilan yang dimaksud antara lain membantu pengungsi memulihkan trauma perang. ”Kami merujuk ke beberapa psikolog di sini. Sebagian menyediakan gratis. Sebagian dari layanan kesehatan pemerintah,” ujarnya.
Polandia memang mendukung penuh Ukraina. Warsawa sampai membuat undang-undang sebagai dasar hukum menolong pengungsi. Setiap pengungsi mendapatkan tunjangan awal 300 zloty (sekitar Rp 1 juta). Sementara keluarga yang menampung mendapatkan mulai dari 18 zloty (Rp 60.000) per hari per pengungsi untuk periode maksimal 60 hari. ”Saya tidak mencari itu. Malah saya mau menawarkan mereka pekerjaan di tempat saya. Kalau mereka mau, mereka bisa bekerja di sini,” kata Ayrton.
Usaha perdagangan dan pengolahan kopi yang dikelola Ayrton dan Kinga masih membutuhkan pegawai. Kebetulan, pelanggan Podkawa semakin banyak.
Bagi Usman dan Ayrton, tidak tepat memikirkan imbalan saat menolong orang dalam kesusahan. ”Mungkin saya mendapat imbalan dalam bentuk lain. Barangkali kemudahan dalam berbagai urusan, kesehatan, atau bisa tidur nyenyak,” ujar Usman.
Ia juga mengaku, yayasan itu didirikan untuk mengenang neneknya. Nama yayasan diambil dari nama neneknya. ”Nenek meninggal waktu saya masih 6 tahun. Saya mengingat nenek sebagai orang penuh kasih sayang. Saya ingin mendedikasikan kegiatan di yayasan ini untuk merawat warisan nilai dari nenek. Juga, barangkali, berharap nenek didoakan,” katanya.
Ayrton menyebut, siapa pun dalam posisinya pasti akan melakukan hal yang sama. ”Ini natural saja, menolong sesama manusia. Mana mungkin bisa diam saja,” ujarnya.
Ayrton, Usman, dan jutaan orang Polandia membuktikan solidaritas kemanusiaan selalu terwujud saat dibutuhkan.