Dari Mariupol ke Kyiv, Perang Ukraina-Rusia Itu Mengerikan (Bagian 13)
Warga Mariupol, kota pelabuhan di Ukraina tenggara dan salah satu titik pertempuran tersengit pasukan Ukraina-Rusia, tak akan dapat melupakan gambaran perang yang mengerikan.
KYIV, KOMPAS – Sergei (64) harus menyusun ulang rencana pensiun. Anna terpaksa mengurus dokumen untuk anak-anaknya. Svitlana berpisah dari taman kanak-kanak tempatnya mengajar selama 25 tahun. Semua karena satu hal yang sama: Mariupol hancur dalam perang Ukraina-Rusia.
Mariupol adalah kota pelabuhan di wilayah tenggara Ukraina. Kota ini pernah menjadi salah satu titik pertempuran tersengit antara pasukan Ukraina dan Rusia. Selama hampir tiga bulan, kota itu dikepung dan digempur militer Rusia yang menyerang Ukraina sejak 24 Februari 2022.
Sedemikian luluh lantak kerusakannya akibat pertempuran itu, Mariupol digambarkan seperti kota-kota lain di dunia yang hancur total akibat perang, yakni Guernica (Spanyol), Stalingrad, Grozny (Rusia), dan Aleppo (Suriah). Pada pertengahan Mei, Mariupol akhirnya jatuh ke tangan Rusia.
Baca juga : Menyelami Tragedi Kemanusiaan, Mengabarkan Sekecil Apa Pun Upaya Perdamaian (Bagian 1)
Sebagai pensiunan mualim kapal niaga internasional, Sergei punya cukup tabungan untuk hidup di apartemennya di tengah Mariupol. Sejak istri dan orangtuanya meninggal, sementara putrinya tinggal di Kyiv sudah beberapa tahun, ia tinggal sendirian di Mariupol.
Perang memaksanya meninggalkan apartemen yang sudah beberapa tahun dihuninya. ”Sudah tak ada lagi alasan saya kembali ke sana. Mungkin, jika keadaan lebih tenang, saya akan sekali datang dan melihat ke sana. Setelah itu, kembali dan tinggal di sini,” ujar Sergei saat kami temui di Kyiv, sekitar 915 kilometer barat laut Mariupol, Rabu (15/6/2022).
Sergei baru mengambil dua kantong bahan makanan dari kantor YaMariupol cabang Kyiv. YaMariupol adalah lembaga yang dibentuk Pemerintah Kota Mariupol untuk membantu warga Mariupol di pengungsian. Tidak hanya warga biasa, Wali Kota Mariupol Vadym Boichenko juga mengungsi dari kota itu. Sejak Mei 2022, Boichenko meminta warganya tak lagi balik ke Mariupol selama kota itu masih diduduki Rusia.
Baca juga: Menembus Jantung Perang Eropa (Bagian 2)
Dari pengungsian, Boichenko, antara lain, membentuk 11 kantor YaMariupol di berbagai penjuru Ukraina. Seluruh sukarelawan dan yang dilayani lembaga itu adalah penduduk Mariupol yang mengungsi. ”Di sini (Kyiv) ada 20.000 orang Mariupol,” kata Valerina, sukarelawan YaMariupol di Kyiv.
Terjebak baku tembak
Valerina juga warga Mariupol yang mengungsi ke Kyiv. Ia tiba di Kyiv sebelum perang meletus di Mariupol. Sementara Sergei, Svitlana, dan Anna sempat terperangkap beberapa pekan di Mariupol. ”Keluar rumah saja tidak berani. Saya bisa melihat orang baku tembak dari jendela apartemen. Tentara melarang kami keluar,” kata Sergei, menuturkan situasi pertempuran.
Ketika akhirnya bisa ke tempat parkir dan mengambil kendaraan, ia segera menuju keluar kota. Perjalanan yang biasanya 3 jam jadi 9 jam. Banyak pos pemeriksaan dibuat tentara Rusia, milisi Donetsk pendukung Rusia, serta tentara dan milisi Ukraina yang harus dilalui Sergei dan rekan-rekannya.
Salah satu perintah pemeriksa di pos-pos buatan Rusia dan milisi Donetsk adalah menghapus semua foto dan video yang merekam kehancuran Mariupol. ”Saya turuti karena mereka punya senjata. Itu alasan utama dan pertama. Tidak perlu cari alasan lain,” ujar Sergei.
Keluar dari Mariupol membuatnya dari semula orang mandiri menjadi orang yang butuh pertolongan. Dari punya pendapatan bulanan yang bersumber pada tabungan pensiun, Sergei kini harus menjadi penerima bantuan kemanusiaan dan tunjangan. Ia menerima keadaan itu.
”Saya sudah cukup dengan kehidupan ini. Saya sudah tidak perlu apa-apa. Saya bersyukur masih bernapas dan tertawa bersama orang-orang Mariupol. Banyak orang Mariupol sudah mendahului saya (meninggal),” tutur Sergei.
Kehidupan yang hilang
Svitlana juga berbahagia bisa kembali berkumpul dengan anak-anak. Selama 25 tahun ia menjadi guru TK. Perang membuat rumah dan TK tempat ia mengajar hancur. ”Saya tidak berani berharap bisa kembali mengajar dan pulang ke rumah. Semua sudah rusak,” katanya.
Baca juga : Solidaritas Kemanusiaan Tanpa Batas bagi Pengungsi Ukraina (Bagian 3)
Terakhir kali ia tahu, menara rumah susun tempat ia tinggal sudah rusak terkena peluru dan pecahan bom. Nyaris mustahil memperbaiki rumah susun yang terdiri dari ratusan unit di setiap blok itu.
Harapan Svitlana untuk kembali mengajar juga nyaris hilang sama sekali selama mengungsi hampir sebulan di Zhaporizhzhia, sekitar 227 kilometer barat laut Mariupol. Ia bisa masuk ke sana setelah hampir sebulan terperangkap di Mariupol. Setelah koridor aman dibuka, ia bersama banyak orang meninggalkan Mariupol, kota yang sudah ditinggali selama puluhan tahun.
Baca juga : Adaptasi Warga Kyiv di Tengah Perang (Bagian 4)
Dari Zhaporizhzhia, Svitlana menuju ke Kyiv. Di ibu kota Ukraina ini, akhirnya ia mendengar ada YaMariupol. Di sana ia menjadi salah satu sukarelawan. Karena berpengalaman puluhan tahun menjadi guru TK, ia menjadi sukarelawan bagian penanganan anak-anak. Tugasnya membuat anak-anak tertawa, sejenak melupakan kesulitan yang harus dialami pada tahun-tahun awal masa hidup mereka.
Trauma perang
Usia anak yang ditangani Svitlana beragam. Ada yang belum bisa berjalan. Ada juga anak-anak berusia 10 tahun. ”Sedapat mungkin kami membantu mereka melupakan hal mengerikan beberapa bulan lalu. Hal yang tidak seharusnya terjadi pada mereka,” katanya.
Baca juga : Banyak Pembatasan akibat Perang Ukraina, Penting Tetap Jaga Kewarasan (Bagian 5)
Salah satu anak yang datang ke ruang kerja Svitlana adalah Elizabeth (2). Ia datang bersama ibunya, Anna. ”Saya masuk ke sini tanpa harapan apa-apa. Saya baru sekali ke sini dan melihat ruang untuk anak-anak. Jadi, saya masuk,” kata Anna.
Ia datang bersama suaminya. Mereka mendengar ada lembaga untuk membantu orang Mariupol di Kyiv. Tujuan utama mereka datang adalah mengurus sejumlah dokumen. Mengungsi dalam keadaan darurat membuat sebagian dokumen tidak diketahui keberadaannya.
Baca juga : Rudal Rusia Kejutkan Angelina (Bagian 6)
Valerina mengatakan, memang ada layanan pendampingan hukum dan hak sipil. Tugasnya, antara lain, membantu pengungsi mendapatkan salinan aneka dokumen kependudukan. Sukarelawan lembaga itu mengomunikasikan kebutuhan dokumen pengungsi ke pemerintah.
Selain itu, ada pula layanan psikologi dan kesehatan. Seperti yang diperoleh Sergei, ada juga layanan bantuan pangan bagi yang mau. Menurut Sergei, bantuan yang diterimanya cukup untuk kebutuhan paling tidak dua pekan.
Valerina mengatakan, hanya ada satu psikolog di YaMariupol cabang Kyiv. Padahal, banyak orang membutuhkan konseling untuk menyembuhkan trauma karena terjebak perang.
“Kami tidak tahu berapa banyak orang membutuhkan layanan konseling. Hal yang jelas, jika ditanyakan apakah ada kekurangan psikolog untuk menjadi sukarelawan, jelas sangat kurang,” kata Valerina.
Secara keseluruhan, layanan YaMariopul di kantor Kyiv masih kekurangan tenaga. Dari 20.000 pengungsi Mariupol di Kyiv, baru 6.000 orang terlayani. “Sebagian besar masih tinggal di sekitar Kyiv. Masih banyak orang lain perlu bantuan,” ujarnya.
Baca juga : Kisah Kyra dan Yarina di Depan Gereja St Michael (Bagian 7)
Perang memaksa mereka mengalami hal yang tidak pernah dibayangkan hampir sepanjang hidup. Selain kehancuran aneka harta benda yang dikumpulkan bertahun-tahun, perang juga menimbulkan kengerian bagi banyak orang. Teriakan kesakitan, darah dari tubuh yang terluka, orang yang meninggal, hingga suara ledakan bom membekas di benak banyak orang.
----------
Serial lainnya liputan khusus Perang Ukraina-Rusia:
Gaung Harapan di Maidan, Segera Berakhirlah Perang Ini (Bagian 8)
Perang Pertama Gelenna (Bagian 9)
Aplikasi Digital Penolong Warga Kyiv (Bagian 10)
”Surga” Dunia Malam saat Damai, ”Surga” bagi Korban Saat Perang (Bagian 11)
Sejak Meletus Perang Ukraina, Etha Selalu Tidur Bersama Senjata (Bagian 12)