Tantangan Berat Pemulihan dari Pandemi
Dunia menghadapi tantangan berat dalam upaya pemulihan dari pandemi. Ketimpangan vaksinasi global hingga pertarungan kekuatan besar menghambat pemulihan itu. Tantangan bagi Indonesia jika mau sukses sebagai Ketua G-20.
Jauh-jauh hari sebelum vaksin Covid-19 diproduksi secara massal dan didistribusikan ke berbagai penjuru dunia untuk vaksinasi global, banyak kalangan mengingatkan bahaya nasionalisme vaksin. Istilah ini merujuk pada kecenderungan negara-negara menumpuk vaksin secara serakah dan menyuntikkan untuk warganya sendiri tanpa memedulikan warga negara lain.
Istilah itu kini sudah jarang terdengar. Namun, dampak yang ditimbulkannya menghadang di depan: ketimpangan vaksinasi antara negara kaya dan negara miskin. Direktur Program Kesehatan Global pada Council on Foreign Relations (CFR) Thomas J Bollsky dan peneliti senior pada Peterson Institute for International Economics, Chad P Bown, menyebut fenomena itu sebagai ”tragedi nasionalisme vaksin”.
”Nasionalisme vaksin tidak hanya tercela secara moral dan etis,” tulis keduanya di jurnal Foreign Affairs (September/Oktober 2020). ”Jika negara-negara kaya, memilih jalan itu, akhirnya semua negara bakal menjadi pecundang. Namun, dunia rupanya tak ditakdirkan mampu belajar dari jalan sulit ini.”
Setahun sudah vaksinasi global berlangsung, banyak nyawa terselamatkan, tetapi pandemi masih jauh dari berakhir. Menjelang pergantian tahun menuju 2022, dunia dibuat kalang kabut dengan kemunculan varian baru Covid-19, Omicron. Varian baru ini terdeteksi di Afrika Selatan dan telah menyebar ke dunia, memicu lonjakan infeksi. Kantor berita AFP, Kamis (30/12/ 2021), mencatat kasus baru harian Covid-19 pertama kali sejak awal pandemi menembus 1 juta.
Baca juga: Omicron Mulai Mendominasi di Beberapa Negara
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyetujui 10 vaksin Covid-19. Ini belum termasuk sejumlah vaksin yang mendapat persetujuan di beberapa negara, termasuk Rusia. Sejumlah negara, termasuk Indonesia dengan vaksin Merah-Putih, terus mengembangkan produksi vaksin sendiri.
Sejak vaksinasi global dimulai tahun 2020, sekitar 10 miliar dosis vaksin diproduksi. Diperkirakan, setahun produsen vaksin mampu menyediakan 12 miliar dosis vaksin. Namun, ada masalah soal ketimpangan dalam distribusi dan vaksinasi.
Lebih dari 70 persen vaksin Covid-19 yang diproduksi pada 2021 diborong negara berpendapatan tinggi dan menengah- tinggi. Hanya kurang dari satu persen jatah negara-negara berpenghasilan rendah. Vaksinasi lengkap di Portugal, misalnya, sudah 80 persen dari populasi, sementara di Nigeria masih kurang dari 2 persen populasi.
Di tengah kesenjangan vaksinasi itu, seiring merebaknya varian Omicron, banyak negara berpacu menyuntikkan dosis vaksin penguat (booster) pada warganya. Israel bahkan sudah memulai suntikan vaksin keempat bagi tenaga kesehatan.
Baca juga: Takut Omicron, Warga AS Bergegas Vaksin "Booster"
Ini bukan hanya persoalan distribusi agregat vaksin, sebut Prashant Yadav, profesor pada Manajemen Teknologi dan Operasi INSEAD dan dosen pada Harvard Medical School. Ia menyoroti terpusatnya tempat- tempat produksi vaksin di Eropa, AS, Inggris, China, dan India. Perlu perluasan pusat-pusat produksi vaksin, terutama di Afrika dan Amerika Latin (Foreign Affairs, 27/12/2021).
Isu lain adalah hak atas kekayaan intelektual (HKI) vaksin Covid-19 supaya bisa diproduksi bebas. Pembahasan soal di di Organisasi Dagang Dunia (WTO) sudah setahun buntu. India dan Afrika Selatan mendorong HKI vaksin Covid-19. Indonesia di barisan mereka. Namun, Uni Eropa, Inggris, dan Swiss, mendorong jalur aturan WTO berupa pemberian lisensi pada produsen-produsen lokal.
Pertarungan kekuatan
Sepanjang tahun 2021, perhatian utama dunia tertuju pada upaya pemulihan dari pandemi Covid-19. Meski demikian, berbagai gejolak mewarnai perjalanan tahun itu. Diawali pelantikan Presiden AS Joe Biden, yang diharapkan mengembalikan negara adidaya yang dipimpinnya ke jalur multilateralisme, beberapa kawasan menjadi saksi pergolakan.
Di Asia Tenggara, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) memikul beban berat akibat kudeta militer di Myanmar, 1 Februari, yang menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi. Kasus itu menjadi bak duri dalam daging bagi ASEAN. Tawaran solusi lima konsensus pemimpin ASEAN tak digubris junta militer pimpinan Jenderal Senior Ming Aung Hlaing. Krisis Myanmar akan terus mewarnai tahun 2022 tanpa ada titik terang di depan mata.
Baca juga: Perawat Myanmar Bergerilya Tembus Blokade Junta untuk Merawat Pasien
Di Timur Tengah, ada perkembangan menggembirakan dengan tercapainya rekonsiliasi antara Qatar dan negara-negara di kawasan Teluk. Namun, di sisi lain perkembangan mengkhawatirkan muncul terkait kesepakatan nuklir Iran.
Perundingan untuk menghidupkan lagi kesepakatan tahun 2015, pascakeluarnya AS di masa pemerintahan Donald Trump, terlihat seret. Situasinya makin mencemaskan, melihat makin kencangnya atmosfer menuju konfrontasi militer antara Israel—yang ingin menghentikan ambisi nuklir Teheran dengan segala cara—dan Iran.
Perhatian dunia juga tertuju di kawasan Asia Tengah-Selatan, dengan tampilnya kembali kelompok Taliban menguasai Afghanistan. Sudah empat bulan Taliban memerintah Afghanistan, tetapi belum ada tanda-tanda kelompok itu memenuhi komitmennya, termasuk membentuk pemerintahan inklusif dan menjunjung tinggi hak-hak perempuan.
Baca juga: Di Bawah Taliban, Perempuan Afghanistan Dilarang Pergi tanpa Kerabat Laki-laki
Kegagalan pemerintahan di Afghanistan akan menambah panjang daftar krisis kemanusiaan di dunia, selain krisis di Yaman, Suriah, Sudan, Etiopia, Myanmar, dan lain-lain. Global Report on Food Crises dalam laporannya, September lalu, mencatat krisis kelaparan terbesar terjadi di Afghanistan, ditandai kekurangan pangan akut yang dialami 22,8 juta orang, lebih dari separuh populasi negara itu.
Namun, perhatian utama atas peristiwa penting lainnya sepanjang 2021 adalah persaingan kekuatan-kekuatan utama dunia, khususnya AS dan China. Dunia bergerak meninggalkan era unipolar di bawah hegemoni AS, menuju era multipolar dengan tampilnya kekuatan-kekuatan lain, termasuk China, Rusia, dan blok Eropa.
Sejak lama sebagian pengamat internasional mengingatkan potensi benturan antarkekuatan-kekuatan utama, khususnya antara AS dan China, dengan menyitir apa yang kerap disebut ”jebakan Thucydides”. Sekalipun diyakini kuat tidak akan mengarah pada perang, seperti disebut Thucydides, sejarawan Yunani kuno, dalam peristiwa kebangkitan Athena dan penguasa Sparta, rivalitas AS-China telah menghasilkan ketegangan tiada akhir.
Rivalitas AS-China melanda hampir semua arena, mulai dari isu Covid-19, ekonomi, teknologi, hingga perebutan pengaruh kawasan. Di kawasan Asia Tenggara, perebutan kekuatan besar itu terasa di kawasan terdekat, terutama di Laut China Selatan dan terkait Taiwan. Pembentukan aliansi AUKUS (Australia, Inggris, dan AS), yang diarahkan untuk menghadang pengaruh China, menambah atmosfer rivalitas itu.
Baca juga: Membaca Ambisi China di Tengah Militerisme Laut China Selatan
Sebagian kalangan, termasuk Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, di sidang Majelis Umum PBB mulai menyebut istilah ”Perang Dingin” untuk menggambarkan ketegangan AS dan China. ”Perang Dingin” yang dimaksud tentu tidak lagi diwarnai pertarungan ideologis, seperti AS-Uni Soviet. Guterres menyebut ”Perang Dingin” dengan melukiskan gambaran ketika relasi dua raksasa AS-China ”benar-benar tak berfungsi”.
Peran Indonesia
Terlihat ironis, ketika dunia tengah berjuang memulihkan diri dari pandemi, rivalitas tersebut tidak menurun dan malah menajam. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengungkapkan situasi itu menjadi bagian dari tantangan Indonesia dalam menjalankan peran, termasuk keketuaan G-20 yang akan dijalani sepanjang 2022.
Baca juga: Wawancara Khusus dengan Menlu RI: Menjaga ASEAN, Menjaga Asia-Afrika
Di G-20, bergabung kekuatan-kekuatan utama yang saat ini bersaing, seperti AS, China, Rusia, Perancis, Australia, Inggris, dan lain-lain. ”Mengelola perbedaan” kepentingan negara-negara itu, kata Retno, menjadi tantangan Indonesia saat menjadi Ketua G-20.
Dengan mengusung tema ”Recover Together, Recover Stronger”, Indonesia fokus pada tiga isu, yakni memperkuat arsitektur kesehatan global, transisi energi, dan transisi digital. Misi penguatan arsitektur kesehatan global itu menarik mengingat ada dukungan pada negara miskin dan berkembang dalam menghadapi pandemi, seperti saat ini dan ke depan.
Hal itu bisa menjadi pembeda keketuaan G-20 Indonesia dari negara-negara lain, sekaligus mengingatkan pada momen Konferensi Asia Afrika 1955. Jika berhasil diwujudkan, termasuk mengatasi ketimpangan vaksinasi Covid-19 di negara-negara miskin dan berkembang, capaian itu akan menjadi legasi Indonesia bagi dunia.
---------------
Seri Laporan Internasional Catatan Akhir Tahun 2021:
- Takhta Hegemoni Setelah Pandemi
- Dinamika Timur Tengah, dari Kota Al-Ula hingga Vienna
- Bekerja demi Kebahagiaan
- Memulihkan Marwah ASEAN
- Impian Hidup Ideal di Dunia Rekaan
- Krisis Kemanusiaan, Badai yang Tak Kunjung Berlalu
- Harap-harap Cemas Pemulihan Ekonomi Global 2022
- Tak Ada Alasan untuk Berperang
- Laut China Selatan, Babak Baru yang Makin Kompleks