Istilah ”perang dingin” mencuat di area sidang Majelis Umum PBB. Pertama, sebagai peringatan dari Sekretaris Jenderal PBB. Kedua, semacam janji dari pemimpin AS.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Meskipun ramai diperdebatkan di kalangan pengamat internasional beberapa tahun terakhir, terutama sejak Amerika Serikat (AS) dipimpin Presiden Donald Trump (2017-2021), istilah ”perang dingin” jarang terlontar dalam acara-acara diplomatik atau forum resmi internasional antarnegara. Istilah itu kerap dikumandangkan sejumlah komentator di AS, merujuk pada rivalitas AS dan Uni Soviet tahun 1950-an dan 1960-an, tetapi dipersoalkan oleh banyak pengamat.
Thomas J Christensen, Profesor Hubungan Internasional dan Urusan Publik di Universitas Columbia, AS, misalnya, menyebut tiga elemen utama dalam rivalitas AS-China yang tidak ditemukan saat perang dingin AS-Uni Soviet memanas.
Pertama, tiadanya pertarungan ideologis AS-China di tingkat global. Kedua, globalisasi dunia saat ini sulit menciptakan blok-blok ekonomi yang terbelah tajam. Dan ketiga, AS-China saat ini tidak membentuk sistem aliansi yang bermusuhan, seperti terjadi pada perang proksi di Korea dan Vietnam pertengahan abad ke-20. (Foreign Affairs, 24 Maret 2021)
Namun, istilah ”perang dingin” kembali dicuatkan Sekjen PBB Antonio Guterres menjelang hajatan rutin tahunan sidang Majelis Umum PBB. Dalam wawancara dengan kantor berita Associated Press, ia memperingatkan potensi pecahnya perang dingin baru AS-China. Ia menyebut relasi dua negara raksasa itu yang ”benar-benar tidak berfungsi”.
Ia juga menyatakan, ketika nanti dunia dilanda perang dingin, situasinya bakal lebih berbahaya dan lebih sulit ditangani. Dulu, demikian kata Guterres, AS-Uni Soviet mempunyai aturan main yang jelas dan sama-sama sadar akan bahaya nuklir. Kini, semua serba tak jelas.
Entah, apakah dimaksudkan untuk merespons pernyataan Guterres atau tidak, Presiden AS Joe Biden dalam pidatonya pada sidang Majelis Umum PBB, Selasa (21/9/2021), menegaskan bahwa AS tidak ingin memantik perang dingin baru, atau memecah belah dunia ke dalam blok-blok yang kaku. Begitu yang diucapkan semacam janji orang nomor satu di AS itu.
Namun, sudah bukan rahasia, seperti terjadi bertahun-tahun, podium di Majelis Umum PBB lebih sering hanya menjadi panggung orasi dan retorika. Sebagian orang menyebutnya sebagai tempat mengobral kata-kata (talking shop). Antara ucapan dan tindakan tidak selalu selaras.
Beberapa hari sebelumnya, dunia dikejutkan pembentukan poros aliansi baru Australia-Inggris-AS, yang dinamai AUKUS. Semua paham, itu aliansi militer guna membendung Beijing.
Rivalitas AS-China juga membentang di berbagai front, dari perdagangan, teknologi, HAM, hingga pandemi Covid-19. Semua itu hanya bisa diredam, kata Guterres, dengan memperbaiki hubungan kedua negara adidaya itu. Langkah ini tidak cukup diucapkan di podium, tetapi harus dibuktikan dalam tindakan nyata. Bukan hanya janji, melainkan juga bukti.