Takhta Hegemoni Setelah Pandemi
Amerika Serikat ingin melanjutkan kenikmatan unipolar. Namun, dunia sedang berubah. Eropa kecewa tak lagi menjadi keponakan manis AS. Sementara China-Rusia menjadi poros kekuatan baru yang terus menguat.
Pasca-Perang Dunia II, dunia berada dalam sistem bipolar dengan dua hegemon, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun, sejak keruntuhan Uni Soviet pada 1991, AS menikmati momentum unipolar dengan menjadi satu-satunya hegemon global. Sekitar satu dekade kemudian, hegemoni AS dianggap mulai mengalami erosi. Sejumlah pendapat menyebutkan bahwa peristiwa 11 September 2001 menjadi awal erosi itu.
Meski demikian, dominasi AS masih berlanjut. Namun, kadarnya berangsur-angsur berkurang seiring erosi hegemoni yang terus berlangsung. Pada masa pemerintahan Donald Trump, lajunya kian cepat dan terus berakselerasi di masa pandemi Covid-19.
Sejak 1980-an, sudah beberapa kali AS diramalkan akan kehilangan hegemoninya. Namun, berkali-kali pula AS mematahkan ramalan itu dengan tetap bertahan menjadi hegemon global. Namun kali ini, situasi dan variabel terkait sepenuhnya berbeda. Akibatnya, AS tak mudah mengulang deretan sukses ”mematahkan ramalan tentang pudarnya hegemoni AS”.
Alexander Cooley, Direktur Institut Harriman Universitas Columbia, dan Daniel H Nexon, associate professor pada Edmund A Walsh School of Foreign Service pada Universitas Georgetown, dalam artikel berjudul ”How Hegemony Ends” yang diunggah laman jurnal Foreign Affairs, Agustus 2020, menyatakan, kepemimpinan global AS tak hanya mundur, tetapi terurai. ”Dan penurunannya tidak siklis, tetapi permanen,” tulis mereka.
AS, keduanya menambahkan, masih menikmati supremasi militer. Namun, dimensi dominasi AS sangat tidak cocok untuk menghadapi krisis global mutakhir berikut efek lanjutannya. Mau berapa pun anggaran militer dialokasikan tetap tidak bisa mengembalikan proses terurainya hegemoni AS tersebut.
Sejumlah pakar hubungan internasional berpendapat bahwa era unipolar sudah lewat dan dunia menuju multipolar. China dan Rusia tumbuh semakin kuat menjadi pesaing hegemoni AS. Sementara Eropa, yang dulu berada dalam satu poros dengan AS, belakangan ingin lebih mandiri sekalipun tidak berarti berseberangan dengan AS. Negara-negara kuat dari ”Benua Biru” juga ingin kembali merasakan nikmat hegemoni, sebagaimana pernah terjadi minimal pada abad 16-19 sebelum bandul bergeser ke AS pada abad ke-20 dan ke-21.
Jalan kembali
Tahun 2021 menandai upaya AS menancapkan kembali takhta hegemoni globalnya. AS di bawah pemerintahan Joe Biden gencar kembali ke forum-forum global yang sebelumnya ditinggalkan oleh pemerintahan Trump. Menandai perjalanan internasional perdananya, Biden menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-7 di Cornwall, Inggris, 11-13 Juni. Sehari berikutnya, Biden menghadiri KTT Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Brussels, Belgia. Di Brussels, Biden juga ambil bagian dalam KTT AS-Uni Eropa (UE).
”Perjalanan (perdana) ini akan menekankan komitmennya (Biden) untuk memulihkan aliansi, merevitalisasi hubungan trans-Atlantik, serta bekerja sama erat dengan sekutu dan mitra multilateral guna mengatasi tantangan global dan mengamankan kepentingan AS dengan lebih baik,” kata Jen Psaki, Juru Bicara Gedung Putih.
Safari politik luar negeri AS terus berlanjut di bulan-bulan berikutnya. Ini tidak melulu dilakukan Biden. Banyak perjalanan dilakukan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken ke sejumlah kawasan, termasuk Asia Tenggara. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dan Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan juga melakukan misi ke sejumlah negara.
Sementara itu, Eropa yang dulu solid dalam satu poros bersama AS belakangan semakin menyadari bahwa Benua Biru tidak bisa lagi menyandarkan urusan keamanan pada AS bersama NATO-nya. Kesadaran ini sejatinya sudah muncul beberapa tahun terakhir menyusul sejumlah kebijakan AS yang membuat sekutu Eropa-nya kecewa.
Presiden Prancis Emmanuel Macron pada 2018, misalnya, telah mengatakan kepada para duta besar Perancis di luar negeri yang berkumpul di Paris bahwa Eropa tidak dapat lagi mengandalkan AS untuk menjaga keamanan mereka. ”Sepenuhnya tergantung pada kita hari ini untuk mengambil tanggung jawab dan menjamin keamanan kita sendiri, dan dengan demikian memiliki kedaulatan Eropa,” kata Macron, sebagaimana dikutip CNN, 27 Agustus 2018.
Baca juga : Tantangan Politik Luar Negeri 2022
Keputusan AS melakukan evakuasi warganya dari Afghanistan pada 15-31 Agustus 2021 tanpa konsultasi dengan sekutu membuat Eropa benar-benar masuk cakrawala baru, yakni melepaskan diri dari ketergantungan AS.
Maka, muncullah cetak biru awal yang disebut ”Kompas Strategis untuk Keamanan dan Pertahanan”, yakni skema konsolidasi kekuatan militer negara-negara Eropa untuk misi bersama. Seperti dikutip CNN per 20 November 2021, gagasan itu dipresentasikan kepada negara-negara anggota Uni Eropa pada akhir November 2021. Target agregasi kapasitas militernya mencapai 5.000 tentara.
Eropa, yang meragukan komitmen AS, saat ini tengah berusaha mengonsolidasikan kekuatan sendiri. AS selama setahun terakhir berusaha memperbaiki hubungan dengan Eropa sebagai pendukung tradisionalnya. Namun, sejauh ini rencana Eropa untuk mandiri tampaknya sudah menjadi keniscayaan. Situasi ini membawa dua implikasi sekaligus. Pertama, hegemoni AS semakin tergerus. Kedua, negara-negara kuat di Eropa akan meramaikan takhta hegemoni.
Dalam situasi tersebut, China dan Rusia yang selama berpuluh-puluh tahun dipandang sebelah mata oleh AS dan Barat ”tiba-tiba” tumbuh menjadi kekuatan yang punya potensi bersaing melawan AS dan Eropa. Keduanya juga semakin kompak.
Baca juga : AS Menggencet, China-Rusia Makin Lengket
Masih seperti dikutip dalam artikel di laman Foreign Affairs, Presiden China Jiang Zemin dan Presiden Rusia Boris Yeltsin pada April 1997 berikrar untuk mempromosikan dunia yang multipolar dan pembangunan tata internasional baru. Deklarasi yang dianggap Barat sebagai retorika kosong pada waktu itu kini menjadi semacam cetak biru dari apa yang diupayakan China-Rusia selama 20 tahun terakhir.
Sementara pembangunan negara-negara miskin dan berkembang selama beberapa dekade terakhir telah meningkatkan kapasitas mereka. Artinya, negara-negara yang selama ini menjadi penonton dan figuran dalam perspektif hegemoni adidaya itu menjadi relatif lebih berdaya.
Konsep modern tentang hegemoni internasional acap kali dikaitkan dengan teori hegemoni budaya yang dibangun filsuf Italia, Antonio Gramsci (1891-1937), dari fondasi teori Karl Marx. Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai dominasi atau kepemimpinan budaya, moral, dan ideologis oleh suatu kelompok dominan terhadap kelompok lain. Kepemimpinan ini tidak hanya dilakukan dalam etis-politik, melainkan juga ekonomi. Efektivitas dominasi didasarkan pada keseimbangan antara persetujuan dan paksaan.
Pasca-Perang Dunia II, mengacu sejumlah kajian pada kasus AS, hegemoni dibangun atas lima pilar, yakni militer, kelembagaan, pendanaan, ideologi atau narasi, dan budaya. Dalam beberapa tahun terakhir, penguasaan teknologi menjadi variabel baru yang amat menentukan dan akan semakin menentukan di masa depan.
Pilar baru penentu
Pada masa pandemi, ada variabel vital yang menjadi pilar hegemoni jangka pendek sekaligus menjadi landasan pembangunan hegemoni jangka menengah-panjang, yakni diplomasi vaksin.
Baca juga : Indonesia Jadi Pusat Persaingan AS-China
Dalam hal militer, AS masih memegang supremasi. Namun, sejumlah negara terus membangun kekuatannya, terutama China dan Rusia. Diremehkan sering kali memberi keuntungan. Hal ini yang tampaknya dialami China dan Rusia yang ”tahu-tahu” memiliki kekuatan militer yang tak lagi bisa diremehkan oleh AS dan Barat.
Dalam hal kelembagaan, AS masih memiliki pengaruh besar di PBB dan NATO. Namun, China dan Rusia sering menentang kebijakan AS berikut sekutunya pada forum lembaga-lembaga internasional. Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, China-Rusia mengoordinasikan kekuatan oposisi untuk mengkritik intervensi Barat dan menyerukan perubahan rezim.
Dalam urusan pendanaan, AS masih juga mendominasi lembaga-lembaga keuangan global, seperti IMF dan Bank Dunia. Namun, China sejak krisis keuangan 2008 menjadi sumber penting pinjaman dan pendanaan darurat bagi negara-negara yang tak dapat mengakses atau dikecualikan oleh lembaga keuangan Barat.
Kembali seperti dikutip Foreign Affairs, selama krisis keuangan 2008, China memberikan pinjaman lebih dari 75 miliar dollar AS untuk kesepakatan energi ke negara-negara di Amerika Latin, seperti Brasil, Ekuador, dan Venezuela. Di Eurasia, pinjaman mengalir misalnya ke Kazakhstan, Rusia, dan Turkmenistan.
Sebuah studi AidData menemukan bahwa total bantuan luar negeri China selama 2000-2014 mencapai 354 miliar dollar AS. Ini mendekati bantuan luar negeri AS pada periode yang sama, yakni 395 miliar dollar AS. China sejak itu telah melampaui pencairan bantuan tahunan AS.
Baca juga : AS-China Tidak Ingin Perang Dingin Baru
Soal narasi, AS dan Barat dikenal gencar mengampanyekan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Belakangan, China makin sadar bahwa pragmatisme ekonomi saja tidak cukup sebagai diplomasi untuk membangun hegemoni global. Demokrasi dan perlindungan HAM sebagai ”narasi klasik” diplomasi Barat tetap menjadi variabel integral, minimal dalam membentuk ”branding” negara.
Oleh karena itu, China yang selama ini defensif dalam isu demokrasi dan HAM mulai merintis jurus agresif. Perubahan pendekatan ini sangat mencolok pada dua tahun terakhir. Merespons KTT Demokrasi mengundang 110 negara yang digelar AS pada 9-10 Desember 2021 tanpa mengundang China, Kementerian Luar Negeri China pada lamannya pada 5 Desember 2021 terang-terangan menyerang demokrasi ala AS melalui laporan berjudul ”Keadaan Demokrasi di AS”.
Laporan tersebut mengungkap kekurangan dan penyalahgunaan demokrasi di AS. Diungkapkan pula sisi negatif dari perilaku AS dalam mengekspor demokrasinya. Sistem pemerintahan AS disebut sebagai ”permainan politik uang” dan ”penguasaan segelintir orang atas banyak orang”. Ini dikontraskan dengan demokrasi ala China yang diklaim Beijing sebagai demokrasi yang efektif melalui buku putih berjudul Democracy That Works.
Di bidang budaya, AS masih mendominasi, antara lain melalui film dan musik. Meski demikian, pengaruh budaya dari beberapa negara lain secara global juga terus berkembang berkat internet dan media sosial.
Di bidang tekonologi, terutama teknologi siber, AS dan sejumlah negara terus berlomba menjadi yang terdepan. Berdasarkan kajian Belfer Center for Science and International Affairs pada Harvard’s Kennedy School tahun 2020, sepuluh negara dengan kekuatan siber terkuat di dunia berturut-turut dari peringkat tertinggi adalah AS, China, Inggris, Rusia, Belanda, Perancis, Jerman, Kanada, Jepang, dan Australia.
Sementara dalam hal diplomasi vaksin, laporan Economist Intelligence Unit (EIU), anak perusahaan dari The Economist, menunjukkan bagaimana China-Russia membantu negara miskin mengamankan dosis vaksin. Kedua negara telah mengirimkan jutaan dosis ke negara-negara berkembang.
Baca juga : Asia Tenggara, Medan Tempur Diplomasi Vaksin China-AS
Dalam perhitungan EIU, Rusia berencana mengirim vaksin ke sekitar 70 negara, sebagian besar di Asia, Eropa Timur, dan Amerika Latin. Pada 22 April, China telah mendistribusikan atau berencana untuk mengekspor vaksin ke sekitar 90 negara. Negara-negara kaya, terutama AS dan UE, menyediakan dosis dalam jumlah lebih sedikit. Adapun Covax, inisiatif pemerataan vaksin global, sempat terhambat pembatasan ekspor vaksin oleh India pada pertengahan 2021.
Dalam hubungan internasional terdapat tiga teori tentang relasi hegemoni dan stabilitas internasional. Teori pertama meyakini bahwa sistem unipolar lebih menjamin stabilitas internasional. Teori kedua meyakini bahwa sistem bipolar lebih menjamin stabilitas internasional. Teori ketiga meyakini bahwa sistem multipolar lebih menjamin stabilitas internasional.
Mana yang akan terjadi di masa depan, waktu yang akan menentukan. Namun, sebagaimana prediksi sejumlah pakar, dunia tampaknya mengarah ke sistem multipolar. Artinya, para raksasa akan berbagi takhta hegemoni, tidak dengan kesepakatan di atas meja, tetapi hasil dari pertarungan pengaruh di panggung global yang menghasilkan keseimbangan baru. Dan keseimbangan baru ini tidak akan statis, tetapi dinamis.
------------
Seri Laporan Internasional Catatan Akhir Tahun 2021:
- Dinamika Timur Tengah, dari Kota Al-Ula hingga Vienna
- Bekerja demi Kebahagiaan
- Memulihkan Marwah ASEAN
- Impian Hidup Ideal di Dunia Rekaan
- Krisis Kemanusiaan, Badai yang Tak Kunjung Berlalu
- Harap-harap Cemas Pemulihan Ekonomi Global 2022
- Tak Ada Alasan untuk Berperang
- Laut China Selatan, Babak Baru yang Makin Kompleks