Tidak Ada Alasan untuk Berperang
Armada perang AS-China-Rusia mampu menjangkau hampir seluruh penjuru bumi. Mereka punya belasan ribu hulu ledak nuklir dan aneka persenjataan mutakhir. Agak melegakan, tak satu pun dari mereka benar-benar mau perang.
Sedikitnya setengah juta warga Indonesia terdampak langsung jika meletus perang terbuka antara Amerika Serikat, China, dan Rusia. Agak melegakan, peluang pecahnya perang terbuka itu bisa ditekan. Ada prinsip yang dijadikan pegangan dalam menangani cadangan belasan ribu hulu ledak nuklir di sejumlah lumbung di Washington, Beijing, dan Moskwa. Selain itu, ada faktor kebutuhan bersama terhadap semikonduktor.
Di Taiwan dan Hong Kong kini terdapat hampir 500.000 warga Indonesia. Di China juga ada beberapa ribu WNI yang belajar, bekerja, atau tinggal dengan alasan lain. Belajar dari perang di Libya dan Suriah serta kebijakan perlindungan yang dianut Indonesia, ratusan ribu WNI itu mau tidak mau harus dievakuasi jika sampai pecah perang antara AS dan China.
Baca juga : Rusia Unjuk Kekuatan di Hari Angkatan Laut Ke-325
Apabila ketegangan di Hong Kong hanya akan memicu perang mulut, konflik Taiwan menghadirkan ancaman perang terbuka AS-China. Washington-Beijing sama-sama menyebut Taipei sebagai ”mata rantai pertama” dari tempat-tempat yang bisa memicu perang terbuka AS-China.
Adapun untuk konteks AS-Rusia, Ukraina bisa menjadi alasan perang terbuka. Bagi Beijing dan Moskwa ataupun Washington dan sekutunya, Taipei dan Kiev adalah garis merah yang sama sekali tidak boleh dilanggar.
Presiden AS Joe Biden telah mengatakan, Moskwa akan menanggung konsekuensi berat jika sampai menyerbu Kiev. Penyataan hampir senada dikeluarkan Biden dan bawahannya terkait Taipei.
Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin tidak kalah keras membalasnya. Bahkan, mantan Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev pernah menyebut AS dan sekutunya dapat dianggap menyatakan perang jika sampai menjatuhkan sanksi tertentu terhadap Rusia terkait Ukraina.
Selain baku pernyataan keras, trio negara terkuat itu juga terus membangun militernya. Kini, mereka sama-sama punya kapal induk, kapal selam bertenaga dan bersenjata nuklir, ribuan jet tempur canggih, serta ratusan kapal perang. Armada perang mereka mampu menjangkau hampir seluruh penjuru bumi.
Anggaran pertahanan mereka pun terus ditambah. Pada 2022, Washington menganggarkan total 66 miliar dollar AS untuk operasi di Pasifik. Sebanyak 7,2 miliar dollar AS khusus dialokasikan untuk program yang disebut Inisiatif Penggentar Pasifik (Pacific Deterrence Initiative/PDI). Padahal, Komando Indo-Pasifik (Indopacom) awalnya hanya meminta 4,6 miliar dollar AS untuk PDI. Selain untuk operasi rutin AL dan AU, dana PDI digunakan juga untuk pengadaan rudal jarak menengah dan jauh serta sistem penangkal serangan rudal dan udara.
Washington juga mengembangkan sistem analisis berbasis kecerdasan buatan untuk memprakirakan reaksi militer Beijing. Sistem yang dipusatkan di markas Indopacom di Hawaii itu diungkap pada awal Desember 2021.
Baca juga : AS-China Tidak Ingin Perang Dingin Baru
Pakar China pada Tufts University, Michael Beckley, mengatakan bahwa Beijing menghabiskan 3 triliun dollar AS sejak 1990 untuk membangun militernya. Apabila dibandingkan AS, anggaran pertahanan China amat rendah. Meski demikian, bersama Rusia, China kini telah memiliki persenjataan hipersonik yang belum bisa ditangkal sistem pertahanan udara mana pun. Rusia juga tengah membangun AL dan AU serta terus mengembangkan matra daratnya.
Pengajar di Fudan University, Huang Renwei, menyebut bahwa situasi di AS dan China turut memberi andil meningkatkan ketegangan Washington dengan Beijing-Moskwa. AS akan menggelar pemilu sela pada November 2022. Sebelum itu, Partai Komunis China (PKC) akan menggelar kongres ke-20. Partai Demokrat AS dan PKC sama-sama tidak mau terlihat lemah di mata publik dalam negeri masing-masing.
Pada saat bersamaan, pandemi Covid-19 saat ini menyuburkan anggapan tentang kelemahan itu. Perekonomian AS tidak kunjung membaik dan kini malah dilanda inflasi tinggi. Sementara China menjauhi tren pertumbuhan di atas 7 persen per tahun. Dalam kondisi itu, terlihat tegas pada ”musuh dari luar” merupakan pilihan rasional.
Berusaha mencegah
Namun, di luar faktor pemicu ancaman perang itu, ada banyak alasan perang AS dan sekutunya menghadapi China-Rusia di sisi lain tidak akan terjadi dalam beberapa tahun mendatang.
Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Mark Milley dan mantan wakilnya, Jenderal John E Hyten, juga sepakat bahwa AS tidak akan berperang baik dengan China maupun Rusia. Dalam pernyataan pada Juni 2021, Milley mengaku tidak pernah melihat bukti China mampu menyerang AS dalam beberapa tahun mendatang. ”Saya membahas kemampuan, bukan soal niat,” katanya kepada Kongres AS.
Sepanjang 2020, Milley beberapa kali menelepon Jenderal Li Zuocheng. Kepada Kepala Staf Gabungan China itu, Milley menegaskan bahwa AS tidak berniat menyerang China. Sejumlah perwira China mengakui, Beijing berusaha terus membuka saluran komunikasi dengan Washington untuk memastikan tidak ada insiden yang disalahpahami dan memicu konflik terbuka.
Hyten, yang pensiun pada November 2021, juga mengatakan bahwa perang dengan China atau Rusia akan menjadi hari yang mengerikan bagi AS dan dunia. ”Kita tidak pernah boleh bertujuan berperang dengan China, berperang dengan Rusia,” katanya.
Baca juga : AS Menggencet, China-Rusia Makin Lengket
Tidak hanya dengan China, AS pun berusaha mencegah konflik dengan Rusia. Paham bahwa Ukraina bisa menjadi pemicu, Biden sudah berkali-kali membuat kebijakan yang menyenangkan Moskwa. Ia mencabut sanksi terhadap pihak-pihak terkait proyek Nord Stream 2.
Putin telah menegaskan proyek pipa gas itu sebagai kepentingan nasional Rusia. Dengan pencabutan sanksi, proyek itu bisa segera dituntaskan dan Rusia bisa menjual gas bernilai jutaan dollar AS per tahun ke sejumlah negara anggota Uni Eropa. Biden juga dilaporkan meminta Ukraina memberi otonomi luas kepada Donbas, wilayah Ukraina dengan penduduk mayoritas berbahasa Rusia.
Aneka hal itu menjadi bagian dari upaya mencegah perang. Ada beberapa alasan lain mereka tidak mau berperang satu sama lain. Alasan paling pokok adalah trio itu sama-sama teguh pada prinsip tidak akan menjadi ”penyerang pertama” sekaligus memelihara kemampuan ”serangan kedua”.
Prinsip tersebut dikenal dalam penggunaan senjata nuklir. Meski sama-sama punya hampir 13.000 hulu ledak nuklir yang disebar di sejumlah lumbung dan peluncur darat serta sejumlah kapal selam di bawah permukaan samudra, Beijing-Moskwa-Washington terus menyatakan tidak akan menjadi pihak pertama yang melepaskan hulu ledak nuklir.
Mereka sama-sama menjadikan belasan ribu bom itu sebagai penggentar yang mencegah lawan menyerang. Tiga negara itu sama-sama paham, pembalasan akan sangat keras. Meski sudah 76 tahun berlalu, dunia masih mengingat kengerian dampak bom atom yang diledakkan AS di Hiroshima dan Nagasaki. Padahal, daya ledak bom Nagasaki dan Hiroshima jauh di bawah daya ledak cadangan hulu ledak AS-China-Rusia masa kini.
Sebagian kapal selam dan kapal perang pengangkut senjata nuklir itu beroperasi di Laut China Selatan. Analis keamanan pada S Rajaratnam School of International Studies di Singapura, Collin Koh, menyebut bahwa hubungan prajurit AS-China di Laut China Selatan amat cair. Dalam komunikasi radio di antara kapal perang AS-China di sana, para prajuritnya sampai kerap membahas menu makanan di kapal mereka pada hari percakapan. ”Mereka berusaha membunuh kebosanan di tengah operasi,” kata Koh.
Ia juga menyoroti fakta bahwa AS lebih kerap mengerahkan kapal-kapal perusak kelas Arleigh Burke, alih-alih kapal lebih kuat, di Laut China Selatan. China pun terus berusaha mencegah jangan sampai ada insiden yang salah dipahami dan memicu konflik terbuka di sana. Koh mengutip hal itu dari laporan Knowfar Institute for Strategic and Defence Studies, lembaga yang didirikan sejumlah pensiunan perwira China.
Baca juga : Senjata-senjata Penggertak Baru Rusia
Mantan pelatih Akademi AL Taiwan, Lu Li-shih, menyebut bahwa manuver AS di Laut China Selatan sama sekali tidak ditujukan untuk memicu perang. Washington hanya menunjukkan penyangkalan atas klaim China terhadap sebagian perairan itu. ”Tentara China dan AS sama-sama saling menahan diri, bahkan di periode ketegangan amat tinggi semasa pemilu AS 2020,” ujarnya.
Alasan ekonomi
Penanggung jawab kebijakan Pasifik pada pemerintahan Biden, Kurt M Campbell, menyebutkan bahwa AS-China terus berusaha menjaga hubungan yang terkesan terus menegang. Alasan utamanya adalah perekonomian kedua negara sangat terkait satu sama lain dan sangat berpengaruh pada kehidupan seluruh penghuni bumi.
Hampir semua batasan nyaris luruh karena perangkat telekomunikasi China dipakai AS dan sekutunya. Ada jutaan pengguna ponsel AS memakai Tiktok, aplikasi buatan China, setiap hari. Konsumen AS bisa mendapatkan aneka kebutuhan dengan harga terjangkau karena aneka kebutuhan itu dibuat di China.
Sebaliknya, perusahaan-perusahaan China sangat mengandalkan AS sebagai salah satu pasar utama produknya. Perusahaan-perusahaan China juga mengandalkan berbagai hak kekayaan intelektual yang dimiliki perusahaan-perusahaan AS. ”Salah besar jika menganggap bisa memisahkan perekonomian kita dari China tanpa harus membayar harga amat mahal,” kata Joseph S Nye, akademisi AS.
Ketergantungan China pada pasokan teknologi semikonduktor yang dibuat di Taiwan dan hak atas kekayaan intelektual dipegang AS dan sekutunya menjadi alasan utama Beijing tidak menyerbu Taipei. AS-China dan sejumlah negara tengah mengalami kelangkaan pasokan semikonduktor. Ada potensi pendapatan ratusan miliar dollar AS hilang gara-gara aneka hal tidak bisa diproduksi sampai ada pasokan semikonduktor. Kondisi ini akan berlangsung sampai setidaknya tahun 2023.
Baca juga : Semikonduktor, Penangkal Taiwan dari Ancaman Serbuan China
Bersama Korea Selatan, Taiwan menjadi pemasok utama kebutuhan semikonduktor global. AS-China sama-sama belum bisa menyaingi duet negara itu dalam memenuhi kebutuhan global. Bahkan, China belum punya teknologi untuk membuat semikonduktor sebaik Taiwan.
Perang akan menghentikan atau setidaknya mengganggu produksi semikonduktor di Taiwan. Hampir bisa dipastikan, tidak ada orang mau bekerja di pabrik semikonduktor apabila bom dan rudal China menyasar berbagai penjuru Taiwan. Jika perang meletus, pasokan semikonduktor akan semakin terdampak dan China akan menjadi salah satu penanggung dampak terbesarnya.
Menurut analis pertahanan pada RAND, Timothy Heath, hubungan AS-China dan AS-Rusia saat ini jauh di bawah ketegangan AS-Uni Soviet selama Perang Dingin. Beijing-Moskwa-Washington kompak tidak menganggap pihak lain sebagai musuh (enemy). Bagi Washington, Beijing-Moskwa adalah penantang (adversary) dan pesaing (competitor). Bahkan, mereka pun terus bekerja sama dalam berbagai isu, seperti perubahan iklim, Korea Utara, dan perdagangan.
Pakar pada lembaga kajian pertahanan AS itu tidak menampik, China dan Rusia dianggap ancaman serius bagi banyak warga AS. Hal sebaliknya berlaku pula. Walakin, Heath tidak melihat ada dukungan dari publik di AS-China-Rusia untuk peluang perang.
Ia juga tidak melihat aneka hal yang benar-benar mengarah pada persiapan perang. Sejauh ini, Heath hanya melihat peningkatan kemampuan untuk menggentarkan calon lawan agar jangan sampai menyerang. (AP/AFP/REUTERS)
----------
Seri Laporan Internasional Catatan Akhir Tahun 2021: