Putin menyapa Xi dengan sebutan ”teman terkasih” kala mereka memulai pertemuan. Keduanya mendiskusikan hal mendasar terkait dengan hubungan Rusia-China, kemitraan menyeluruh, dan interaksi strategis.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
MOSKWA, SELASA — Di tengah tekanan Amerika Serikat, hubungan China-Rusia semakin akrab. Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin kembali bertemu secara virtual pada Rabu (15/12/2021).
Putin menyapa Xi dengan sebutan ”teman terkasih” kala mereka memulai pertemuan. ”Saya senang bertemu lewat video dengan Anda. Memungkinkan kita mendiskusikan hal mendasar terkait dengan hubungan Rusia-China, kemitraan menyeluruh, dan interaksi strategis. Saya menyebut ini sebagai contoh nyata hubungan antarnegara pada abad ke-21,” katanya sebagaimana dikutip kantor berita TASS.
Menurut dia, hubungan antarnegara seharusnya berdasarkan prinsip saling menghormati dan tidak saling mencampuri urusan dalam negeri. Hubungan juga sebaiknya saling menyokong satu sama lain. Beijing-Moskwa, kata Putin, menerapkan prinsip-prinsip itu.
Bukan kali ini saja mereka bertemu secara bilateral lewat telekonferensi video. Pada Mei dan Juni, mereka juga bertemu secara virtual. Pertemuan pada Mei lalu membahas peringatan pembangunan reaktor nuklir, sementara pertemuan pada Juni membahas 20 tahun hubungan China-Rusia. Selain lewat video, Putin dan Xi bolak-balik telepon untuk membahas berbagai masalah. ”Termasuk isu Afghanistan,” kata Putin.
Ia menyebut hubungan China-Rusia pada tahap yang belum pernah terjadi sebelumnya. Peningkatan itu dimungkinkan karena hubungan Beijing-Moskwa sudah berlangsung lama dan warga kedua negara saling terus meningkatkan pengertian.
Dalam pertemuan itu, Putin menjelaskan posisi Rusia soal Ukraina dan arsitektur keamanan Eropa. Kantor berita Xinhua melaporkan, Xi mendukung Rusia dan memahami keprihatinan Moskwa atas perkembangan di perbatasan baratnya.
Xi mengajak Putin saling membantu menjaga kepentingan negara mereka. Ia juga mengatakan bahwa sekarang ada kekuatan asing tertentu yang coba mengacau urusan dalam negeri China dan Rusia dengan kedok demokrasi. Kekuatan itu juga mencoba memanipulasi aturan internasional untuk kepentingan mereka. ”Hubungan China-Rusia akan bisa melewati semua cobaan ini, menunjukkan dinamika dan semangat baru,” ujar Xi.
Ia mengundang Putin hadir di Beijing pada Februari 2022. China menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin yang diboikot secara diplomatik oleh AS dan sekutunya. Lantaran terkena sanksi badan antidoping, WADA, pejabat Rusia sebenarnya tidak boleh hadir di kegiatan olahraga lintas negara. Walakin, mereka bisa hadir apabila tuan rumah mengundang.
Tekanan Washington
Boikot diplomatik adalah tekanan terbaru Washington dan sekutunya terhadap Beijing. Fokus utama tekanan adalah isu Hong Kong, Uighur, Taiwan, dan Laut China Selatan.
Lewat lawatan ke Indonesia dan Malaysia pada Senin-Rabu, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, menggemakan lagi tudingan terhadap China. Ia menyoroti klaim sepihak Beijing atas Laut China Selatan. Ia juga mengungkit isu kontraktor China yang membawa pekerja asing untuk aneka proyek di Indonesia.
Sementara pada Rabu dini hari WIB, DPR AS mengesahkan rancangan undang-undang terkait dengan Uighur. DPR mengusulkan pelarangan impor semua produk China yang dibuat atau menggunakan bahan baku dari Xinjiang. Itu karena produk-produk tersebut disebut dibuat dengan kerja paksa terhadap orang Uighur.
Sebenarnya, pekan lalu DPR mengesahkan RUU sejenis. Sayangnya, RUU itu gagal mendapat dukungan dari Senat. Karena itu, DPR memperbaiki RUU itu dan mengesahkannya kembali. Kini, RUU itu membutuhkan persetujuan di Senat sebelum akhirnya disahkan Presiden AS.
”Pemerintah akan bekerja sama dengan Kongres untuk menerapkan undang-undang ini demi memastikan rantai pasok global bebas dari pekerja paksa, mengamankan rantai pasok global, termasuk semikonduktor dan energi bersih,” ujar Juru Bicara Gedung Putih Jen Psaki.
Ia secara spesifik menyinggung semikonduktor dan energi bersih gara-gara bahan baku utama produk itu didominasi pabrik-pabrik di Xinjiang. Hingga 70 persen bahan baku panel surya dan hampir separuh panel surya di pasar global dipasok oleh berbagai perusahaan yang beroperasi di Xinjiang. Larangan impor atas produk-produk dari Xinjiang bisa mengganggu rantai pasok panel listrik tenaga surya global. AS pun diketahui menjadi salah satu importir utamanya.
Ukraina
Sementara terkait dengan Rusia, tekanan AS terutama soal Ukraina. Dalam berbagai kesempatan, Washington mengaku siap mendukung Kiev menangkal invasi Moskwa. Bahkan, Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa Rusia akan menanggung dampak serius jika sampai menginvasi Ukraina.
Sayangnya, sampai sekarang hal itu tidak benar-benar terwujud. Pada 2014, Moskwa merebut kembali Semenanjung Krimea dari Kiev. Kala Uni Soviet dipimpin Nikita Khrushchev, semenanjung itu dijadikan wilayah Ukraina. Waktu itu, Ukraina masih menjadi bagian Uni Soviet dan Khrushchev merupakan politisi asal Ukraina. Setelah Uni Soviet bubar, Rusia dan Ukraina berdiri sendiri.
Sejak lama, Moskwa menginginkan Semenanjung Krimea dikembalikan.
Di bawah Putin, Moskwa akhirnya mengambil lagi semenanjung itu. Kala itu, AS dan sekutunya mengancam menjatuhkan sejumlah sanksi. Bentuknya termasuk larangan mengakses sistem pengolah transaksi internasional.
Menyikapi ancaman itu, Mokswa menyebutnya sebagai deklarasi perang dan siap membalas. Selepas ada tanggapan balik Moskwa, sampai sekarang tidak ada sanksi yang benar-benar memberatkan Moskwa terkait dengan Krimea.
Bahkan, Presiden AS Joe Biden mengizinkan pencabutan sanksi kepada pihak-pihak terkait proyek pipa gas Nord Stream 2. Pencabutan itu memungkinkan proyek pipa gas dari Rusia ke Jerman melalui Laut Utara bisa berlanjut.
Restu AS menimbulkan kerugian besar terhadap Ukraina. Sebab, Nord Stream 2 memungkinkan Moskwa mengalirkan gas ke Berlin tanpa harus melewati jaringan pipa yang sebagian membentang di Ukraina. Jika pipa gas itu tidak dipakai, Kiev tidak mendapat jatah distribusi bernilai puluhan juta dollar AS per tahun.
Ukraina mendapat pukulan kedua selepas telepon Biden dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pekan lalu. Sejumlah pejabat AS menyebut Biden meminta Zelensky memberikan otonomi luas kepada Donbas. Selama bertahun-tahun, milisi Donbas yang disebut disokong Rusia terus-menerus menentang Kiev. (AFP/REUTERS)