Laut China Selatan, Babak Baru yang Makin Kompleks
Negosiasi kode tata perilaku di Laut China Selatan (LCS) berjalan lambat. Selama menunggu naskah kode perilaku rampung, beberapa anggota ASEAN mengeluhkan kehadiran China di LCS.
Laut China Selatan kini telah tumbuh menjadi wilayah maritim paling bergolak di dunia. Pusaran konflik melibatkan China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan itu memasuki babak baru dengan hadirnya sejumlah negara dari luar kawasan sepanjang 2021.
Dimulai dengan kampanye kebebasan navigasi pada 27 Oktober 2015, Amerika Serikat bersama sekutunya belakangan tidak saja melintas atas nama operasi yang sama di Laut China Selatan (LCS), tetapi juga unjuk kekuatan. Sejumlah latihan perang bersama digelar di kawasan dan sekitarnya. Stabilitas keamanan kawasan menjadi sangat terancam.
Baca juga : Laut China Selatan, dari Kepentingan Kawasan Menjadi Global
China sebagai negara pengeklaim terbesar wilayah LCS, yakni 80-90 persen dari total seluas 3,5 juta kilometer (km) persegi, meradang. Sebagai ”big bos” di wilayah maritim kaya sumber daya alam dan menjadi jalur niaga internasional itu, China pun meningkatkan latihan perangnya. Latihan mutakhir, dilaporkan Global Times, terjadi pekan lalu melibatkan kapal induk Shandong.
Klaim mutlak China atas LCS, yang berpusat di Kepulauan Paracel dan Spratly, dimulai pada 2012. Selain dengan lima negara penuntut lainnya, klaim China juga menyenggol zona ekonomi eksklusif Indonesia. Kasus terakhir, China meminta Indonesia menghentikan kegiatan pengeboran minyak dan gas alam di perairan Natuna, bagian selatan wilayah LCS.
Akar konflik LCS adalah klaim sepihak China yang mendasarkan pada garis batas imajiner yang disebut ”sembilan garis putus-putus (nine-dash line)”, yang lantas diikuti militerisasi kawasan. Garis-garis itu dilaporkan pertama kali di peta negara China setelah Perang Dunia II, yakni pada 1947.
China hingga kini kukuh dengan patokan sepihak itu. Padahal, garis imajiner Beijing itu tidak pas dijadikan rujukan internasonal. Klaim itu bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 yang juga sudah diratifikasi oleh Beijing.
Kehadiran aktor lain dari luar kawasan membuat LCS kini menjadi isu global, yang pada gilirannya bisa berdampak langsung pada keamanan kawasan, terutama Asia Tenggara. Lima anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) terlibat konflik dengan China, termasuk Indonesia yang tak memiliki irisan klaim wilayah di sana.
Baca juga : China Janji Utamakan Kestabilan ASEAN, Isu Laut China Selatan Masih Mengganjal
Manajemen pengenduran konflik di LCS sebenarnya telah berjalan melalui mekanisme diplomatik, di mana ASEAN dan China menyusun kode perilaku (code of conduct/CoC) kolektif. Meski bukan solusi utama untuk mengakhiri konflik maritim, CoC penting sebagai mekanisme operasional pencegahan konflik di LCS.
Para menteri luar negeri ASEAN menggagas tentang perlunya CoC di LCS dalam pertemuan di Jakarta, 21 Juli 1996, sebagai landasan stabilitas jangka panjang di kawasan. Meski demikian, hingga 25 tahun kemudian, CoC belum juga lahir.
Ide perlunya CoC itu awalnya untuk merespons China yang menduduki Mischief Reef, 250 km dari Pulau Palawan, Filipina, Februari 1995. Ini 1,5 tahun sebelum pencetusan CoC.
Posisi China kini tetap, yakni berusaha menguasai LCS sehingga hanya ada sedikit peluang bagi tercapainya stabilitas jangka panjang. Selama negosiasi berjalan lambat, ketegangan di kawasan bisa terus meningkat yang dapat membuat stabilitas kawasan semakin rapuh.
Awal Juli 2021, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, di situs internal kementerian menyatakan, ”China dan negara-negara ASEAN secara aktif mempromosikan konsultasi tentang ’Kode Etik di LCS’ dengan suatu kemajuan besar.” Namun, pernyataannya tidak mewakili pandangan para menlu ASEAN.
Baca juga : ASEAN dan Laut China Selatan
Para negosiator dari ASEAN dan China sejauh ini telah menghasilkan ”Deklarasi” CoC (2002), ”Pedoman Pelaksanaan Deklarasi” (2011), ”Kerangka” CoC (2017), dan ”Rancangan Tunggal Teks Negosiasi” (2018). Pada 2021, progres negosiasi CoC dilaporkan telah mencapai bagian ”Mukadimah”.
Dari satu draf ke draf yang lain, masalahnya tetap sama. Ian Storey dari ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura mengatakan, selalu ada tiga poin penting dalam negosiasi itu, seperti ditulis Foreign Policy. Ketiga hal itu adalah soal cakupan geografis, kode etik yang boleh dan tidak boleh, serta kekuatan hukum CoC.
Poin pertama ialah pertanyaan tentang apa saja cakupan geografis dari perjanjian CoC itu? Haruskah CoC itu mencakup Kepulauan Paracel seperti yang diinginkan Vietnam tetapi ditentang China atau Scarborough Shoal seperti yang diinginkan Filipina tetapi ditolak China.
Kedua, haruskah CoC mencantumkan sejumlah persyaratan antara tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan? Beijing tidak ingin terikat untuk menyetujui larangan kegiatan itu. Terakhir, haruskah CoC mengikat secara hukum? Sebagian besar negara anggota ASEAN mendukung ide itu, tetapi China menentangnya.
Negosasi telah berjalan selama 25 tahun terakhir. Menurut Storey, hampir tidak ada kemajuan antara 2002 dan 2011. Selama itu, China menolak berurusan dengan ASEAN sebagai kelompok dalam konteks negosiasi konflik di LCS. China lebih suka pendekatan diplomasi bilateral di mana kerja sama ekonomi dan perdagangan lebih diperhitungkan.
Hanya ketika Filipina mengajukan gugatan hukum terhadap China ke Pengadilan Arbitrase Internasional (PCA) di Den Haag, Januari 2013, Beijing mulai mau lagi membahas CoC. Namun, pada tahun yang sama, China mulai mengubah tujuh karang di Spratly menjadi pangkalan besar militernya.
Baca juga : Panduan Perilaku di Laut China Selatan Harus Selaras dengan UNCLOS
Analis senior di Institut Kebijakan Strategis Australia, Huong Le Thu, mengatakan kepada Foreign Policy, China telah menggunakan proses pembahasan CoC sebagai peluang untuk diam-diam terus menguasai LCS. Perundingan yang berlarut-larut menjadi peluang Beijing untuk mewujudkan tujuan strategisnya secara penuh.
Selama menunggu naskah CoC selesai, sejumlah anggota ASEAN mengeluhkan kehadiran militer China di LCS. Filipina, Malaysia, dan Vietnam paling gusar dengan China. Ada satu fakta penting selama proses negosiasi, yakni bahwa tidak satu pun dari lima negara pengeklaim saingan China menyerang satu sama lain sejak awal proses negosiasi CoC. Mereka juga tidak menempati pulau atau fitur baru yang ada dalam irisan klaim wilayah.
Sebaliknya, China membuat kemajuan demi kemajuan. China juga mempertahankan kehadiran penjaga pantai yang hampir konstan di Scarborough Shoal di Filipina, Luconia Shoals di Malaysia, dan beberapa fitur lainnya meskipun belum ada pembangunan fisik di sana.
Anggota ASEAN sebenarnya tidak dalam posisi satu suara soal LCS, termasuk dalam menegosiasikan CoC. Setiap negara memiliki strategi sendiri untuk menghadapi kekuatan besar. Tampaknya sulit untuk mengharapkan tindakan yang terkoordinasi dari kawasan Asia Tenggara ini. Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Laos, misalnya, tidak menentang yurisdiksi China di LCS.
”Di antara negara-negara Asia Tenggara, kepentingan nasional dan persepsi ancaman bisa terus berbeda. Kesenjangan selalu ada, dan mungkin terus melebar,” kata Le Thu. Sederhananya, lima negara yang memiliki irisan klaim di LCS memiliki lebih banyak taruhan daripada negara-negara ASEAN lainnya.
ASEAN mungkin menginginkan CoC karena yakin bahwa hal itu akan membatasi perilaku China. Sementara di sisi lain, China tidak melihat alasan untuk setuju membiarkan perilakunya dibatasi di LCS. Mungkin saja Beijing menginginkan CoC untuk membendung kehadiran militer AS di LCS dan sekitarnya.
Baca juga : Ketegasan Indonesia Membuat ASEAN Lebih Bergigi soal Laut China Selatan
”Logika China adalah jika CoC tidak dapat menahan petualangan militer AS, mengapa Beijing harus meratifikasinya?” kata BA Hamzah, Direktur Pusat Studi Pertahanan dan Keamanan Internasional di Universitas Pertahanan Nasional Malaysia, seperti dilaporkan Foreign Policy.
Pekerjaan besar yang dihadapi ASEAN ini adalah menegosiasikan CoC guna menghindari konflik di laut sengketa LCS. Pembahasan CoC antara ASEAN dan China memang dirasakan sangat lambat. Indonesia yang berkomitmen kuat untuk menciptakan kawasan LCS yang aman, damai, dan stabil sesuai hukum internasional perlu memacu komunikasi diplomatiknya. (AFP/AP/REUTERS)