Isu Myanmar bak duri dalam daging sekaligus pertaruhan kehormatan bagi ASEAN. Perlu terobosan baru agar ASEAN bisa menyelesaikan krisis di negara itu.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Tahun sebentar lagi berganti, meninggalkan 2021 yang ditandai dengan beberapa pergolakan di Asia Tenggara, salah satu yang menonjol ialah kudeta militer di Myanmar. Sejak meletus pada 1 Februari lalu, hampir setahun krisis politik di negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) itu berkecamuk. Lebih dari 1.300 orang tewas dan lebih dari 11.000 orang dipenjara, menurut data lembaga Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (APPP).
Sebagai organisasi kawasan yang membawahkan Myanmar, ASEAN telah berupaya mencarikan jalan keluar dari krisis, yakni melalui lima konsensus pemimpin ASEAN di Jakarta, 24 April lalu. Kelima konsensus itu ialah penghentian kekerasan dan sikap menahan diri, dialog konstruktif semua pihak, penunjukan utusan khusus ASEAN, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan khusus untuk bertemu semua pihak.
Saat konsensus itu dibuat dan disepakati, pemimpin junta Jenderal Senior Min Aung Hlaing yang kini menguasai Myanmar hadir dan ikut menyetujui. Namun, tak satu pun dari lima konsensus itu dia laksanakan. Di hadapan junta Myanmar, lima konsensus para pemimpin ASEAN itu seperti macan kertas. Terlihat gagah, tetapi tak ada wibawa.
Sejak ada lima konsensus itu, ada beberapa yang menarik disoroti sebagai bahan refleksi demi terobosan baru penuntasan krisis Myanmar. Pertama, masalah persatuan (unity) di kalangan negara ASEAN. Lamanya penunjukan utusan khusus ASEAN untuk Myanmar butuh tiga bulan lebih, salah satu indikasinya. Bukan rahasia, ada semacam dua kamp dalam isu Myanmar: RI, Malaysia, dan Singapura plus Filipina yang kritis terhadap Myanmar; dan Thailand, Vietnam, Kamboja plus Laos, yang akomodatif kepada junta.
Kedua, masalah kapasitas utusan khusus ASEAN. Terlepas dari sikap keras kepala junta Myanmar, kebuntuan dalam implementasi lima poin konsensus pemimpin ASEAN tidak luput dari persoalan kapasitas itu. Beberapa ”blunder” serta kelambanan utusan khusus ASEAN perlu menjadi catatan. Tak hanya gesit berdiplomasi, utusan khusus ASEAN harus taktis agar lima konsensus itu bisa diimplementasikan.
Ketiga, posisi keketuaan ASEAN berperan penting. Ketua ASEAN, yang dirotasi bergiliran, mengendalikan pertemuan-pertemuan ASEAN, plus agendanya. Setelah Brunei Darussalam, ketua ASEAN 2022 adalah Kamboja. Melihat posisi dan rekam jejak Kamboja mengetuai ASEAN, beberapa pihak kurang optimistis terhadap penyelesaian krisis Myanmar.
Perlu dipertimbangkan terobosan di luar jalur keketuaan ASEAN. Peran ini, seperti biasa, diharapkan dari Indonesia. Jika RI mampu memulihkan spirit persatuan ASEAN dalam krisis Myanmar, bisa dikata separuh problem beres. Komunikasi dengan Thailand, yang terkesan lunak dan diterima Myanmar, perlu lebih intensif. Siapa tahu muncul terobosan baru untuk mewujudkan lima konsensus pemimpin ASEAN.