Impian Hidup Ideal di Dunia Rekaan
Waktu terus bergerak, tahun berganti, kehidupan pun berubah. Kehidupan manusia perlahan mengarah pada dunia realitas virtual ”metaverse”. Di ”dunia rekaan” itu, impian akan hidup yang ideal dan sempurna bisa terwujud.
Kalau sedang bosan, tak ada pekerjaan, atau sekadar iseng di sela-sela kesibukan, aplikasi apa yang biasanya dibuka? Mungkin sebagian kita akan membuka aplikasi media sosial Twitter, Instagram, Tiktok, Facebook, atau aplikasi gim.
Akan tetapi, bagi anak muda zaman sekarang, yang sering dibuka duluan itu platform metaverse untuk sekadar mengecek avatar atau karakter pengganti mereka di dunia maya. Di dunia metaverse, kita bisa menjadi siapa pun yang kita inginkan dan pergi ke mana pun atau melakukan apa pun yang kita kehendaki.
Baca juga : Metaverse dan Masa Depan Nasionalisme
Tren avatar di dunia metaverse semakin populer semasa pandemi Covid-19 akibat pemberlakuan kebijakan pembatasan mobilitas warga dan kebijakan bekerja dari rumah. ”Saya ingin menjadi siapa pun pada hari ini, semua bisa terwujud karena ada avatar saya,” kata Monica Louise kepada BBC News, pekan lalu.
Di dunia metaverse, aplikasi media sosial Korea Selatan yang populer, Zepeto, Louise memakai nama Monica Quin.
Istilah metaverse pertama kali diciptakan dalam novel fiksi ilmiah, Snow Crash, karya Neal Stephenson tahun 1992. Istilah itu berasal dari ”meta” yang berarti melampaui dan ”universe” atau semesta. Cerita novel itu kemudian diwujudkan sutradara Steven Spielberg di filmnya, Ready Player One. Selain itu, film The Matrix bertema serupa.
Di dunia virtual bersama tersebut, orang bisa membeli tanah, barang dan jasa, jalan-jalan ke mana saja, dan datang ke ajang apa saja. Transaksi di dalamnya pun kerap kali menggunakan mata uang kripto. Sejak pandemi, banyak orang terpaksa di rumah saja sehingga aktivitas jelajah dunia maya mereka meningkat, baik untuk urusan pekerjaan maupun hiburan.
Banyak platform realitas virtual ini didukung oleh teknologi blockchain, mata uang kripto, dan non-fungible token (NFT) yang memungkinkan aset digital terdesentralisasi untuk dikumpulkan dan dimonetisasi. Blockchain merupakan database yang dibagi ke semua jaringan komputer. Ketika ada data yang ditambahkan ke jaringan, sulit untuk diubah. Untuk memastikan semua salinan database sama, jaringan melakukan pemeriksaan terus-menerus. Blockchain digunakan untuk mendukung mata uang dunia maya, seperti bitcoin.
Baca juga : Saat Justin Beiber Tampil di ”Metaverse”
Adapun NFT merupakan aset virtual baru, seperti foto, video, barang, atau apa pun yang terkait dengan kebutuhan gim. Pasar NFT naik saat pandemi dengan nilai penjualan hingga 2,5 miliar dollar AS. Padahal, tahun lalu masih sekitar 13,7 juta dollar AS.
Perlahan tetapi pasti, dunia seakan mengarah ke metaverse. Banyak orang masih belum kenal dengan dunia lain ini. Sederhananya, metaverse itu dunia maya alternatif campuran antara realitas virtual (VR) dengan augmented reality atau teknologi yang menggabungkan benda maya dua atau tiga dimensi, lalu memproyeksikannya ke dunia nyata.
Seperti ketika Presiden RI Joko Widodo diajak pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, bermain tenis meja menggunakan realitas virtual pada tahun 2016. Pada waktu itu, Jokowi dan Zuckerberg bermain tenis meja tanpa memakai meja pingpong dan bola. Semua permainan hanya bisa dilihat dengan menggunakan VR. Jokowi pun sudah meyakini ke depan kegiatan kita akan banyak beralih ke metaverse. Mau tak mau kita harus siap menghadapinya.
Realitas alternatif
Fenomena itu sudah mulai terjadi. Banyak bisnis, terutama dunia mode dan properti, yang sudah masuk ke metaverse. Sepatu merek Nike atau merek terkenal Gucci pun sudah merambah metaverse. Ketika nanti metaverse sudah terbentuk, kita bisa membeli merek-merek itu dan dipakai di dunia metaverse. Bahkan, membeli tanah pun sudah bisa.
Platform metaverse terbesar di Asia, Zepeto, sejak diluncurkan tiga tahun lalu sudah memiliki hampir seperempat miliar pengguna. Sekitar 70 persen pengguna Zepeto diidentifikasi perempuan dan remaja. Ini agak tak biasa karena platform metaverse yang lain, seperti Roblox, didominasi pemain gim yang kebanyakan laki-laki.
Direktur Strategi Zepeto, Rudy Lee, mengatakan, banyak penggunanya belum menggunakan Instagram dan Facebook. Zepeto menjadi media sosial pertama yang dikenal dan aktif digunakan. Meski buatan Korsel, 90 persen penggunanya justru berasal dari luar Korsel. Seperti Louise (28) yang tinggal di Kanada dan Hannah (19) di Amerika Serikat. Keduanya masuk Zepeto sejak 2018.
Sejak masuk Zepeto, Louise lebih menyukai dirinya di versi metaverse. Hannah tidak sengaja menemukan Zepeto, kemudian masuk karena penasaran lalu keranjingan. ”Saya tidak pernah suka dengan media sosial karena terlalu banyak tekanan. Kalau di Zepeto, kita tidak harus menunjukkan wajah asli kita,” kata Hannah.
Baca juga : Facebook Ganti Nama, Lomba Teknologi ”Metaverse” Dimulai
Bahkan, di dunia metaverse, Louise mendapatkan penghasilan karena avatarnya menjadi pemengaruh (influencer) virtual. Ia merancang pakaian digital yang bisa dibeli avatar lain.
Dunia mode berperan besar dalam platform ini dan penciptanya sudah menjual pakaian secara virtual hingga 1,6 miliar helai. Produk mode itu dijual dengan mata uang di Zepeto yang disebut ”zems”. Pakaian Louise dijual seharga 1-5 zems per helai. Dari setiap penjualan 5.000 zems, pihak Zepeto memperoleh 106 dollar AS. Para pengguna Zepeto membeli mata uang zems ini dengan uang asli.
”Setiap hari banyak orang yang merancang dan menjual puluhan ribu item. Saya kira kami adalah pasar mode virtual terbesar di dunia,” kata Rudy Lee.
Merek-merek mode mewah, seperti Gucci, Dior, dan Ralph Lauren, juga berencana menjual produk virtual mereka di Zepeto. ”Banyak baju di dunia nyata yang saya tak mampu beli. Namun, di dunia digital, saya bisa beli semuanya. Saya kira itu faktor terbesar alasan kenapa saya suka sekali dengan Zepeto,” ujar Louise.
Tidak hanya dunia mode yang berpeluang besar di metaverse. Siapa saja bisa menjadi apa saja di ”dunia reka-reka” itu. Mau menjadi artis, bisa. Mau menjadi arsitek juga bisa. Hannah di dunia metaverse bekerja sebagai pembuat peta. Ia menciptakan lingkungan virtual bagi avatar.
”Dunia ini semacam realitas alternatif. Suasana dan kondisi yang saya ciptakan itu sebenarnya mencontek yang ada di dunia nyata. Gedung beneran. Kampung beneran. Kota beneran, tetapi, semua virtual," ujar Hannah.
Manusia-manusia digital, terutama pemengaruh, sudah banyak beredar di platform gim, hiburan, dan belanja di rumah di Korsel. Mereka bertindak bahkan seperti selebritas sungguhan di dunia nyata. Pemengaruh AI, Rozy, misalnya, sampai mendapat 100 sponsor di dunia nyata. Jaringan belanja di rumah Lotte juga memiliki Lucy yang berhasil mendongkrak pengikut Lotte di Instagram menjadi 60.000 pengikut.
Baca juga: Lahan Digital ”Booming” di ”Metaverse”, Barbados Segera Bangun Kedubes Virtual
Bahkan, pemerintah kota Seoul, Korsel, saja sudah memanfaatkan metaverse untuk melayani rakyatnya. Seoul menjadi kota besar pertama dengan investasi 35 juta dollar AS untuk membangun metaverse. ”Daripada warga repot-repot datang ke kantor, PNS AI bisa membantu warga di metaverse dan memberikan solusi atas persoalan riil di dunia nyata,” kata Chang Keun-lee di Pemerintah Kota Metropolitan Seoul.
Dengan dunia metaverse ini, Chang menilai segala macam ketakutan atau kekhawatiran akan pandemi Covid-19 akan terselesaikan. ”Kita bisa menggelar konser tanpa harus khawatir tertular Covid-19. Kita bisa bepergian ke mana saja, bahkan ke luar angkasa atau kembali ke masa lampau kalau mau,” ujarnya.
Tempat pelarian?
Namun, bagi sebagian orang, segala macam kehidupan dunia virtual ini masih dirasa jauh dari kenyataan. Metaverse baru-baru ini saja ramai dibicarakan, seperti halnya setiap kali ada teknologi baru yang muncul. Seiring dengan teknologi baru, selalu ada perkara risiko, kontrol, dan peraturan atau aturan hukum mengenai privasi yang harus diselesaikan.
Andaikata avatar kita melakukan kejahatan di metaverse, misalnya mencuri aset virtual, lalu bagaimana hukumnya?
”Yang terpenting sebenarnya pihak pemerintah atau otoritas hukum ikut masuk ke metaverse supaya tahu pro dan kontranya dan berdialog dengan operator, seperti kami, serta pengguna," kata Chang.
Untuk saat ini, kita belum tahu metaverse akan menjadi seperti apa. Dunia lain atau dunia rekaan itu masih berkembang dan mencari bentuk. Namun, kompetisi untuk memperbanyak populasi dan menciptakan aset-aset paling berharga di dalamnya sudah dimulai. Banyak platform di metaverse masih mengembangkan teknologi VR dan augmented reality yang memungkinkan para penggunanya berinteraksi sepenuhnya di dunia itu.
Associate Professor di Institut Internet Oxford, University of Oxford, Sandra Wachter, mengingatkan bahwa perusahaan-perusahaan pengembang metaverse pasti akan mempelajari para penggunanya dengan rinci dan mengumpulkan data apa pun terkait dengan si pengguna. Oleh karena itu, metaverse malah hanya akan memperparah persoalan privasi dan lain-lain yang masih pelik saat ini dengan dunia maya.
Namun, salah satu pendiri studio arsitektur digital Space Popular, Fredrik Hellberg, tetap meyakini metaverse ini banyak manfaatnya dan memudahkan hidup manusia. Ruang-ruang realitas virtual bisa menyatukan orang meski mereka sebenarnya secara fisik terpisah. Seperti pada masa pandemi Covid-19 seperti sekarang. Orang bisa saling bertemu langsung melalui avatarnya di metaverse dan tidak hanya bertemu melalui aplikasi Zoom, misalnya.
Baca juga : Paradoks Interaksi Virtual
Untuk mencegah persoalan terkait dengan privasi, Hellberg menilai, masyarakat harus menjadi bagian dari pembahasan dan solusi atas persoalan ini dengan menyuarakan aspirasi mereka. Jika hanya menjadi pengguna atau ”penonton”, kehidupan manusia justru akan terbelenggu di teknologi canggih itu tanpa bisa berbuat apa-apa.
Persoalan lain yang dikhawatirkan, dunia metaverse ini sudah menjadi tempat pelarian bagi mereka yang tidak puas dengan kehidupan nyatanya sehingga mereka lebih suka dan nyaman tinggal di metaverse. Di metaverse, kita bisa menjadi diri sendiri dalam versi yang lebih baik atau menjadi orang lain yang sama sekali berbeda.
Pertanyaannya, apakah nanti kita akan mampu memisahkan kehidupan kita di dunia nyata dan dunia metaverse? Kita lihat saja nanti. (REUTERS/AFP/AP)
-----------
Seri Laporan Internasional Catatan Akhir Tahun 2021: