Facebook Ganti Nama, Lomba Teknologi ”Metaverse” Dimulai
Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, mengumumkan perubahan nama perusahaan menjadi Meta Platform Inc. Ini terjadi saat publik menyoroti sejumlah persoalan yang dtimbulkan Facebook pada masyarakat.

Foto ilustrasi ini menggambarkan perubahan logo perusahaan induk Facebook, Facebook Inc, yang berubah menjadi Meta Platform Inc, Kamis (28/10/2021).
WASHINGTON, JUMAT — Raksasa teknologi yang tengah menghadapi banyak masalah, Facebook, mengubah nama perusahaan induknya dari Facebook Inc menjadi Meta Platforms Inc. Perubahan nama ini mencerminkan apa yang dikatakan Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, sebagai komitmen dirinya dan perusahaan untuk mengembangkan teknologi interaksi tiga dimensi yang lebih riil pada platform-platformnya.
Namun, perubahan nama perusahaan induk tidak akan mengubah nama platform jejaring sosial yang dikelolanya, seperti Facebook, Instagram, dan Whatsapp. Untuk sementara waktu, struktur manajemen perusahaan juga tidak akan mengalami perubahan.
Di kantor pusat Facebook di Menlo Park, California, tanda jempol ikonik yang menjadi logo perusahaan telah dicat ulang dan berganti dengan logo biru berbentuk pretzel yang menyerupai simbol infinity. Per 1 Desember 2021, nama Facebook di pasar saham akan berganti menjadi MVRS.
Baca juga : Di Tengah Hujan Kritik, Facebook Ubah Citra
”Saya bangga mengumumkan bahwa mulai hari ini, perusahaan kami sekarang adalah Meta. Misi kami tetap sama, masih tentang menyatukan orang, aplikasi kami dan merek mereka. Mereka tidak berubah,” kata CEO Facebook Mark Zuckerberg, Kamis (28/10/2021).
Menurut Zuckerberg, ia dan timnya telah belajar banyak hal selama perusahaan berdiri, mulai dari berhadapan dengan masalah sosial hingga hidup serta berkembang di bawah platform tertutup. Dengan perubahan nama ini, Zuckerberg mengatakan, babak baru perusahaan yang didirikan di 2004 itu dimulai kembali. Zuckerberg berharap pengguna metaverse akan mencapai 1 miliar individu satu dekade ke depan.

CEO Facebook Inc Mark Zuckerberg mengumumka perubahan nama perusahaan induk menjadi Meta Platform Inc, Kamis (28/10/2021). Meta, yang diambil dari kata metaverse, nantinya akan memfokuskan diri pada pengembangan teknologi virtual tiga dimensi yang memungkinkan penggunanya secara berinteraksi secara langsung dalam satu ruangan virtual.
Perubahan nama itu mengonfirmasi isu yang telah muncul pekan sebelumnya yang menyebut akan ada perubahan nama perusahaan induk Facebook. Zuckerberg dan dua petinggi Facebook lainnya, Nick Clegg dan Javier Olivan, sejak beberapa bulan terakhir telah berbicara ke publik soal metaverse, yang digambarkan sebagai ruang interaksi, ruang digital di dunia maya dan para pengguna di dalamnya bisa berinteraksi satu sama lain menggunakan teknologi augmented reality (AR) dan virtual reality (VR).
Perubahan perusahaan induk Facebook di tengah sorotan tajam pada perusahaan itu mengingatkan seorang konsultan pemasaran, Laura Ries, atas tindakan yang sama yang dilakukan manajemen Britis Petroleum (BP). Dua dekade lalu, manajemen perusahaan mengganti namanya menjadi Beyond Petroleum untuk menghindari kritik atas kebijakan-kebijakan mereka yang merusak lingkungan.
”Facebook adalah platform media sosial dunia dan mereka dituduh menciptakan sesuatu yang berbahaya bagi manusia dan masyarakat. Mereka tidak bisa meninggalkan jejaring sosial dengan nama perusahaan baru dan membicarakan masa depan,” kata Ries.
Baca juga : Facebook Papers: Kelemahan Moderasi Facebook Picu Kekerasan Komunal di India
Para pengkritik Facebook tidak terkesan dengan perubahan nama itu. Sebuah kelompok yang menyebut dirinya sebagai Dewan Pengawas Facebook mengatakan, perubahan nama tidak akan mengubah kenyataan bahwa perusahaan itu membantu merusak demokrasi dengan membantu menyebarluaskan dan mengamplifikasi berita palsu dan minformasi serta ujaran kebencian. Manajemen Facebook, menurut mereka, harus mempertanggungjawabkan hal itu.
Raksasa media sosial itu tengah menghadapi krisis paling serius, setelah mantan analis data mereka, Frances Haugen, bersaksi di depan Kongres dan membuka borok manajemen. Haugen, dalam kesaksiannya menyatakan, para eksekutif mengetahui algoritma yang dikembangkan dan dibangun oleh perusahaan memiliki potensi membahayakan. Namun, manajemen menutup mata terhadap hal itu.
Istilah metaverse, yang menginspirasi nama baru perusahaan induk Facebook, Meta Platforms Inc, diambil dari istilah yang sama yang diciptakan oleh penulis fiksi ilmiah Neal Stephenson untuk novelnya Snow Crash yang terbit pada 1992.
Secara sederhana, Zuckerberg menggambarkan metaverse sebagai lingkungan virtual yang bisa dimasuki oleh seseorang atau sekelompok orang dan berinteraksi langsung dalam bentuk tiga dimensi. Sebuah komunitas tidak berujung dan saling terhubung di mana para penggunanya bertemu, bekerja, dan bermain menggunakan teknologi pendukung augmented reality dan virtual reality.
Di masa depan, menurut analis teknologi, Victoria Petrock, teknologi ini bisa terhubung dengan platform belanja daring dan lainnya. ”Ini adalah evolusi konektivitas berikutnya. Jadi Anda menjalani kehidupan virtual Anda dengan cara yang sama seperti Anda menjalani kehidupan fisik Anda,” katanya.
Baca juga : Facebook Papers Ungkap Ketidakpedulian Facebook terhadap Keselamatan Publik
Dengan teknologi ini, perubahan radikal dalam kehidupan sehari-hari bisa terjadi, mulai dari konser virtual, perjalanan daring, hingga belanja dan mencoba pakaian secara digital. Bahkan apabila di masa depan terjadi pandemi seperti sekarang ini, ketika pola dan sistem kerja berubah, pengguna akan bisa melihat rekan kerja mereka secara virtual tepat di sampingnya. Teknologi seperti ini mirip dengan teknologi hologram dengan berbagai kemajuan di dalamnya, terutama dalam hal interaksi sesama pengguna.
Untuk mendukung penggunaan teknologi ini, Facebook telah meluncurkan platform Horizon Workrooms, sebuah perangkat lunak (software), dan headset Oculus VR. Headset seharga lebih dari 300 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 4,2 juta itu menjadi salah satu alat yang diyakini bisa memberikan pengalaman metaverse yang paling mutakhir saat ini.

Seorang pengunjung menikmati teknologi realitas tertambahkan atau augmented reality dari sebuah produk di Pameran Augmented Reality, Jumat (15/6/2021). Pameran pertama di Asia ini digelar di kampus Universitas Bina Nusantara, Jakarta.
Selain Facebook, perusahaan teknologi lain juga tengah mengembangkan teknologi metaverse. Microsoft, Nvidia, dan pengembang gim daring Fortnite Epic Games adalah beberapa perusahaan yang tengah mengembangkan visi mereka sendiri soal teknologi ini.
Richard Kerris, Wakil Presiden platform Omniverse Nvidia, mengatakan, teknologi ini sangat penting untuk dibuka ke publik sehingga pengguna bisa merasakan perpindahan dari satu dunia ke dunia lain dengan mudah. Pengalaman ini seperti halnya dialami para pengguna desktop, laptop, atau gawai pintar berpindah dari satu pelantar ke pelantar lainnya hanya dengan menyentuh layar gawai-gawai mereka.
Pengembangan teknologi metaverse tidak hanya terpusat pada perusahaan teknologi. Rumah mode Italia, Gucci, diketahui mulai berkolaborasi dengan Roblox, salah produsen gim, untuk menjual koleksi aksesori khusus digital. Coca-cola dan Clinique, yang terakhir adalah perusahaan kosmetik, telah menjual token digital sebagai batu loncatan ke penerapan teknologi metaverse.

Di samping hal-hal yang menarik dalam teknologi itu, Steve Jang, mitra pada perusahaan modal ventura Kindred Ventures, mengingatkan, permasalahan perlindungan data pribadi menjadi sangat penting. Dia meyakini, pengguna teknologi metaverse ingin berselancar menikmati dunia tiga dimensi secara riil dengan nyaman tanpa mengkhawatirkan soal pencurian data pribadi mereka.
Ini penting menjadi perhatian karena platform media sosial sekarang ini marak menyedot data pribadi para pengguna. Kepemilikan akun, foto, unggahan, dan data sebagainya diambil alih yang berujung pada hal yang bisa merugikan pengguna, termasuk membahayakan nyawa pengguna.
Lihat juga : Meta, Nama Baru Pilihan Zuckerberg
”Kita ingin dapat bergerak di internet dengan mudah. Tetapi kita juga ingin dapat bergerak di internet dengan cara yang tidak terlacak dan terpantau,” kata Jang.
Kekhawatiran senada disampaikan Petrock. Dia khawatir teknologi yang dikembangkan Facebook membutuhkan lebih banyak data pribadi sehingga membuka potensi penyalahgunaan yang lebih besar. Sementara, Facebook sampai saat ini tidak memperbaiki masalah tersebut. (AP/AFP)