Belajar dari kehadiran internet di awal dekade 1990-an, kehadiran metaverse bisa menjadi sarana bagi semakin kokohnya nasionalisme, terutama hiper-nasionalisme, tetapi bisa juga menciptakan kewarganegaraan ”postmodern”.
Oleh
ABDUL HAIR
·4 menit baca
Kompas
Didie SW
Akhir Oktober 2021, Mark Zuckerberg resmi mengganti nama Facebook menjadi Meta. Perubahan ini sekaligus memperlihatkan visi Zuckerberg yang tidak lagi berfokus pada media sosial konvensional, tetapi telah berubah menjadi perusahaan metaverse. Apa itu?
Sederhananya, metaverse adalah sebuah ruang virtual yang memanfaatkan teknologi virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) yang memungkinkan setiap orang dari seluruh dunia, tanpa terikat sekat negara-bangsa, untuk berkumpul dan berinteraksi.
Di sana orang-orang bisa sekadar bercakap-cakap, mengadakan seminar, memainkan gim, berbelanja, mengadakan pameran lukisan, atau bersekolah. Nyaris semua kegiatan yang kita lakukan sehari-hari dapat dilakukan di sana.
Inilah masa ketika realitas virtual (daring) dan luring tidak saja menjadi semakin kabur, tetapi juga tumpang tindih satu sama lain.
Saya lalu tergelitik untuk mengajukan satu pertanyaan. Jika dunia virtual yang telah dibangun itu meniadakan sekat negara-bangsa, lalu bagaimana nasib nasionalisme? Apakah nasionalisme menjadi tidak relevan? Atau justru menemukan bentuknya yang baru?
Kompas
Foto yang diambil di Los Angeles pada 28 Oktober 2021 ini menunjukkan seseorang menggunakan Facebook di telepon pintar di depan layar komputer yang menunjukkan logo Meta.
Ragam metaverse
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, penting bagi kita untuk mendiskusikan metaverse lebih jauh.
Metaverse, tidak seperti anggapan banyak orang, bukanlah gagasan orisinil Mark Zuckerberg dan Facebook bukanlah institusi pertama yang mengembangkan metaverse. Sama seperti media sosial, yang tidak hanya ada Facebook, metaverse pun memiliki ragam lain.
Beberapa di antaranya adalah Decentraland, The Sandbox, dan Star Hero. Decentraland, misalnya, yang didirikan pada 2015, adalah suatu metaverse berbentuk negeri yang otonom, desentral, dan bebas dari intervensi pihak ketiga, entah itu pemerintah atau swasta.
Di sana orang-orang dapat membeli tanah, membangun rumah, atau menjual lukisan. Tentu saja semua adalah aset digital. Seluruh transaksi itu dapat berlangsung tanpa intervensi pihak ketiga, katakanlah bank atau notaris, tetapi melalui suatu pemrograman canggih bernama kontrak cerdas.
Lebih dari itu, jika ekosistem Decentraland telah terbentuk, kehidupan di sana tidak akan di atur oleh suatu pemerintahan yang tersentralisasi layaknya sistem negara-bangsa saat ini, tetapi diatur langsung oleh warganya. Bayangkan suatu negara dengan ideologi anarkistis, hanya saja ini adalah suatu negara dalam realitas virtual.
Tentu saja tidak semua metaverse berbentuk seperti itu. Metaverse yang hendak dibangun oleh Facebook adalah metaverse yang tersentralisasi, yang pemerintahannya diatur dan terpusat pada satu pihak, yakni Facebook itu sendiri.
Baik metaverse yang desentral seperti Decentraland maupun yang tersentral seperti Facebook, semua memiliki satu tujuan, yakni membangun ruang baru yang bebas dari sekat negara-bangsa. Jika sudah seperti itu, masih relevankah gagasan nasionalisme dalam kehidupan kita?
Internet, demokrasi, dan nasionalisme
Pertanyaan di atas sebenarnya bukanlah pertanyaan baru. Pada dekade 1990-an, di awal booming internet, para ahli meramalkan bahwa kemajuan teknologi komunikasi akan membuat konsep nasionalisme menjadi usang. Sebab, teknologi komunikasi memiliki kemampuan untuk mengaburkan sekat negara-bangsa.
Lebih dari 20 tahun setelah gegap gempita itu, kita tahu bahwa asumsi di atas keliru total. Bukannya melemahkan rasa kebangsaan, internet justru dikooptasi dan dijadikan alat untuk memperkuat status quo.
Teknologi komunikasi memiliki kemampuan untuk mengaburkan sekat negara-bangsa.
Salah satu bukti paling kuat dari hal itu adalah politisi sayap kanan, yang dahulu dianggap amat membenci internet karena mampu menyuarakan suara-suara terbungkam, justru menjadi politisi yang memiliki jumlah pengikut terbesar di media sosial jika dibandingkan dengan politisi progresif yang mati-matian memperjuangkan demokratisasi.
Lihat saja berapa jumlah pengikut media sosial Donald Trump, Narendra Modi, atau Reccep Tayyip Erdogan. Bandingkan dengan pengikut Jacinda Ardern dan Bernie Sanders.
Lalu apa hubungannya dengan nasionalisme?
Para politisi sayap kanan tersebut menggunakan sentimen nasionalisme sebagai alat untuk tidak saja meraih simpati pemilih, tetapi juga tameng bagi kegagalan mereka dalam pemerataan ekonomi.
Mereka membangun narasi bahwa kemiskinan dan problem sosiokultural lainnya lahir karena adanya pihak asing, atau imigran, yang merebut sumber daya dan lahan pekerjaan ”warga asli”. Dengan demikian, ketimpangan ekonomi, yang sebenarnya bersumber pada kegagalan pemerintah dan sistem kapitalisme global, menjadi terkaburkan.
Perlu dicatat, semua narasi tersebut disebarkan melalui media sosial. Itulah mengapa, lebih dari 20 tahun setelah kehadirannya, tesis bahwa internet akan membuat usang konsep nasionalisme perlu ditinjau ulang. Sebab, kehadiran internet justru menjadi salah satu sarana bagi terciptanya hiper-nasionalisme di pelbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia.
Masa depan nasionalisme
Di atas kertas, kehadiran metaverse tidak ubahnya seperti internet di awal dekade 1990-an, sama-sama memunculkan tesis melemahkan nasionalisme. Namun, belajar dari fenomena di atas, kita tidak boleh terburu-buru untuk meramalkan bahwa nasionalisme akan usang dengan kehadiran metaverse.
Bagi saya, ada dua kemungkinan nasib nasionalisme. Pertama, metaverse akan menjadi sarana bagi semakin kokohnya nasionalsime, terutama hiper-nasionalisme. Sebab, selama sumber daya ekonomi-politik masih dikuasai oleh pihak yang sama, saya kira nasib metaverse tidak akan berbeda dengan internet.
Kedua, tercipta apa yang Rudolf Rizman sebut sebagai kewarganegaraan postmodern, yakni suatu konsep yang mendasarkan kewarganegaraan bukan semata-mata pada negara, melainkan kepada komunitas-komunitas lain di luar negara-bangsa. Konsep ini, saya kira, lebih relevan dengan konteks masyarakat hari ini dan ekosistem metaverse nanti.
Meskipun berat, dengan menimbang kondisi ekonomi-politik hari ini, saya berharap bahwa kemungkinan kedualah yang akan terjadi. Karena bagaimana pun, hiper-nasionalisme berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi sebab akan memperkuat rasisme dan melemahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Abdul Hair, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya