Melampaui Dilema Nasionalisme-Populisme
Keteladanan bapak bangsa Swiss berhasil membawa keluar Swiss dari kubangan politik identitas bercorak tribal sehingga sukses membangun negara kebangsaan yang permanen dan stabil. Indonesia pun bisa begitu.

Supriyanto
Nasionalisme dan populisme (politik identitas) merupakan dua sisi dari koin yang sama. Keduanya ekspresi identitas kelompok yang mencari pengakuan publik. Produk perubahan sosial ekonomi supercepat yang merusak bentuk-bentuk komunitas lama dan menggantikannya dengan multikulturalisme yang membingungkan sebagai asosiasi alternatif.
Sejarawan Francis Fukuyama dalam Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018) menyebut ”Triangulasi TIM” sebagai kombinasi pembentuk politik identitas. Thymos (dorongan kejiwaan), isothymia (keinginan memeroleh perlakuan adil), dan megalothymia (keinginan diakui sebagai superior).
Sejarah manusia digerakkan hasrat untuk memperoleh pengakuan, perlakuan setara, dan superioritas. Ketiga dorongan kejiwaan itu merupakan pusat politik identitas. ”Apa yang ada di dalam diri kelompok kami lebih berharga dibandingkan kelompok kalian.” Begitulah kredo politik identitas.
Swiss berhasil memobilisasi dan mengorkestrasi thymos, isothymia, dan megalothymia sebagai kekuatan kolaboratif. Mampu mengatasi dilema nasionalisme melawan politik identitas. Sejarah kebangsaan Swiss, sejak abad ke-19, positive sum game. Hukum berkelimpahan berlaku. Semua orang merasa menjadi pemenang.
Baca juga: Politik Identitas sebagai Dampak Ketimpangan
Sebelumnya, sejak abad ke-16, Swiss pernah terperangkap zero-sum. Hukum kelangkaan diberlakukan. Selalu ada pemenang dan pecundang. Seorang penguasa muncul, memperbudak rakyat, akhirnya ditaklukkan penguasa lain.
Swiss merupakan negara damai dan makmur. Peringkat kedua bangsa paling bahagia di dunia. World Economic Forum menobatkan Swiss peringkat teratas negara paling kompetitif. Pekerjanya paling efisien. Pendapatan per kapita penduduknya tertinggi di dunia.
Stephen R Covey dalam The 3rd Alternative (2011) menyebut Swiss sesungguhnya tidak memenuhi syarat sebagai sebuah negara kebangsaan. Kondisi geografi tidak menguntungkan. Bangsa Swiss, secara massif, dikepung Pegunungan Alpen. Sumber daya alam terbatas. Tidak punya akses ke laut. Subkultur jadi sumber perpecahan. Penduduk bagian barat berbahasa Perancis. Sebelah utara dan timur Jerman. Di bagian selatan Italia.
Stephen R Covey dalam The 3rd Alternative (2011) menyebut Swiss sesungguhnya tidak memenuhi syarat sebagai sebuah negara kebangsaan.
Komunitas petani dan pedagang berwatak agresif. Ikatan budaya yang kuat dan fanatisme agama menyulitkan integrasi. Sejarah Swiss identik penaklukan, perebutan, dan pemisahan berulang kali. Kedua puluh wilayah Swiss sudah berabad-abad lamanya tak henti saling menghantam.
Setiap wilayah menjaga hak dan perbatasan dengan gigih. Kegiatan perdagangan tidak mengindahkan kepentingan negara. Kain dan keju yang melintasi perbatasan dikenakan pajak pengangkutan barang yang tak masuk akal. Uang merupakan alat tukar yang semrawut. Setiap wilayah mengeluarkan mata uang masing-masing. Ada 700 jenis uang logam.
Agama merupakan masalah yang paling mengkhawatirkan. Swiss, sejak abad pertengahan hingga zaman reformasi gereja, tidak bisa menghindari perselisihan agama. Perselisihan yang memorakporandakan Eropa.

Wilayah Swiss tahun 1845 dibentuk menjadi Liga Protestan dan Katolik. Dua tahun kemudian meletus perang saudara. Austria, Perancis, dan Jerman siap mencaplok Swiss yang sudah di ambang kehancuran.
Beruntung pasukan Swiss dipimpin Jenderal Gilaume-Henri Dufour, insinyur multibakat. Pernah bertempur melawan pasukan Napoleon. Perancang jembatan gantung permanen pertama di Geneva. Seorang pencinta damai. Tentara yang sangat manusiawi. Mau belajar dari sisi buruk pertempuran. Perang jadi alasan menciptakan perdamaian.
”Saat Anda menyeberangi perbatasan, tinggalkan amarah. Pikirkan saja tugas yang harus Anda penuhi. Begitu meraih kemenangan lupakan segala dendam. Bersikaplah sebagai tentara yang baik hati. Itulah pembuktian keberanian sesungguhnya. Lindungi semua musuh yang tak berdaya. Jangan biarkan mereka dianiaya dan dihina. Jangan hacurkan apa pun. Bersikaplah dengan perilaku yang membuat Anda akan dihormati.” Itulah maklumat Dufour saat ditunjuk sebagai pemimpin pasukan Konfederasi.
Dufour mengakhiri perang saudara 1847 dalam 26 hari. Tak banyak pertempuran terjadi. Ia lebih sibuk melakukan gencatan senjata dan perundingan.
Dufour mengakhiri perang saudara 1847 dalam 26 hari. Tak banyak pertempuran terjadi. Ia lebih sibuk melakukan gencatan senjata dan perundingan. Tak lebih dari 128 prajurit yang tewas. Bandingkan dengan yang terjadi delapan tahun kemudian, sebanyak 618.000 orang tewas dalam perang saudara di Amerika pada 1855.
Perhatian luar biasa Dufour kepada musuh yang terluka dan syarat lunak yang ia ajukan memenangkan hati pemberontak. Tindakan Dufour mempersatukan kembali Swiss. Pada 1863, Dufour memimpin Konvensi Geneva pertama yang melahirkan Palang Merah Internasional.
Perang saudara melibatkan kaum liberal dan industrialis penganut Protestan melawan rakyat perdesaan atau kaum tani konservatif penganut Katolik. Kebencian antara umat Protestan dan Katolik sudah berlangsung sejak abad ke-15. Kedua belah pihak saling menyalahkan. Terperangkap lingkaran setan balas dendam yang semakin menanjak berkepanjangan.
Baca juga: Perang Saudara Meluas, Myanmar Menuju Situasi Terburuk
Hingga abad ke-19, Swiss merupakan negeri miskin. Awal abad ke-20 bangkit menjadi negara industri penting. Negeri mungil yang tak putus dirundung pertikaian mengalami transformasi menjadi negeri yang damai dan makmur berkat kepemimpinan, kemurahan hati, dan sikap memaafkan Dufour.
Bangsa Swiss, guna mengakhiri siklus permusuhan, merancang pemerintahan nasional dengan mengadopsi sistem demokrasi langsung melalui Konstitusi 1848. Hukum memang dirancang lembaga legislatif. Namun, warga boleh menentang produk hukum mana pun yang tidak mereka setujui melalui proses petisi. Usai pemberian suara, para pemrotes mengucapkan kalimat ”kedaulatan telah berbicara”.
Sistem ini mendidik publik mendorong pembagian kekuasaan dan respek terhadap kaum minoritas. Selain itu, juga memotivasi para pembuat kebijakan bersikap moderat dan konsensual. Mahkamah Agung Federal akan memberlakukan undang-undang apabila terjadi kekeliruan hukum. Pun apabila HAM tidak dihormati.

Bangsa Swiss keturunan Jerman, Perancis, dan Italia yang didera konflik etnis dan agama berkepanjangan memilih berubah. Transformasi luar biasa Swiss terjadi karena seluruh rakyat merasa didengar. Tumpang tindih hukum dan pembuatan uang berhenti. Swiss terhindar dari dua Perang Dunia.
Demokrasi merupakan pemersatu bangsa yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, dan agama. Sistem pendidikan menekankan pentingnya persatuan kreatif dan meniadakan dendam lama. Hukum tidak mengenal identitas etnis. Hukum hanya mengakui individu. Tidak ada kekuatan numerik kelompok sebagai penentu dominasi. Hukum dianggap merugikan individu apabila tidak melindungi anggota kelompok minoritas.
Sebelumnya ketegangan selalu meningkat akibat ketidaksetaraan mencolok di bidang ekonomi dan politik antara kelompok etnis dan agama. Konflik etnis dan agama selalu dipicu arogansi kelompok elite. Swiss memperlihatkan kepada seluruh dunia cara membangun negara kebangsaan menggunakan kultur sinergi.
Kultur kuno di setiap wilayah dihormati. Bahasa Jerman, Perancis, dan Italia berkedudukan setara. Saat bangsa Swiss membuat isyarat saling menghormati. Prasangka barbar yang mendorong rakyat bersaing, bermusuhan, dan menjadi budak perang reda. Hasilnya? Sinergi kedalaman Jerman dengan keanggunan Perancis dan cita rasa Italia.
Swiss pionir sinergi kebangsaan. Tujuan bapak bangsa Swiss bukanlah kemenangan melainkan perubahan bagi semua orang pada semua pihak. Dalam bahasa Jepang, paradigma menyerang disebut kiai. Tenaga difokuskan secara total dan intens untuk menghalangi atau menghancurkan musuh. Paradigma sinergi, sebaliknya, dinamakan aiki. Mengacu pada keterbukaan pikiran dan penyelarasan tenaga kedua belah pihak secara nonkonfrontatif.
Seni bela diri revolusioner bertumpu pada sinergi dinamakan aiki-do. Artinya jalan damai untuk menghasilkan tenaga lebih besar. Para pihak bertikai mendapat kekuatan dari komitmen menuju level transformasi yang sama sekali baru. Bapak kebangsaan Swiss lebih memperagakan aiki ketimbang kiai. Praksis hormat sejati dan empati ketimbang menyerang dan menghalangi.

Lambang negara Swiss, palang merah, di luar paviliun Swiss pada Expo 2020 di Dubai, 2 Oktober 2021.
Pembelajaran di Indonesia
Bagaimana relevansi kasus Swiss bagi pembelajaran di Indonesia? Politik identitas berkobar di Indonesia seperti saat Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019. Kontestasi politik merosot menjadi menang-kalah atau kalah-menang. Resolusi konflik seperti ini identik dengan gagasan kecingkrangan (scarcity). Elite politik yang berebut kekuasaan hanya melihat kompetisi bukan kooperasi. Paradigma mereka ”kami melawan kalian”. Resolusi konflik politik identitas tidak akan pernah bisa melampaui pemikiran sempit itu.
Pendiri negara kebangsaan Indonesia sudah memberi teladan bagus. Bersikap rendah hati sekaligus percaya diri. Pendengar yang baik bukan pembicara haus pengakuan. Konflik dilihat bukan sebagai masalah melainkan peluang. Perbedaan etnis, agama, dan sektarian dipandang sebagai media pemelajaran bukan sebagai tembok penghalang.
Pendiri negara kebangsaan Indonesia sudah memberi teladan bagus. Bersikap rendah hati sekaligus percaya diri. Pendengar yang baik bukan pembicara haus pengakuan.
Resolusi konflik para pendiri NKRI memuat gagasan kelimpahan (a bundance living) dan bersifat transformatif. Wawasan kebangsaan mereka membenarkan ungkapan ”bersama mendapatkan semua. Terpisah tak mendapatkan apa-apa”. Bukan sekadar menyelesaikan perseteruan, melainkan mengubah paradigma penyebab konflik.
Sejarah nasionalisme Indonesia sarat dengan teladan ketulusan beragama. Pandangan berketuhanan yang tidak mementingkan diri sendiri tecermin dalam perilaku tokoh bangsa yang peduli. Menerima perbedaan sebagai kenyataan yang harus dihadapi dengan semangat saling memuliakan. Ketuhanan tanpa egoisme agama.
Indonesia memiliki common ground bernama Pancasila. Konsensus dasar hasil kesepakatan para pendiri NKRI saat perumusannya juga menyantuni prinsip sinergi. Kerelaan umat Islam merupakan mile stone paling membanggakan berkaitan dengan kaidah emas agama. Kerelaan golongan mayoritas untuk menerima pencoretan ”tujuh kata” dalam Piagam Jakarta saat PPKI membahasan Rancangan pembukaan UUD 1945. Namun, para tokoh Islam memiliki kelapangan hati untuk mengutamakan perdamaian, bersedia menerima konstruksi komunitas politik egaliter. Konstruksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara apapun latar belakang agama dan golongannya.
Baca juga: Politik Identitas dan Kemunduran Demokrasi
Islam, dianut sebagian besar warga negara Indonesia, sebagaimana agama-agama lainnya, tak luput dari sejarah kekerasan. Namun, sapuan besar mosaiknya didominasi kuat warna toleransi dan kedamaian. Doktrin dan mashab radikal memang selalu ada dalam lintasan sejarah. Kendati demikian, pengaruhnya relatif terbatas. Bisa dilunakkan ragam ekspresi komunitas Islam yang berbudaya dan beradab. Kecerdasan spiritual pemimpin pada masa kritis terbukti mampu mengatasi kesulitan besar akibat politik identitas.
Y Sumardiyanto, Guru Sejarah dan Sosiologi SMA Kolese De Britto Yogyakarta
