Kemunculan galur Omicron mengingatkan kita pada ketidakpastian selama pandemi Covid-19. Namun, diperkirakan tahun 2022 akan menjadi tahun yang baik bagi pertumbuhan seiring dengan pemulihan ekonomi global.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
Ekonomi dunia pada 2021 terbangun dari koma yang disebabkan pandemi Covid-19. Namun, lonjakan inflasi, kemacetan rantai pasok global, dan Covid-19 galur Omicron pada akhir tahun meredupkan optimisme menghadapi tahun depan. Dunia harap-harap cemas menanti pemulihan ekonomi global pada 2022.
Negara-negara telah membukukan angka pertumbuhan yang mengesankan ketika mereka berusaha keluar dari kedalaman resesi akibat Covid-19 dua tahun terakhir. Negara-negara kaya dengan akses yang lebih baik terhadap vaksin Covid-19 berada di depan. Amerika Serikat (AS) telah mengatasi penurunan terburuk sejak masa Depresi Besar tahun 1929, sementara ekonomi Zona Euro dapat kembali ke tingkat prapandemi. Namun, kebangkitan virus SARS-CoV-2 galur Omicron menimbulkan kekhawatiran baru bagi semua negara.
”Covid-19 akan tetap menjadi ancaman kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara dengan tingkat vaksinasi rendah,” kata analis di lembaga pemeringkat kredit Moody’s, seperti dikutip AFP. Dengan tingkat vaksinasi Covid-19 yang baru mencapai 2,5 persen, ekonomi Afrika sub-Sahara akan tumbuh lebih lambat, demikian dinyatakan Dana Moneter Internasional (IMF). Lembaga itu memperkirakan sebagian besar negara berkembang belum sepenuhnya pulih di tingkat sebelum pandemi hingga tahun 2024.
Inflasi telah meningkat ke level tertinggi tahun ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya di seluruh dunia karena konsumen kembali berbelanja, sementara industri menghadapi kekurangan pasokan dan gangguan di rantai pasokan. Harga-harga pun naik. Harga minyak, gas alam, dan aneka bahan baku, seperti kayu, tembaga, dan baja, melonjak. ”Kejutan terbesar tahun 2021 adalah lonjakan inflasi yang didorong oleh permintaan barang,” tulis analis Goldman Sachs dalam prospek ekonomi tahun 2022.
Namun, kalangan investor khawatir bank-bank sentral akan menarik program stimulus dan menaikkan suku bunga lebih awal dari yang diharapkan untuk menjinakkan inflasi.
Bank-bank sentral bersikeras bahwa tekanan inflasi adalah konsekuensi sementara dari kegiatan ekonomi yang kembali normal tahun ini setelah terhenti ketika pandemi meletus pada 2020. Pasar saham telah mencapai rekor tertinggi baru tahun ini. Namun, kalangan investor khawatir bank-bank sentral akan menarik program stimulus dan menaikkan suku bunga lebih awal dari yang diharapkan untuk menjinakkan inflasi.
Bank sentral di Brasil, Rusia, dan Korea Selatan telah menaikkan suku bunga untuk memerangi kenaikan inflasi, sebuah langkah yang dapat mengendalikan pertumbuhan. Bank Sentral Inggris, pekan lalu, menjadi bank sentral negara anggota G-7 pertama yang menaikkan suku bunga acuan sejak pandemi Covid-19 memukul ekonomi global. Bank Sentral Inggris menyatakan harus bertindak sekarang meski Covid-19 galur Omicron melanda Inggris.
Perhatian lekat juga terarah ke China, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. Salah satu pendorong utama pertumbuhan global itu tengah menghadapi banyak risiko. Di tengah kepungan galur Omicron dan krisis energi, China berhadapan dengan kekhawatiran rembesan yang bisa saja meledak akibat krisis utang di perusahaan raksasa real estat, Evergrande Inc. Penurunan sektor properti China patut menjadi perhatian utama. Itu terutama dikaitkan dengan dampaknya terhadap momentum pertumbuhan secara keseluruhan dan rantai pasokan terkait.
Tim riset ANZ memperkirakan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) China akan melambat menjadi 4,6 persen pada 2022, lebih rendah daripada rata-rata dua tahun terakhir sebesar 5,1 persen. ”Seperti yang kami perkirakan, harga properti akan terus berada di tren lebih rendah pada bulan-bulan berikutnya dan tekanan utang pengembang meningkat. Penyesuaian kebijakan akan berlanjut untuk beberapa waktu,” demikian tulis tim riset ANZ. ANZ melihat adanya peningkatan risiko dari ganti rugi sektor perumahan. Perlunya dukungan kebijakan dari pemerintah dapat menyeret pertumbuhan secara umum.
Prospek China yang lebih lemah diproyeksikan akan berimplikasi pada sejumlah negara berkembang. Misalnya, lemahnya aktivitas sektor real estat menyebabkan permintaan komoditas seperti logam industri lebih rendah. Kondisi itu akan memukul ekspor di Amerika Latin dan Afrika Sub-Sahara.
Riset Schroders menilai kebijakan moneter dan fiskal yang lebih ketat oleh negara-negara akan semakin membebani pertumbuhan. Peningkatan inflasi yang tajam di negara berkembang biasanya membebani aktivitas ekonomi dengan jeda enam hingga sembilan bulan. Kebijakan yang lebih ketat kemungkinan akan menjadi hambatan signifikan pada aktivitas-aktivitas ekonomi, khususnya jika dikombinasikan dengan kemungkinan penghematan fiskal saat negara-negara berusaha memperbaiki kerusakan pada posisi anggaran akibat pandemi.
Kepala Ekonom dan Strategi Schroders, Keith Wade, menekankan kemunculan galur Omicron Covid mengingatkan kita pada ketidakpastian yang masih ada selama pandemi. Namun, dia memperkirakan tahun 2022 akan menjadi tahun yang baik bagi pertumbuhan seiring dengan pemulihan ekonomi global. Inflasi diharapkan berada di level moderat. Diperkirakan, inflasi global sebesar 3,4 persen pada 2021 dan meningkat menjadi 3,8 persen pada 2022. Pertumbuhan PDB global tahun 2021 diperkirakan 5,6 persen diikuti pertumbuhan 4,0 persen pada 2022.
Wade mengingatkan kemungkinan efek ditariknya dukungan kebijakan bank-bank sentral dan negara-negara bagi aneka kegiatan ekonomi pada 2022. Kebijakan stimulus fiskal besar-besaran dalam merespons pandemi Covid-19 sudah mereda di AS dan Inggris. Berbagai kebijakan belanja pemerintah dan perpajakan memang dirancang untuk mendukung perekonomian dalam jangka pendek.
Meskipun belanja pemerintah bisa tetap kuat pada 2022, kebijakan fiskal secara keseluruhan diperkirakan kurang mendukung. Kondisi itu seharusnya tidak mengejutkan, mengingat dukungan fiskal yang besar sepanjang 2021. Di AS, misalnya, program belanja infrastruktur akan mulai tahun depan dan diharapkan ikut mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, diingatkan bahwa secara keseluruhan kebijakan fiskalnya akan lebih kecil dibandingkan dengan 2021.
Kondisi agak berbeda diproyeksikan terjadi di Zona Euro. Belanja fiskal diperkirakan tetap kuat karena rencana pemulihan Eropa. Stimulusnya diperkirakan sedikit lebih rendah daripada tahun 2021, tetapi masih signifikan.
Sementara itu, China diperkirakan juga akan mempertahankan stimulus fiskal pada 2022 melalui pinjaman pemerintah daerah yang lebih tinggi dan sebagian karena bank didorong untuk memberikan lebih banyak pinjaman.
----------
Seri Laporan Internasional Catatan Akhir Tahun 2021: