Krisis Kemanusiaan, Badai yang Tak Kunjung Berlalu
Konflik masih menjadi pendorong utama krisis kemanusiaan. Kekerasan, ditambah cuaca ekstrem, dan kini pandemi menciptakan badai sempurna bagi penduduk dunia paling rentan.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·4 menit baca
Suram barangkali tepat untuk menggambarkan situasi kemanusiaan global sepanjang 2021. Laporan Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UNOCHA) dalam Global Humanitarian Review menyebutkan, sebanyak 235 juta orang di seantero jagat perlu bantuan. Konflik berkepanjangan, dampak perubahan iklim, dan pandemi Covid-19 memukul warga dunia paling rentan dengan keras.
Dari berbagai negara yang menjadi titik panas krisis kemanusiaan, warta yang terdengar tak kunjung membaik. Jika kita mengetik di mesin pencari dengan kata kunci ”krisis kemanusiaan global”, nama-nama negara yang muncul hanya itu-itu saja: Yaman, Afghanistan, Etiopia, Sudan Selatan, Myanmar.
Belum lagi kemunculan titik panas baru, seperti perbatasan Polandia-Belarusia, tempat pengungsi terdampar tanpa kejelasan nasib. Kasus kemiskinan ekstrem meningkat, bahkan di negara yang tidak mengalami konflik.
Kepala UNOCHA Martin Griffiths, saat peluncuran Global Humanitarian Overview di Geneva, awal Desember lalu, menuturkan, jumlah penduduk dunia yang memerlukan bantuan naik 17 persen dibanding tahun sebelumnya. Diperlukan dana setidaknya 41 miliar dollar AS untuk menyediakan bantuan dan perlindungan bagi 183 juta orang yang paling terdampak di 63 negara.
Dari dana itu, baru 17 miliar dollar AS yang bisa didapat. ”Bantuan penting dan bisa membuat perbedaan, tetapi bukan solusi. Bantuan bukan obat, tidak akan menggantikan dana pembangunan. Itu hanya tambahan, penolong belaka,” ujar Griffiths.
Tahun 2021 ditandai dengan kerawanan pangan global yang semakin parah. Kelaparan akut dipicu konflik, cuaca ekstrem, penyakit lintas batas, dan pandemi menciptakan badai sempurna bagi penduduk yang sudah rentan.
Global Report on Food Crises dalam laporannya pada September memperkirakan 161 juta orang di 42 negara mengalami kerawanan pangan akut selama delapan bulan pertama tahun 2021. Ini rekor tertinggi dan belum pernah terjadi.
Peningkatan dipicu terutama oleh kekurangan pangan di Afghanistan, Myanmar, dan Somalia. Sementara kondisi mendekati kelaparan dialami 45 juta orang di 43 negara, termasuk di Etiopia, Madagaskar, Sudan Selatan, dan Yaman.
Krisis kelaparan terbesar terjadi di Afghanistan. Kekurangan pangan akut memengaruhi 22,8 juta orang, lebih dari separuh populasi. Ini termasuk 8,7 juta orang yang mengalami rawan pangan darurat. Akibatnya, 3,2 juta anak berusia di bawah lima tahun diperkirakan mengalami malnutrisi akut pada akhir tahun 2021.
Pada 2021, dampak perubahan iklim berbaur dengan dampak konflik menjadi akar masalah kelaparan. Salah satu buktinya, menurut laporan UNOCHA, terlihat di Madagaskar. Antara November 2020 dan Januari 2021, wilayah Grand Sud di negara itu mendapat kurang dari 50 persen curah hujan dibanding kondisi normal.
Akibatnya, kekeringan terparah melanda Madagaskar sejak 1981. Hujan yang tak turun saat musim tanam mengakibatkan gagal panen. Keluarga yang terdampak terpaksa memakan serangga, dedaunan liar, dan kaktus yang biasanya dimakan ternak.
Konflik masih menjadi pendorong utama krisis kemanusiaan. Meskipun seruan gencatan senjata karena pandemi Covid-19 terus didengungkan, para pihak yang terlibat tak mau mundur.
Ini terjadi di antaranya di Yaman. Dana Populasi PBB (UNFPA) menyebut Yaman sebagai negara yang menempati urutan teratas krisis kemanusiaan di dunia. Dua pertiga penduduknya atau sekitar 20,7 juta orang perlu bantuan kemanusiaan sepanjang 2021 akibat konflik sarat kekerasan, blokade ekonomi, mata uang kolaps, banjir, dan pandemi.
Konflik dan kekerasan memunculkan krisis lain, yakni pengungsi. Yang paling jelas dalam ingatan adalah eksodus warga Afghanistan setelah kelompok Taliban mengambil alih ibu kota Kabul, Agustus lalu.
Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) menyebutkan, jumlah orang-orang yang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya terus bertambah pada 2021. Jumlahnya secara global melebihi 84 juta orang. Alasan terbanyak adalah konflik dengan kekerasan, terutama di Afrika, seperti Republik Demokratik Kongo dan Etiopia.
”Komunitas internasional gagal mencegah kekerasan, persekusi, dan pelanggaran hak asasi manusia sehingga terus menyebabkan orang pergi dari tempat tinggalnya,” kata Filippo Grandi, Komisioner UNHCR.
Persoalan menjadi pelik saat pandemi karena perbatasan negara banyak ditutup guna meredam penyebaran virus SARS-CoV-2 sehingga akses pengungsi kian sempit. Ditambah ketegangan di perbatasan antarnegara membuat nasib mereka makin tak jelas, bahkan taruhannya nyawa.
Tahun 2022, lembaga-lembaga kemanusiaan memprediksi tren krisis kemanusiaan masih terjadi. Namun, upaya terus dilakukan untuk mengurangi dampak mengerikan dari gabungan konflik, perubahan iklim, dan pandemi.
Secercah harapan bagi penduduk Afghanistan datang setelah PBB mengeluarkan resolusi untuk membayar dana keamanan aset dan personel, terutama terkait bantuan kemanusiaan. AS menyusul dengan melonggarkan beberapa sanksi agar bantuan kemanusiaan bisa masuk ke negara itu dan menjangkau penduduk yang mulai putus asa.
Seperti disebutkan Wakil Presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Gilles Carbonnier dalam wawancara dengan Kompas, 9 Desember, perlu terobosan dan cara baru dalam menyediakan sekaligus menyalurkan bantuan kemanusiaan ke wilayah rawan.
”Salah satu tantangan pasti akses. Kami harus memastikan bisa mendapat pengecualian untuk memberikan bantuan bagi penduduk yang paling terdampak,” katanya.
Persoalan mendasar lain adalah kesenjangan antara sumber dan kebutuhan. ”Kita perlu memanfaatkan sains dan teknologi untuk meningkatkan efektivitas respons. Lebih banyak sumber daya, lebih efektif,” lanjut Carbonnier.
Griffiths mengungkapkan, tahun 2021, berkat kedermawanan sosial, UNOCHA bisa mengirimkan makanan, obat-obatan, fasilitas kesehatan, dan bantuan esensial lain kepada 107 juta orang atau 70 persen dari target. Setidaknya dengan masih adanya kepedulian sosial di tataran global, badai krisis kemanusiaan bisa segera berlalu.
------------
Seri Laporan Internasional Catatan Akhir Tahun 2021: