Membaca Ambisi China di Tengah Militerisasi Laut China Selatan
Kekuatan militer China di Laut China Selatan beberapa tahun ini ditingkatkan dalam skala yang lebih besar. Bersamaan itu, China mengembangkan diplomasi lunak dan tebar pesona di ASEAN. Apa yang bisa dibaca dari China?
Dunia belakangan ini terus menyaksikan peningkatan ketegangan di Laut China Selatan. Pertautan kepentingan tidak lagi semata melibatkan enam pihak pengeklaim di kawasan. Sejumlah negara kuat dari luar kawasan, bukan pengeklaim, pun satu per satu masuk ke pusaran konflik dan unjuk kekuatan.
Penguasaan atas pulau dan fitur di Laut China Selatan (LCS) telah menjadi isu dominan dalam urusan luar negeri Asia. China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan memiliki irisan klaim teritorial di wilayah maritim tersebut.
Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, wilayah negara berdaulat juga termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE). Zona ini membentang 200 mil laut dari garis pantai. Namun, China mengklaim LCS sampai ke ZEE Malaysia dengan alasan kepemilikan historis atas wilayah itu. Beijing merujuk pada pelayaran yang dilakukan Dinasti Ming (1368-1644) 600 tahun silam.
Di situlah titik mula ketegangan. China memiliki ukurannya sendiri, yang dipaksakan untuk berlaku bagi negara-negara lain. Peraturan domestik diterapkan bagi kepentingan multinasional. Sebenarnya ini naif karena tidak sesuai dengan UNCLOS 1982, yang juga ikut diratifikasi Beijing. China pun terus memperluas klaimnya.
Baca juga : Ekspansionisme China dan Matinya Diplomasi di Laut China Selatan
Konflik kawasan akibat irisan klaim teritorial itu kini tumbuh menjadi isu global akibat keterlibatan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya yang berlayar atas nama ”kebebasan navigasi”. Di tengah meningkatnya ketegangan di LCS, muncul istilah ”militerisasi” sebagai salah satu leksikon baru dalam wacana dan perang diplomasi atas klaim maritim multinasional itu.
AS dan sekutunya, baik sekutu regional maupun Barat yang bukan pengeklaim, menuduh China telah melakukan militerisasi LCS. China membangun pos-pos terdepan, pengerahan kapal perang, sistem rudal, radar, pangkalan angkatan laut, instalasi militer, dan aset militer lainnya di pulau dan fitur yang diduduki.
Sementara China menuding operasi ”kebebasan navigasi” (FONOPs) yang dirintis AS sejak 27 Oktober 2015 dan aktivitas militer bersama sekutunya sebagai ”tindakan provokatif”. Beijing menilai tindakan tersebut dapat ”merusak stabilitas regional” dan ”membahayakan” kepentingan keamanan negara pesisir.
Empat bulan setelah AS memulai FONOPs, China mendaratkan satu jet tempurnya di pulau buatan Fiery Cross Reef, 17 Februari 2016. Sekarang ini China juga makin dekat untuk membangun platform nuklir maritim pertamanya, tepat saat AS dan sekutu mengintensifkan FONOPs di LCS.
Selain itu, lebih cepat dari perkiraan AS sebelumnya, China kemungkinan besar akan memiliki 700 hulu ledak nuklir pada 2027 dan terus berkembang menjadi 1.000 unit pada 2030. Sebagian di antaranya diperkirakan untuk memperkuat kehadiran militer China yang kian intensif dan tegas di LCS.
Baca juga : Pentagon: China Bakal Punya 1.000 Hulu Ledak Nuklir pada 2030
China, seperti dilaporkan South China Morning Post, Selasa (28/12/2021), sedang membangun lebih banyak kapal perang daripada yang dibutuhkan untuk beroperasi di ”dekat pantainya”. Kepentingan luar negerinya semakin luas. Sebagian kapal itu hendak dikirim ke perairan internasional.
Pendaratan jet tempur China di Fiery Cross Reef yang diikuti peningkatan aktivitas militer China di LCS serta peningkatan patroli FONOPs oleh AS dan sekutunya membuat mereka bersitegang. Para pihak saling menuding sebagai biang kerok militerisasi di kawasan LCS.
Militerisasi di LCS
Siapa, bagaimana, dan apakah ada pihak yang melakukan militerisasi di LCS yang disengketakan, tergantung dari bagaimana istilah ”militerisasi" didefinisikan. Kuik Cheng-Chwee, Associate Professor pada Kajian Strategis dan Hubungan Internasional di National University of Malaysia dan Institute of China Studies di University of Malaya memberikan pandangannya.
Kuik mendefinisikan ”militerisasi” sebagai langkah aktor negara untuk mengerahkan dan memanfaatkan aset dan aktivitas militer tertentu di wilayah yang diperebutkan sebagai sarana untuk mengejar tujuan strategis dan politik yang lebih luas. Militerisasi seperti itu dilakukan secara nyata di LCS.
Dalam esainya bertajuk ”Militerisasi China di Laut China Selatan”, Kuik menyebutkan, langkah aktor negara itu dapat berupa pendudukan, pembangunan fasilitas militer, dan pengerahan angkatan bersenjata. Juga berupa latihan perang dan kemitraan pertahanan dengan kekuatan lain, atau peningkatan demonstrasi aliansi di sekitar dan atas wilayah sengketa.
Tindakan itu dapat dilakukan secara sepihak, bilateral dan/atau multilateral. Tujuannya adalah melakukan kontrol, dominasi, pertahanan, pencegahan, penolakan, negosiasi atas keuntungan langsung dan atau jangka panjang. Dari definisi Kuik ini, kita dapat mengatakan, hampir semua pemain kunci di LCS terlibat dalam militerisasi dalam satu atau lain cara meskipun dalam tingkat yang berbeda.
Baca juga : Laut China Selatan, dari Kepentingan Kawasan Menjadi Global
Dengan demikian, militerisasi tidak hanya dilakukan oleh para pihak pengeklaim di LCS. Negara-negara besar dari luar atau non-claimant juga melakukannya. Namun, menurut Kuik, gerakan militerisasi China paling dominan dan mendapat sorotan paling luas di dunia. ”Ini seharusnya tidak mengejutkan,” katanya.
Jika dibandingkan dengan kehadiran militer AS yang kuat dan telah berlangsung lama di perairan Asia, tindakan militer China itu sebenarnya relatif baru dan kurang mengakar. Walau demikian, kekuatan militer China di LCS dalam beberapa tahun ini telah ditingkatkan dalam skala lebih besar jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga saingannya.
Majalah dua bulanan AS, The National Interest (TNI), edisi 30 Juli 2021, melaporkan, China sudah membangun pangkalan militer di karang Subi, Mischief, Fiery Cross, dan fitur lain di Spratly. China juga mendirikan instalasi militer di Pulau Woody di Paracel. Semuanya dilengkapi dengan infrastruktur rudal, radar, dan helikopter di beberapa daerah lainnya.
Untuk pangkalan militer yang lebih besar, seperti di Subi, Mischief, Fiery Cross, dan Pulau Woody, China membangun infrastruktur pendukung perawatan pesawat militer, termasuk pesawat tempur dan kapal patroli besar. Semuanya itu akan membuat ”Negeri Tirai Bambu” itu bisa memperluas kehadiran militernya pada masa depan di LCS.
Menurut situs Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI), Center for Strategic and International Studies (CSIS), China memiliki 20 pos terdepan di gugus Kepulauan Paracel dan 7 pos di Kepulauan Spratly. Jumlahnya sekarang diperkirakan sudah bertambah.
Tindakan militerisasi China bahkan dilakukan ”pada tingkat paling cepat dan dengan implikasi yang berpotensi paling berkonsekuensi untuk tatanan regional,” kata Kuik.
Baca juga : Laut China Selatan, Babak Baru yang Makin Kompleks
Peningkatan kegiatan militerisasi LCS tampak dicirikan oleh tiga elemen. Pertama, dalam hal operasi, gerakan militer China dilakukan bersamaan dengan kegiatan nonmiliter atau paramiliter. Misalnya, ada pengerahan secara besar-besaran petugas penjaga pantai dan milisi maritim China.
Kedua, dari segi tujuan, tindakan militerisasi China mengarah pada upaya menciptakan fait accompli di wilayah yang disengketakan dan berusaha mengejar hal tersebut tanpa menimbulkan reaksi di seluruh kawasan.
Terakhir, dalam hal waktu dan kecepatan. Langkah militer sepihak China dalam menegaskan klaimnya yang berlebihan, sebagian besar telah diterapkan secara reaktif—terkadang secara preemptive—terhadap perkembangan eksternal yang dianggap menargetkan China, terutama yang terkait dengan AS. Langkahnya pada awal dilakukan bertahap, tetapi telah dipercepat sejak awal 2016.
Militerisasi China dan sikapnya yang semakin tegas di LCS, yang dimulai sejak 2009, sebenarnya membingungkan. Di satu sisi, China mengembangkan diplomasi lunak, tebar pesona, dengan negara-negara Asia Tenggara. Namun, di sisi lain, militerisasi China bertentangan dengan gagasan ”peaceful development” dan strategi ”peripheral diplomacy” Presiden Xi Jinping.
Diplomasi lunak China diwujudkan dalam keterlibatan bilateral yang ramah, partisipasi aktif dalam forum multilateral, dan keterlibatan konstruktif dalam integrasi regional. Puncak hubungan itu terlihat dari kesediaan Beijing menandatangani Deklarasi Perilaku Para Pihak di LCS (DOC) 2002 dan menyetujui pakta non-agresi ASEAN, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (TAC), tahun 2003. Kerja sama dan persahabatan dan tebar pesona adalah tema utama periode itu.
”Perilaku asertif China saat ini sangat kontras dengan, dan menandai ’pergeseran’ dari, pendekatan sebelumnya,” kata Kuik.
Namun, militerisasi China bertentangan dengan gagasan ”peaceful development” dan strategi ”peripheral diplomacy” Presiden Xi Jinping. Melalui mode diplomasi ini, China berupaya menjalin kerja sama yang baik dengan negara tetangga (good neighbors diplomacy), termasuk dengan negara-negara tetangga yang berkonflik di LCS, seperti dilaporkan Foreign Policy.
Mengawali kepemimpinannya, dalam konferensi kerja tingkat tinggi di Beijing pada Oktober 2013, Xi sebenarnya telah memperkenalkan empat prinsip ini: qin, cheng, hui, rong, yang berarti keramahan, ketulusan, saling menguntungkan, dan inklusivitas. Keempat prinsip ini sebagai panduan strategi China dalam menghadapi negara-negara tetangganya.
Namun, tindakan militerisasi Beijing yang semakin kuat dan meningkat di LCS tidak kongruen dengan empat prinsip tersebut. Tindakan yang tidak sebangun dengan gagasan Xi itu mengirimkan sinyal yang beragam ke negara-negara kecil, yang menjadi pengeklaim saingan China di kawasan.
Diplomasi egosentris
Orang lantas bertanya-tanya mengapa China menjadi lebih tegas meskipun sebelumnya menjalankan hubungan dialogis yang ramah dengan tetangga? Mengapa China mengejar militerisasi di LCS meskipun kebijakan garis keras seperti itu mendorong beberapa negara di kawasan bergerak lebih dekat kepada AS?
Meminjam istilah Patria M Kim, peneliti diplomasi AS-China, dalam tulisannya di Foreign Affairs, China telah menjalankan ”diplomasi egosentris” dalam membina hubungan dengan negara lain. Meski Kim berbicara dalam konteks hubungan China dan Korea Selatan, pendekatan China seperti itu berlaku juga untuk negara lain, termasuk dalam isu LCS. China sering meminta negara lain untuk ”menekankan pada perhatian dan kepentingan China”.
Diplomasi egosentris membuat tindakan China yang lebih tegas dan kian agresif di LCS semakin meningkat; tidak peduli ada teriakan dan jeritan dari negara tetangga. Itulah sebabnya, mengapa China menolak putusan PCA tahun 2016 yang menolak klaim China di LCS. Basis rujukan putusan PCA adalah hukum internasional (UNCLOS 1982).
China tetap memasuki ZEE negara tetangga dengan ukurannya sendiri, yakni ”sembilan garis putus-putus”. Dalam dekade terakhir, Kepulauan Spratly di utara Malaysia telah menjadi bagian wilayah yang paling diperebutkan dan dimiliterisasi.
Akibatnya, makin banyak negara tetangga di LCS menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk menjalin kemitraan yang lebih kuat dengan AS dan kekuatan lain. Salah satu contoh, saat eksistensi Filipina terancam China, Manila terus memperkuat kerja sama keamanan dengan Washington.
Baca juga : Filipina Kembali Memperkuat Kemitraan dengan AS
AS dan Filipina terikat perjanjian Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) dan Visiting Forces Agreement (VFA). EDCA memberikan akses AS untuk memakai pangkalan Filipina. VFA memungkinkan pasukan AS menggelar operasi darat dan menggelar latihan bersama dengan tentara Filipina secara bergilir.
Sebagian besar militerisasi China di LCS terjadi pada paruh pertama tahun 2016, beberapa bulan sebelum putusan Pangadilan Arbitrase Internasional (PCA) atas tuntutan Filipina pada 2013, diumumkan. Putusan itu menolak klaim China yang tidak sesuai dengan UNCLOS 1982, tetapi putusan PCA diabaikan Beijing.
Militerisasi oleh China yang diawal dengan langkah-langkah nonmiliter, aksi paramiliter, dan aktivitas militerisasi selektif terbukti berhasil. Misi utamanya sukses mengejar tujuan strategis China secara menyeluruh: membentuk kembali lanskap operasional dan menciptakan ”realitas baru” di LCS, yang tidak mungkin dibalik dalam kondisi damai atau bukan perang.
Ada tiga tujuan instrumental yang saling terkait dari langkah China berdasarkan pola dan kecepatan militerisasinya. Pertama, China ingin menunjukkan tekad mempertahankan apa yang dianggap Beijing sebagai kedaulatan dan kepentingan teritorialnya yang sah di LCS. Ini secara politis penting bagi otoritas dan relevansi Partai Komunis di dalam negeri.
Kedua, atas dasar tekad yang lebih besar, China berusaha memberi sinyal kepada Washington bahwa Beijing tidak akan terhalang atau dihentikan oleh perluasan kemitraan militer AS dengan negara-negara sepanjang pinggiran China.
Ketiga, melalui peningkatan keberadaan fisiknya di LCS, China menunjukkan kepada AS realitas posisi geostrategis China yang terkonsolidasi di Asia, sebagai pengungkit untuk tawar-menawar kekuatan besar. Peningkatan kehadiran fisik tidak dapat dihentikan atau dikurangi, kecuali AS mengadopsi pendekatan kekuatan militer.
Baca juga : Panduan Perilaku di Laut China Selatan Harus Selaras dengan UNCLOS
Militerisasi China yang sedang berlangsung pada akhirnya akan sangat berdampak pada China sendiri. Kebijakan semacam itu dapat merusak strategi pembangunan global China, ”Prakarsa Sabuk dan Jalan” (BRI). Strategi BRI menargetkan Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan yang diprioritaskan.
Beijing telah berusaha mengimbangi dampak buruk tindakan tegasnya di LCS dengan meningkatkan upaya diplomasi bilateral. Melalui proses kooperatif dan integratif yang sedang berlangsung ini, China bertujuan mengubah hubungannya dengan para pihak pengeklaim dan negara-negara tetangga menjadi saling bergantung, menguntungkan, dan menjamin keamanan bersama.
Dinamika itu kemungkinan akan bertahan pada tahun-tahun mendatang, sebagian karena ketidakpastian yang membayangi seputar hubungan AS-China. Sebagian lagi karena beragamnya tantangan domestik yang dihadapi para pemimpin China. Secara keseluruhan China telah jadi pemenang yang berhasil menguasai sebagian besar LCS; negara lain sebagai pecundang. (AFP/AP/REUTERS)