Laut China Selatan, dari Kepentingan Kawasan Menjadi Global
Laut China Selatan menjadi medan pergulatan kepentingan banyak negara. Tidak hanya bagi enam negara yang memiliki irisan klaim wilayah, tetapi juga negara lain dengan berbagai kepentingannya masing-masing.
Saat ini tengah terjadi perubahan besar dalam konstelasi kepentingan di Laut China Selatan. Pertautan kepentingan tidak lagi semata melibatkan enam negara pengklaim di kawasan. Sejumlah negara kuat yang tidak termasuk pengklaim pun satu per satu masuk dalam pusaran dan unjuk kekuatan.
Situasi ini terjadi seiring kehadiran China yang makin dominan di Laut China Selatan (LCS) sekaligus tumbuhnya China sebagai adidaya baru di tatanan global. Selain China, negara pengklaim di LCS meliputi Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan.
Baca juga: China Makin Agresif dan Saat Dunia Perangi Covid-19, China Bentuk Dua Distrik di Laut China Selatan
Adapun negara bukan pengklaim yang masuk dalam pusaran kepentingan di LCS diawali oleh Amerika Serikat. Korea Selatan, Jepang, dan Australia menyusul kemudian. Negara-negara Eropa juga tidak ingin ketinggalan, yakni Inggris dan Jerman. Bahkan, India juga ikut-ikutan. Indonesia, meski bukan pengklaim, pernah terlibat di sana menyusul klaim mutlak China pada 2012.
China mengklaim 80-90 persen dari wilayah LCS atau seluas 3,5 juta kilometer persegi. Ini dilakukan dengan membentuk dua distrik baru dan memberi nama untuk 80 fitur geografisnya. China juga jor-joran membangun infrastruktur, rutin menggelar latihan militer, serta meningkatkan jumlah personil militer, petugas penjaga pantai, dan milisi maritimnya di LCS. Konstruksi fisik paling penting China di LCS berupa pangkalan dan instalasi militer, pelabuhan, radar, dermaga angkatan laut, dan sistem rudal.
Citra satelit terbaru membuktikan, China benar-benar sedang giat membangun pangkalan militer besar-besaran di LCS. Laporan perusahaan perangkat lunak geospasial Simularity, menyebutkan, ada pembangunan infrastruktur untuk radar, antena, dan pangkalan militer di Mischief Reef.
Menurut situs Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI), Center for Strategic and International Studies (CSIS), per Sabtu (7/8/2021), China memiliki 20 pos terdepan di gugus Kepulauan Paracel dan 7 pos di Kepulauan Spratly. Jumlahnya diperkirakan sudah bertambah.
Baca juga: Menjaga Hak Berdaulat dengan Diplomasi Surat dalam Konflik Laut China Selatan
Majalah dua bulanan Amerika, The National Interest (TNI), edisi 30 Juli 2021, melaporkan, China sudah membangun pangkalan militer di karang Subi, Mischief, Fiery Cross, dan fitur lain di Spratly. China juga mendirikan instalasi militer di Pulau Woody di Paracel. Semuanya dilengkapi dengan infrastruktur rudal, radar, dan helikopter potensial di beberapa daerah lainnya.
Untuk pangkalan militer yang lebih besar, seperti di Subi, Mischief, Fiery Cross, dan Pulau Woody, China membangun infrastruktur pendukung perawatan pesawat militer, termasuk pesawat tempur dan kapal patroli besar. Semuanya itu akan membuat ”Negeri Tirai Bambu” ini bisa memperluas kehadiran militernya di masa depan di LCS.
Beberapa pulau yang telah dikuasai China juga dijadikan pangkalan untuk sistem rudal yang ditembakkan dari darat dan kapal permukaan ke udara (surface-to-air missile/SAM), serta menjadi pangkalan rudal jelajah yang diluncurkan dari darat (ground launched cruise missile/CLCM).
”Kehadiran rudal-rudal itu membuat LCS menjadi kawasan mematikan bagi kapal dan pesawat asing yang tidak memiliki kemampuan siluman atau tidak memiliki sistem pertahanan udara berlapis,” kata Robert Farley, pakar Keamanan dan Intelijen Internasional di Patterson School of Diplomacy and International Commerce, University of Kentucky, AS.
Baca juga: Jelang Pemilu, Jerman Ikut Menantang China
Instalasi SAM, yang didukung jaringan radar, dapat secara efektif membatasi kemampuan pesawat musuh untuk memasuki zona mematikan. Empat instalasi militer terbesar China di LCS dilaporkan memiliki fasilitas yang luas untuk mengoperasikan pesawat tempur. Selain jet tempur tingkat lanjut, China menyediakan pesawat patroli dan pesawat peringatan dini canggih di LCS.
Di tengah meningkatnya militerisasi China tersebut, muncul negara-negara bukan pengklaim, diawali AS. LCS telah lama menjadi titik konflik China dan AS. Washington menolak klaim teritorial Beijing karena menilai hal itu melanggar hukum. Kapal perang AS pun menjadi sering memasuki LCS atas nama ”kebebasan operasi navigasi” (freedom of navigation operations/FONOPs).
Washington menolak klaim teritorial Beijing karena menilai hal itu melanggar hukum.
Bersama dengan sekutu dekatnya, baik negara pengklaim di kawasan atau bukan pengklaim, AS secara teratur melakukan latihan bersama di LCS. Beijing keberatan, marah, lalu menilai AS dan sekutunya membahayakan stabilitas kawasan. China lantas membalasnya dengan menggelar latihan militer yang melibatkan persenjataan canggih.
Australia, Inggris, dan belakangan Jerman mengikuti AS dengan mengirim kapal perangnya melintasi LCS. Ketika kapal induk Inggris, HMS Queen Elizabeth II, dengan 18 jet tempur di geladaknya tiba di LCS dan singgah di Singapura, para pengamat melihat ini sebagai armada laut Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Sebab, kapal perang Belanda, Italia, dan AS berbaris di belakangnya.
Australia, Inggris, dan belakangan Jerman mengikuti AS dengan mengirim kapal perangnya melintasi Laut China Selatan.
India yang memiliki konflik perbatasan di Himalaya dengan China pun siap mengirim Angkatan Laut (AL) ke LCS bulan ini. Alasannya, untuk memperluas hubungan keamanan dengan para negara sahabat. Seperti dikutip Reuters, Rabu (4/8/2021), misi AL India akan mencakup Asia Tenggara, LCS, dan Pasifik Barat selama dua bulan.
Kedatangan kapal perang negara-negara bukan pengklaim di LCS ini ditafsir para ahli sebagai peringatan simbolis bagi China agar mematuhi hukum internasional sebagaimana diatur Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Mereka ingin memainkan peran lebih besar dalam upaya untuk menghadang China di Indo-Pasifik, termasuk di LCS.
Baca juga: China Telah Jadi Pemenang di Laut China Selatan
Klaim China yang dituangkan dalam peta garis sembilan titik telah digugurkan oleh Pengadilan Arbitrase di Belanda, 12 Juli 2016, karena tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. China mengabaikannya dan terus melanjutkan pembangunan di seluruh wilayah itu.
”Membiarkan China mengabaikan putusan arbitrase dan mengubah kondisi yang ada secara sepihak dengan paksa membuat LCS diatur oleh rule of force daripada rule of law,” kata Sakamotor Shigeki, pakar hukum internasional Jepang, dikutip The Diplomat, majalah daring berbasis di Washington DC.
Uni Eropa, AS, dan beberapa negara di kawasan telah mengecam China. Militerisasi atas wilayah yang diklaim tidak sesuai hukum internasional disebut akan membahayakan perdamaian di LCS dan geopolitik global. Uni Eropa telah merilis kebijakan baru yang bertujuan meningkatkan pengaruhnya di Indo-Pasifik untuk melawan kekuatan China yang meningkat. Beijing mengecam dan menentangnya.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Rabu (4/8/2021) malam, mengatakan, dalam pidato di pertemuan ke-11 Menlu Asia Timur (EAS) ke-11 bahwa ”kekuatan asing” harus berhenti mengulurkan ”tangan kotor” dalam masalah LCS. Mereka harus menunjukkan ”empat rasa hormat”, yakni menghormati kebenaran sejarah, hukum internasional, negara-negara di kawasan, dan perjanjian mereka.
Menurut Wang, kebenaran sejarah memastikan China sebagai yang pertama menemukan, menamai, menjelajahi, dan mengeksploitasi di kepulauan di LCS dan perairan yang relevan. China telah merebut kembali kedaulatan pulau-pulau tersebut dari Jepang setelah Perang Dunia II.
Wang juga mengatakan, menurut hukum internasional, China memiliki hak dan kepentingan maritim di kawasan. China dan negara-negara ASEAN telah sepakat untuk menyelesaikan perselisihan secara damai melalui konsultasi dan negosiasi terkait LCS lewat Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC) 2002.
Presiden Rusia Vladimir Putin dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-20 2016 di China mengecam campur tangan pihak ketiga dalam konflik di LCS. Rusia yang menjadi mitra dagang utama Vietnam berkepentingan mengamankan kemitraan yang erat dan komprehensif dengan China. Rusia juga tertarik memperdalam hubungannya dengan negara-negara ASEAN. Moskwa tampak memainkan peran ganda.
Pengamat politik China di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Nur Rachmat Yuliantoro, mengatakan, masuknya negara-negara non-claimant dalam kontestasi pengaruh dan kekuatan di LCS menunjukkan arti strategis kawasan yang semakin penting secara geopolitik dan geoekonomi. ”China tampaknya menghadapi tantangan yang kian besar untuk mempertahankan klaim kepemilikannya di wilayah LCS,” katanya.
Menurut dia, AS pun merasa bahwa pendekatan FONOPs yang dijalankannya di kawasan itu semakin mendapatkan dukungan luas. ”Situasi ini jika tidak dikendalikan dengan sungguh-sungguh akan membawa potensi konflik besar, di mana negara-negara Asia Tenggara akan mendapat dampak yang signifikan dari konflik tersebut,” katanya.
Baca juga: Ekspansionisme China dan Matinya Diplomasi di Laut China Selatan
Saluran diplomasi sangat penting. ”Masih ada cara terbaik menghindarkan kawasan LCS dari potensi konflik besar, yang sangat destruktif bagi banyak pihak. Penyelesaian diplomatik di level regional yang melibatkan aktor-aktor kunci (China, AS, dan negara-negara Asia Tenggara) memang sudah diupayakan. Namun, acap kali terbentur oleh sikap China yang lebih condong kepada pendekatan bilateral,” katanya.
”Untuk diplomasi yang konstruktif, China dan AS perlu membangun trust di antara mereka. Sementara negara-negara Asia Tenggara perlu melihat kepentingan bersama di level ASEAN semakin ditingkatkan tanpa perlu ’memihak’ China atau AS,” katanya.
Mengapa LCS menjadi wilayah rebutan dan wilayah konflik yang semakin panas? Selain karena persoalan masalah wilayah, kawasan itu kaya sumber daya seperti cadangan migas yang besar, ikan, logam tanah jarang atau rare earth element (REE), serta merupakan jalur niaga internasional.
Menurut situs Council on Foreign Relation (CFR), yang mengutip Bank Dunia, LCS memiliki cadangan migas terbukti sekitar 7 miliar barel dan sekitar 900 triliun kaki kubik gas alam. Cadangan migas ini menawarkan peluang ekonomi yang besar bagi Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Bagi China, ini jaminan keamanan energi untuk menopang pertumbuhan ekonominya.
Bca juga: Indonesia Tegas Tolak Klaim China
Sebagai jalur niaga internasional, LCS dilayari kapal-kapal barang bernilai 3 triliun-5 triliun dollar AS per tahun. Banyak pula tanker minyak dan gas melewati LCS. Banyak negara berkepentingan di sana.
Bagi banyak negara dengan ekonomi terbesar di dunia, LCS merupakan persimpangan maritim yang penting untuk perdagangan. Menurut CSIS, lebih dari 64 persen perdagangan maritim China dan hampir 42 persen perdagangan maritim Jepang melewati LCS pada 2016. AS memiliki lebih dari 14 persen kapal niaganya melewati wilayah tersebut.
Masih merujuk situs CSIS, sebagai nadi perdagangan vital bagi banyak ekonomi terbesar di dunia, LCS memiliki konsentrasi barang komersial tinggi. Terlalu sempit untuk mengandalkan Selat Malaka. Barang yang diangkut lewat LCS senilai sekitar 5,3 triliun dollar AS per tahun dan 1,2 triliun dollar di antaranya perdagangan dengan AS. Angka ini dicatat sejak 2010 dan hampir pasti telah tumbuh pesat dalam lima tahun terakhir.
Seiring menguatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia, termasuk di Asia Tenggara, LCS menjadi kawasan yang menguntungkan. Bank Pembangunan Asia (ADB) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Asia 7,3 persen tahun ini dengan perdagangan tumbuh 4,4 persen.
Gangguan terhadap lalu lintas pelayaran dan kontestasi di LCS berpotensi mendorong banyak negara terlibat. Mungkin juga mereka akan meningkatkan kemampuan perangnya. Jika konflik meningkat, kemungkinan besar negara-negara pengklaim akan meningkatkan belanja pertahanannya.
LCS kini bukan lagi kepentingan regional, melainkan kepentingan global. Semua negara yang berkepentingan harus bertindak untuk mengamankan supremasi hukum dan mempertahankan nilai-nilai universal. Kebebasan navigasi dan penyelesaian sengketa secara damai mesti menjadi komitmen bersama untuk diwujudkan dan bukan dengan unjuk kekuatan.