Di negara-negara maju, pekerja dari generasi Milenial ramai-ramai mengundurkan diri karena bekerja tidak lagi memberi kebahagiaan. Ini kesempatan bagi dunia kerja untuk membangun sistem yang inklusif, bukan eksploitatif.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·6 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19 yang menghantam berbagai usaha, mulai dari industri besar hingga rumah tangga, generasi Milenial malah beramai-ramai berhenti bekerja. Fenomena pengunduran diri besar-besaran ini membawa permasalahan serius ke permukaan, yaitu orientasi pekerjaan yang lebih dari sekadar mencari pendapatan tetap dan kebutuhan masyarakat akan upah yang adil sesuai dengan beban kerjanya.
Nama ”Great Resignation” atau pengunduran diri secara masif ini terinspirasi dari fenomena ”Great Depression” atau masa depresi besar tahun 1929 ketika Amerika Serikat mengalami krisis moneter yang membuat negara tersebut jatuh miskin. Sekarang, adanya pandemi Covid-19 membuat para pekerja Milenial merefleksikan kembali kebutuhan hidup mereka yang tidak hanya soal keuangan, tetapi juga kebahagiaan dan kesehatan jiwa.
Aspek ini dinilai lebih penting sehingga mereka memutuskan bahwa pekerjaan ataupun karier yang sekarang membutuhkan pengorbanan yang terlalu besar dari kehidupan. Mungkin ini seperti peribahasa ”rezeki tidak akan ke mana-mana”. Akan tetapi, di saat yang sama, fenomena Great Resignation ini juga menunjukkan ketimpangan rasialisme di negara-negara maju karena ini hampir ekslusif dinikmati oleh penduduk berkulit putih.
Departemen Ketenagakerjaan AS menunjukkan data bahwa pada periode April-Oktober tahun ini ada 24 juta pekerja yang berhenti secara sukarela dari pekerjaannya. Rentang usia mereka adalah 25-40 tahun, yaitu tergolong generasi Milenial. Sebaliknya, di negara ini ada 10 juta lowongan pekerjaan. Ketika ekonomi mulai menggeliat setelah dua tahun berjibaku menghadapi pandemi Covid-19, restoran dan hotel justru kebingungan mencari pekerja.
Berdasarkan data Biro Statistik AS, sektor yang kehilangan banyak pekerja ialah kuliner. Diikuti oleh sektor pariwisata, hiburan, tekreasi, dan retail. Selain itu, sektor keuangan dan asuransi juga menyumbang jumlah pekerja yang berhenti. Kamar Dagang AS kemudian melakukan survei kepada orang-orang yang berhenti bekerja ini. Terungkap bahwa mereka mau kembali bekerja apabila ada peningkatan bonus minimal 1.000 dollar AS dan jam kerja yang lebih fleksibel.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di AS, selama pandemi, di Inggris juga tercatat ada 400.000 pekerja yang memutuskan berhenti. Di Uni Eropa, jumlahnya mencapai 2 juta pekerja yang semuanya adalah tenaga profesional atau pekerja kerah putih. Dalam survei yang dilakukan oleh Randstad UK, para pekerja ini mengungkapkan bukan hanya gaji lebih banyak yang mereka inginkan, tetapi juga kebahagiaan dalam pekerjaan.
Ini pula yang menjadi faktor penting, yaitu sekarang pegawai tidak akan mau bertahan di suatu perusahaan apabila atasan ataupun sistem kerja mereka nilai tidak ideal. Mencari nafkah tidak sepadan apabila mental menjadi tertekan. Di samping itu, pekerjaan juga harus memberi nilai tambah, contohnya memberi peningkatan kapasitas profesional, sosial, maupun pribadi.
”Saya benci seharian bekerja di belakang meja dan melakukan itu-itu saja. Sekarang saya tinggal di pinggir kota dan membangun komunitas dengan gaya hidup mandiri dan ramah alam,” kata Milena Kula (26) kepada Bloomberg. Ia berhenti bekerja pada pertengahan tahun 2020. Sebelumnya, ia staf di lembaga swadaya masyarakat di bidang politik.
Kejenuhan atas suasana kerja dan tekanan akibat kesibukan juga menjadi alasan bagi Alex Snow (25), warga AS, berhenti bekerja sebagai perawat purnawaktu di sebuah rumah sakit. Ia memilih menjadi perawat berjalan, alias perawat lepas. Sistem kerja ini sesuai dengan gaya hidupnya. Di awal tahun 2021, ia membeli mobil karavan dan memutuskan untuk berkeliling AS. Menurut dia, ini keputusan terbaik yang pernah ia ambil setelah satu tahun menanggung stres berat akibat jam kerja yang panjang dan kesibukan menumpuk.
Bermodal keterampilannya sebagai perawat, Snow melamar bekerja sebagai perawat paruh waktu di fasilitas kesehatan di kota-kota yang ia kunjungi. ”Saya bisa menentukan lama bekerjanya, seperti beberapa pekan hingga beberapa bulan. Setelah itu, saya melanjutkan perjalanan ke kota lain,” tuturnya kepada harian Washington Post.
Selain menyenangkan dari segi pola kerja, menjadi perawat paruh waktu ternyata juga baik untuk kocek. Gaji rata-rata perawat purnawaktu ialah 74.000 dollar AS setiap tahun. Perawat lepas seperti Snow menerima upah rata-rata 95 dollar per jam. Perawat yang memiliki keterampilan khusus seperti perawat lansia, unit perawatan intensif, pascabedah, dan lain-lain setidaknya mengantongi upah rata-rata 99 dollar AS per jam. Dari fakta ini, menjadi wajar apabila 934.000 perawat di AS memutuskan berhenti selama pandemi.
Pengunduran diri besar-besaran juga merambah ke kalangan pekerja kerah biru, seperti yang dilaporkan oleh Washington Post. Di Liberty County, sebuah kota kecil di Negara Bagian Georgia, AS, restoran, salon, dan toko kelontong kehilangan pekerja. Mereka semua memilih keluar dan pindah untuk bekerja di sektor yang lebih mapan, seperti industri logistik dan kurir.
Fannie Lou Brewton, berhenti bekerja dari restoran dengan alasan lelah dengan jam kerja yang panjang dan beban kerja berat. Apalagi, tidak adanya kewajiban memakai masker oleh Pemerintah AS membuat dia selalu waswas ketika ada tamu restoran yang tidak bermasker. Pemilik restoran tidak mau mengusir tamu karena tidak mau kehilangan pendapatan. Akhirnya, Brewton yang digaji 9 dollar AS per jam memutuskan keluar.
Brewton kini hidup dari tabungan dan sedikit uang pensiun suaminya. Menurut dia, pendapatan itu memang tidak seberapa. Akan tetapi, pandemi membuat dia memikirkan kembali hal-hal yang pokok di dalam kehidupan. Ia mengubah gaya hidupnya menjadi lebih hemat dengan cara mengurangi belanja di luar makanan. Hiburannya ialah berkumpul dengan anak-anak dan menciptakan berbagai kegiatan bersama di rumah.
Anggota Dewan Kota Liberty County Justin Frasier menjelaskan, usaha kecil dan menengah di kota itu sukar bangkit karena tidak memiliki pekerja. Toko kelontong ataupun restoran yang dikelola oleh keluarga umumnya hanya bisa menggaji karyawan mereka maksimal 11 dollar AS per jam. Lumpuhnya ekonomi akibat pandemi membuat UMKM tidak bisa menambah penghasilan sehingga tidak bisa menaikkan gaji.
”Banyak penduduk mengeluh pendapatan mereka justru bertambah ketika bekerja. Mereka harus membayar bensin untuk transportasi dan menitipkan anak di tempat penitipan anak. Jika dibandingkan dengan upah yang diperoleh, bebannya besar sekali,” kata Frasier.
Sebaliknya, orang-orang yang berhenti bekerja untuk UMKM melamar ke industri besar. Di Liberty County, usaha pergudangan, logistik, dan transportasi barang diserbu peminat. Umumnya, sektor ini menawarkan upah 15 dollar per jam dan ada kenaikan 50 persen setiap enam bulan.
Meskipun demikian, Great Resignation ini kurang menggema di kalangan penduduk kulit berwarna maupun imigran. Diane, perempuan kulit berwarna dan berorangtua imigran, berbicara kepada media Insider. Menurut dia, sukar meninggalkan pekerjaannya sebagai pengacara.
”Memang sejak pandemi stres yang saya rasakan bertambah. Di saat bersamaan, status saya sebagai perempuan kulit berwarna dan anak imigran membuat kesempatan untuk berpindah karier susah sekali,” ujarnya.
Direktur Oxfam Winnie Byanyima dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, enam tahun lalu sudah mengingatkan bahwa ketenagakerjaan tidak bisa lagi hanya dilihat dari statistik. Fakta dan konteks pekerjaan merupakan faktor yang sangat penting. Suatu negara tidak bisa berpuas diri hanya karena serapan bursa tenaga kerjanya tinggi, tetapi sistem kerjanya eksploitatif.
”Kita harus memikirkan martabat di balik setiap pekerjaan. Apa pun jenis pekerjaan itu, mulai dari buruh, tenaga lepas, hingga profesional harus bisa memberi martabat kepada individu yang mengerjakannya. Hal ini bisa dicapai dengan menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan mengembangkan kapasitas pekerjanya,” kata Byanyima.
-----------
Seri Laporan Internasional Catatan Akhir Tahun 2021: