Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara, berkewajiban menjaga ASEAN. Dalam wawancara khusus, Menlu Retno LP Marsudi juga menyebut pentingnya spirit Konferensi Asia Afrika 1955 bagi gerak diplomasi Indonesia.
Oleh
kris mada, Luki Aulia, LARASWATI ARIADNE ANWAR, B Josie Susilo Hardianto, Mh Samsul Hadi
·6 menit baca
Di tengah tudingan atas surutnya peran di panggung internasional, Indonesia terus menunjukkan kontribusinya. Mulai 1 Desember mendatang, Indonesia akan menjadi Ketua G-20, perkumpulan 19 negara plus Uni Eropa yang mengendalikan 85 persen produk domestik bruto global. Selain itu, Indonesia selama ini konsisten menjalankan perannya sebagai penjaga kesatuan ASEAN. Tugas-tugas itu harus dijalankan sembari Indonesia berusaha mencapai kepentingan nasionalnya.
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengatakan, tantangan paling serius adalah rivalitas kekuatan besar. Dampaknya terasa sampai ke Asia Tenggara. ”Tantangan tidak semakin mudah dan ternyata kalau kita lihat rivalitas itu tidak menurun pada saat kita (mengalami) pandemi,” ujarnya dalam wawancara khusus dengan Kompas, Selasa (23/11/2021), di Jakarta.
Di ASEAN, tantangannya tidak hanya rivalitas kekuatan besar dari luar. Beberapa bulan terakhir, ASEAN harus menyelesaikan dampak akibat kudeta di Myanmar. ”Myanmar adalah bagian keluarga ASEAN. Ada beberapa hal yang saat ini memang dicoba dibantu ASEAN, yaitu bagaimana Myanmar bisa melakukan dialog inklusif agar demokrasi bisa dikembalikan,” ujar Retno.
Diplomat berusia 59 tahun itu berulang kali menegaskan posisi Myanmar sebagai keluarga ASEAN. ”Kalau ada prinsip-prinsip dalam ASEAN Charter yang terancam, kita harus bicara sebagai satu keluarga,” tambah Retno.
”Ketika Presiden (Joko Widodo) bicara di ASEAN bahwa kita bicara sebagai satu keluarga, itu bukan lip service bahwa kita satu keluarga. We mean it, we mean it (Kami bersungguh-sungguh),” tutur Retno. ”Kalau kita harus bersikap tegas prinsip bukan diartikan bahwa kita tidak suka dengan anggota keluarga kita.”
Dalam isu Myanmar akhir-akhir ini, sejak krisis Rohingya hingga kudeta 1 Februari, Indonesia sangat aktif berupaya mencarikan solusi. Diplomasi maraton Retno ke sejumlah negara Asia Tenggara tak lama setelah kudeta meletus, disusul dengan—berkat dorongan Presiden Joko Widodo—ASEAN menggelar konferensi tingkat tinggi (KTT) khusus, 24 April 2021, di Jakarta. Hasilnya, lima konsensus pemimpin ASEAN yang jadi panduan penyelesaian krisis politik di Myanmar.
Retno menyebut, ASEAN tidak akan mengeluarkan Myanmar. ASEAN akan mencoba terus merangkul Myanmar. ”Kalau masih bisa diperbaiki, kenapa tidak,” katanya.
Seperti telah dilakukan beberapa puluh tahun terakhir, Indonesia terus memprioritaskan kepentingan warga Myanmar. Indonesia sangat berkepentingan pada stabilitas Myanmar. Sebagai kawasan terdekat, Asia Tenggara akan terdampak pada apa pun yang berkembang di Myanmar.
Retno mengatakan, mengelola masalah Myanmar adalah salah satu wujud tanggung jawab Indonesia terhadap ASEAN. Sebagai negara terbesar di kawasan, Indonesia punya tanggung jawab terbesar pula terhadap ASEAN. Tugas utama Indonesia adalah menjaga kesatuan dan sentralitas ASEAN. Untuk bisa berperan sentral, penting bagi ASEAN memastikan Asia Tenggara tetap damai dan stabil.
Jika isu Myanmar tidak terselesaikan, lanjut Retno, ”ASEAN dapat dinilai tidak kredibel jika kita tidak bisa menyelesaikan ini sebagai satu keluarga. Bisa dibayangkan, kalau ASEAN sudah tidak dilihat kredibel di tengah situasi yang tadi kita gambarkan, apa yang terjadi dengan ASEAN.”
Momentum G-20
Sembari menjalankan peran sebagai kakak tertua di ASEAN, Indonesia juga akan mulai menjadi Ketua G-20. Seperti pada organisasi lintas negara lainnya, Retno tidak menampik di antara anggota G-20 ada perbedaan.
”Kalau mengharapkan selalu senada seirama, tidak mungkin. Kita saja tidak mungkin selalu senada seirama dengan negara lain. Di sana-sini ada perbedaan. Akan tetapi, yang penting bagaimana kita mengelola perbedaan tersebut,” ujarnya.
Indonesia mengambil tema ”Recover Together, Recover Stronger” di masa keketuaan G-20. Tema itu didasari pada keprihatinan atas rivalitas yang menguat selama pandemi Covid-19. Padahal, penanggulangan pandemi membutuhkan kerja sama seluruh komunitas internasional. ”Kalau tidak kerja sama, (kita) tidak akan keluar dari pandemi. Tidak akan jadi lebih kuat,” ujar Retno.
Indonesia menerjemahkan tema keketuaan G-20 pada tiga isu. Pertama, memperkuat arsitektur kesehatan global. Indonesia tetap mendukung Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pemegang peran sentral dalam tata kelola kesehatan global. Di sisi lain, Indonesia juga memandang perlu mempersiapkan diri dari dampak pandemi di masa mendatang. Covid-19 menunjukkan, komunitas internasional tidak siap menghadapi pandemi.
Negara-negara kaya bergegas memborong dan menimbun obat dan vaksin. Sementara negara-negara berkembang dan miskin sampai sekarang masih terus kesulitan mendapatkan semua itu.
Lewat keketuaan di G-20, Indonesia ingin mendorong agar ada sistem dukungan internasional bagi negara berkembang dan miskin dalam menghadapi pandemi di masa mendatang. Di periode keketuaannya, Indonesia bersama sejumlah negara berusaha mendorong perjanjian baru soal kesiapan menghadapi pandemi. ”Presidensi kita bukan hanya memperjuangkan kepentingan G-20. Indonesia membawa suara negara berkembang,” kata Retno.
Isu kedua yang menjadi perhatian Indonesia adalah transisi energi. Indonesia ingin mendorong alih investasi dan alih teknologi untuk membantu transisi energi di negara-negara berkembang. Isu ketiga adalah transisi digital.
Transisi energi butuh biaya besar. Dalam konteks Indonesia, butuh biaya besar untuk pengembangan listrik panas bumi. Sebagai negara di wilayah banyak gunung berapi, potensi energi panas bumi Indonesia ditaksir 26 gigawatt (GW). Jumlah itu hampir setara 36 persen dari keseluruhan listrik yang diproduksi Indonesia pada 2021, yakni 71 GW. Walakin, belum semua potensi panas bumi Indonesia dimanfaatkan. Selain keterbatasan dana, pengembangan panas bumi banyak ditolak.
Indonesia, menurut Retno, tidak hanya memperjuangkan agar investasi dan alih teknologi untuk transisi energi masuk ke Indonesia. Indonesia juga berusaha mendorong hal itu ke negara berkembang lainnya. Indonesia tetap konsisten menjalankan perannya sebagai pembawa suara negara berkembang.
Peran surut?
Indonesia sudah melakukan peran penyambung lidah negara-negara berkembang sejak Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok (GNB). Negara-negara lain mengakui hal itu, antara lain, dengan memberi kesempatan sebagai pembicara pertama di pertemuan peringatan GNB. Pengakuan ini salah satu bukti bahwa peran Indonesia di panggung internasional tidak surut.
Retno menepis tudingan sebagian kalangan yang menyebut postur diplomasi global Indonesia akhir-akhir ini menurun. ”Semangat Asia-Afrika kita bawa terus. Kita tidak pernah serius ngopeni (mengurus) Afrika. Selama (masa pemerintahan) Pak Jokowi, kita ngurus Afrika. Ada beberapa forum dengan Afrika,” jelas Retno, sambil mengungkap rencana pembukaan KBRI di Yaounde (Kamerun) dan Accra (Ghana) dalam waktu dekat.
”Dulu kita ngomong Afrika-Afrika. Sebenarnya kita sekarang adalah kita melakukan. We walk the talk, we don’t only talk,” tegas Retno.
Indonesia juga konsisten menerapkan politik luar negeri bebas aktif. Penerapan politik luar negeri Indonesia itu selalu tetap mengedepankan kepentingan nasional. Namun, dalam tataran operasional diplomasi, Indonesia bisa terkesan dekat pada pihak tertentu, tetapi secara prinsip tetap konsisten dengan prinsip bebas aktif.
”Tidak mungkin terus di tengah. Sebab, kepentingan nasional kita kadang harus membawa kita kolaborasi dengan negara A, untuk kepentingan lain dengan negara B, untuk kepentingan lain harus berkolaborasi dengan negara C. Itu terus berusaha kita mainkan,” papar Retno.