Dugaan Suap Gubernur Papua Terkait Dana Otonomi Khusus
KPK sudah menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka. Lukas diduga menerima gratifikasi atau suap terkait dengan proses perizinan serta pengadaan barang dan jasa.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, FABIO MARIA LOPES COSTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan tersangka Gubernur Papua Lukas Enembe oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dengan dugaan penerimaan gratifikasi atau suap proses perizinan serta pengadaan barang dan jasa untuk pembangunan infrastruktur. Dana pengadaan tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, termasuk dana otonomi khusus.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata menegaskan, KPK sudah menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka. ”Benar bahwa KPK sudah menetapkan LE (Lukas Enembe) sebagai tersangka dan proses penyidikan berjalan,” kata Alexander, di Jakarta, Rabu (14/9/2022).
Ia menjelaskan, gratifikasi atau suap yang diduga diterima Lukas terkait dengan proses perizinan serta pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa yang paling banyak di Papua terkait dengan pembangunan infrastruktur yang berasal dari ABPD, termasuk dana otonomi khusus (otsus). Dana tersebut seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
Akan tetapi, Alexander belum bisa mengungkap nilai dugaan korupsi yang dilakukan Lukas. KPK akan mendalami informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang sudah memblokir rekening Lukas yang nilainya hingga puluhan miliar.
Alexander menegaskan, penetapan tersangka oleh KPK terhadap Lukas tidak lepas dari informasi dan laporan masyarakat. Ia berharap masyarakat memberikan dukungan supaya penegakan hukum di Papua berjalan untuk memberikan efek jera atau pencegahan korupsi terhadap kepala daerah lainnya.
Tujuannya agar kepala daerah amanah dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya menggunakan data otsus sesuai dengan tujuannya serta tidak lagi melakukan korupsi.
”Kami mulai serius dan kami juga sudah berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan aparat penegak hukum di Papua untuk supaya lebih tegas dalam melakukan penegakan hukum, terutama dalam rangka pemberantasan korupsi di wilayah Papua dan Papua Barat,” ucap Alexander.
Ia menegaskan, KPK tidak pernah mengkriminalisasi seseorang atau pejabat. KPK melakukan penegakan hukum berdasarkan kecukupan alat bukti. Alat bukti tersebut didapatkan KPK lewat klarifikasi terhadap saksi-saksi dan dokumen-dokumen sehingga KPK meyakini telah terjadi peristiwa pidana yang diduga pelakunya adalah tersangka yang sudah ditetapkan.
Dihubungi secara terpisah, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan, PPATK sudah memblokir semua rekening Lukas, termasuk pihak terkait. ”Nilainya signifikan,” kata Ivan tanpa mau menyebut jumlahnya.
Sementara itu, dari pantauan Kompas, di Jayapura belum terlihat adanya upaya lanjutan untuk pemeriksaan Lukas Enembe oleh penyidik KPK hingga Rabu ini. Adapun situasi keamanan di Jayapura dan sekitarnya masih kondusif.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Papua Komisaris Besar Fernando Sanches Napitupulu mengatakan, belum ada permintaan dari pihak KPK untuk pengamanan dan penyediaan tempat setelah pemeriksaan Lukas tertunda pada Senin lalu.
”Kami tidak memiliki informasi apa pun terkait kasus tersebut. Biasanya pihak KPK hanya menyurat untuk meminta bantuan pengamanan dan tempat untuk pemeriksaan,” ungkap Fernando.
Sebelumnya, sekitar 300 pendukung Lukas menggelar aksi unjuk rasa di halaman Markas Komando Satuan Brimob Polda Papua yang akan menjadi tempat pemeriksaan Lukas pada Senin (12/9/2022). Massa meminta KPK menghentikan proses hukum atas Lukas karena dinilai adanya kriminalisasi dalam kasus tersebut.
Muhammad Rifai Darus selaku juru bicara Gubernur Lukas mengatakan, gubernur siap menghadapi proses hukum kasusnya. Ia pun mengaku, gubernur sama sekali tidak mengetahui telah mendapatkan pencekalan ke luar negeri oleh KPK sejak 7 September 2022.
”Beliau mengatakan pemblokiran rekening miliknya merupakan kewenangan KPK dan PPATK. Ia pun menyerahkan proses hukumnya kepada lembaga yang berwenang,” kata Rifai.
Roy Rening selaku kuasa hukum Lukas mengatakan, kliennya dijerat dengan dugaan kasus gratifikasi senilai Rp 1 miliar pada 2020. Dalam surat keterangan dari pihak KPK, Lukas diduga menerima hadiah atau janji terkait proyek yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemprov Papua.
Ia pun menyatakan penetapan Lukas sebagai tersangka sangat janggal. Sebab, Lukas menerima transfer uang senilai Rp 1 miliar miliknya sendiri untuk keperluan berobat dan tidak adanya proses tahapan penyelidikan serta dua barang bukti sebelum penetapan Lukas sebagai tersangka.
”Beliau meminta anak buahnya untuk mentransfer uang ke rekening pribadinya ketika menjalani perawatan pada tahun 2020. Akan tetapi, penyidik KPK menjadikan hal tersebut sebagai bukti untuk menjerat beliau dengan kasus gratifikasi,” tutur Roy.
Ia menambahkan, pihaknya hanya fokus menangani kasus gratifikasi yang disangkakan oleh penyidik KPK kepada Lukas. ”Kami tidak menangani perkara selain kasus gratifikasi. Saat ini kondisi kesehatan beliau yang diprioritaskan terlebih dahulu sebelum menjalani pemeriksaan,” ucapnya.
Ia menegaskan, kliennya tidak akan meninggalkan Jayapura hingga penanganan kasus ini tuntas. Roy pun menuturkan, gubernur merasa adanya unsur politis dan kriminalisasi terhadap dirinya dalam kasus ini.
”Beliau meminta jangan ada politisasi dalam kasus ini. Ia pun menyatakan siap menjalani pemeriksaan, tapi di rumahnya di Jayapura. Sebab, beliau tidak dapat beraktivitas di luar rumah karena sakit,” tutur Roy.
Ia mengungkapkan adanya unsur kriminalisasi dan tidak profesionalnya penyidik KPK dalam penetapan Lukas sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi. Sebab, Lukas terlebih dahulu dijerat dengan kasus dugaan penyalahgunaan dana operasional gubernur pada tanggal 27 Juli, tetapi berubah menjadi kasus gratifikasi pada 1 Agustus 2022.
”Sebelumnya, KPK memanggil beliau untuk menjalani pemeriksaan kasus dana operasional gubernur dan dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Tapi, diduga tanpa bukti, para penyidik secara terburu-buru mengganti kasus tersebut dengan dugaan menerima gratifikasi Rp 1 miliar,” ungkap Roy.
Anton Mote selaku dokter pribadi Lukas mengatakan, Lukas harus mendapatkan layanan pemeriksaan kesehatan di Singapura dan Manila, Filipina. Sebab, kondisi Lukas mengalami komplikasi sejumlah penyakit serius, seperti jantung, tekanan darah tinggi, diabetes, dan stroke.
Ia pun menyatakan akan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan KPK agar gubernur bisa mendapatkan haknya untuk berobat di Singapura dan Manila. Upaya ini mencegah dampak terburuk jika Lukas tidak mendapatkan perawatan.
”Kami akan berupaya beliau mendapatkan perawatan dengan konsultasi bersama pihak dokter di Singapura melalui panggilan video secara daring. Kondisi beliau saat ini mengalami gejala komplikasi, seperti pembengkakan pada bagian kaki,” papar Anton.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman menegaskan, KPK seharusnya segera menangkap Lukas karena sudah tidak hadir dalam pemanggilan pertama. KPK bisa segera melakukan upaya paksa penahanan terhadap Lukas.
Selain itu, KPK harus lebih intens untuk memastikan dana otsus sampai ke masyarakat Papua dan tidak dikorupsi. ”KPK harus memastikan masyarakat semakin berani untuk kontrol dana itu. Jadi, bukan hanya memberantas, tetapi KPK tugasnya memberdayakan masyarakat untuk berani mengontrol dana itu, mempertanyakan itu, dan melakukan protes, jika disalahgunakan,” kata Boyamin.