Penjabat Kepala Daerah Rawan Langgar Netralitas ASN
KASN menemukan pelanggaran netralitas ASN pada pilkada serentak 2020 terjadi 109 dari total 137 daerah yang dipimpin penjabat kepala daerah.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara atau ASN dalam Pemilihan Umum maupun Pemilihan Kepala Daerah 2024 rawan terjadi di daerah yang tengah dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Sebab, tidak sedikit penjabat kepala daerah yang justru terjebak dukung mendukung kandidat dalam kontestasi politik. Selain sosialisasi masif aturan netralitas ASN, penguatan pengawasan serta pemberian sanksi tegas diperlukan untuk mencegah pelanggaran netralitas ASN.
Berdasarkan hasil pengawasan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), pelanggaran netralitas ASN dalam pilkada serentak 2020 terjadi di 109 dari total 137 daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Wakil Ketua KASN Tasdik Kinanto menjelaskan, jenis pelanggaran tersebut bervariasi, dari imbauan kepada ASN untuk memilih calon tertentu, keberpihakan dalam kebijakan, hingga pelaksanaan kegiatan yang menguntungkan pasangan calon kepala daerah tertentu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”KASN juga mencatat bahwa sejumlah 314 pejabat pimpinan tinggi telah direkomendasikan untuk dijatuhi hukuman disiplin akibat perbuatan melanggar netralitas ASN selama tahapan pilkada serentak tahun 2020. Hal ini mengindikasikan bahwa pejabat pimpinan tinggi rawan terlibat politik praktis,” kata Tasdik dalam webinar bertajuk ”Menjaga Netralitas Birokrasi dalam Era Penjabat Kepala Daerah” yang diselenggarakan oleh KASN, Rabu (15/6/2022).
Hadir juga sebagai pembicara Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan; Ketua Umum Forum Sekretaris Daerah Seluruh Indonesia (Forsesdasi)/Sekda Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Gita Ariadi; Direktur Fasilitasi Kelembagaan dan Kepegawaian Perangkat Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Cheka Virgowansyah; serta Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini.
Menurut Tasdik, akan sulit terwujud ASN dan birokrasi yang profesional, apabila para pejabatnya terbelenggu dengan kepentingan politik tertentu. Karena itu, KASN berupaya mengawal agar figur penjabat kepala daerah yang diangkat adalah pejabat pimpinan tinggi yang bersih dari rekam jejak pelanggaran netralitas.
Ia menegaskan, dalam pengangkatan 5 penjabat gubernur, 37 penjabat bupati, dan 6 penjabat walikota pada gelombang pertama tidak terdapat nama-nama yang memiliki rekam jejak pelanggaran netralitas sebagaimana catatan pengawasan KASN. Meskipun demikian, pelantikan penjabat kepala daerah pada Mei lalu adalah titik awal dari proses penyelenggaraan pemerintahan dalam mengisi kekosongan jabatan kepala daerah definitif. Masih akan ada penunjukan 223 penjabat kepala darah hingga 2023.
Pelanggaran netralitas ASN dalam Pilkada serentak 2020 terjadi di 109 dari total 137 daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah
Tasdik kembali mengingatkan arahan dari Presiden Joko Widodo dalam pertemuan dengan para penjabat kepala daerah pada 7 Juni 2022 lalu. Saat itu Presiden menegaskan bahwa penjabat kepala daerah tidak boleh terjebak dalam politik praktis. Penjabat kepala daerah harus menjaga integritasnya dan netralitas untuk menciptakan suasana yang kondusif di lingkungan kerja. Apabila penjabat kepala daerah bekerja dengan membawa misi kepentingan politik tertentu, maka birokrasi akan terbelah, lingkungan kerja menjadi tidak kondusif, dan banyak menimbulkan dampak negatif bagi kinerja ASN.
Menurut Tasdik, ada beberapa modus politisasi birokrasi yang perlu dihindari penjabat kepala daerah. Antara lain mobilisasi sumber daya birokrasi berupa program pembangunan, kebijakan anggaran, dan penggunaan aset pemda untuk kepentingan kandidat peserta pemilu dan pilkada tertentu. Selain itu, politisasi ASN dan pelayanan publik yang diskriminatif.
Cheka Virgowansyah mengatakan, berdasarkan ketentuan Pasal 132A ayat (1) huruf (a) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah dilarang melakukan mutasi pegawai. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Dalam upaya menjaga netralitas ASN dalam pilkada, kata Cheka, maka kepala daerah dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum penetapan pasangan calon sampai akhir masa jabatan. Kepala daerah juga dilarang melakukan penggantian pejabat dalam enam bulan sejak pelantikan, kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari Mendagri. Hal itu berguna untuk mencegah politisasi ASN.
Lalu Gita Ariadi menambahkan, untuk mewujudkan netralitas birokrasi dalam Pemilu 2024 dibutuhkan langkah antisipatif seperti memperkuat sanksi, memperkuat pengawasan, serta sosialisasi secara masif aturan netralitas.
Pahala Nainggolan mengingatkan, penjabat kepala daerah harus bisa bekerja sama dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Mereka memiliki peran menjaga netralitas di lingkungan kerjanya. Menurut Pahala, seharusnya para penjabat kepala daerah dapat menghindari korupsi karena mereka tidak memiliki ikatan dengan pihak pemberi dukungan materiil dalam pilkada.
Titi Anggraini berharap, KASN membentuk tim atau kelompok kerja khusus untuk mengawasi pengisian penjabat kepala daerah untuk memastikan tidak ada tindakan ilegal. Selain itu, melakukan pengawasan atas netralitas dan imparsialitas penjabat dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024.
”KASN memberi akses yang memudahkan publik untuk melaporkan dugaan pelanggaran atau penyimpangan yang melibatkan ASN dalam pengisian penjabat kepala daerah dan pelaksanaan tugas penjabat,” kata Titi.
Ia juga mengingatkan KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta aparat penegak hukum untuk mengantisipasi potensi praktik transaksional dan koruptif dalam pengisian penjabat kepala daerah.