Sejumlah pejabat Kementerian Pertanian terancam sanksi karena melanggar aturan netralitas. Menjelang Pemilu 2024, pelanggaran berpotensi kian marak.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Rapat dengar pendapat Komisi IV DPR dengan Kementerian Pertanian (Kementan) yang sejatinya terfokus membahas isu-isu pertanian, pada pertengahan November lalu, sempat riuh akibat persoalan penggunaan seragam loreng berwarna biru atau warna yang sama dengan Partai Nasdem oleh sejumlah pejabat pimpinan tinggi madya, atau dulu disebut pejabat eselon I, Kementerian Pertanian.
Persoalan tersebut mencuat setelah salah satu anggota Komisi IV DPR memperlihatkan foto para pejabat itu dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang juga kader Nasdem saat peringatan Hari Ulang Tahun Nasdem, Kamis (11/11/2021). Sejumlah anggota Komisi IV DPR mengkritik penggunaan seragam itu karena aparatur sipil negara (ASN) dilarang berpolitik praktis. Ada aturan soal netralitas ASN yang jika dilanggar, ASN bisa dijatuhi sanksi. Sanksinya terbilang berat, bisa dicopot dari jabatannya atau diturunkan pangkat serta golongannya.
Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono yang hadir dalam rapat itu menyebutkan, seragam yang dikenakannya merupakan seragam Komando Strategi Nasional (Kostranas). Namun, ia mengaku tak tahu-menahu soal Kostranas tersebut.
”Kehadiran kami dengan atribut itu, meskipun secara formal, kami tidak dalam posisi itu sebenarnya. Kami ingin menghormati acara tersebut dan kami hadir bersama juga dengan Pak Menteri (Syahrul),” tutur Kasdi. Ia pun meminta maaf atas penggunaan seragam itu.
Berdasarkan pengecekan Kompas dari sejumlah pemberitaan, Kostranas dibuat menjelang Pemilu 2019. Kostranas mendidik kader-kader Nasdem dan ditargetkan menjadi bagian dari kekuatan Nasdem untuk menghadapi Pemilu 2019. Syahrul Yasin Limpo disebut memimpin Kostranas itu.
Namun, Kostranas bagian dari Nasdem ditepis pihak Nasdem. Salah satu anggota Komisi IV DPR yang mengaku dari Organisasi Kaderisasi Keanggotaan (OKK) Nasdem mengatakan, di Nasdem ataupun organisasi sayap Nasdem tidak dikenal seragam tersebut.
Hal senada disampaikan Sekjen Nasdem Johnny Gerard Plate. ”Mirip (dengan seragam Nasdem atau organisasi sayap Nasdem) pun tidak,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika ini.
Terlepas adanya bantahan dari Nasdem, Komisi ASN (KASN) menaruh atensi besar atas kelakuan para pejabat di Kementan tersebut. Para pejabat itu langsung diperiksa. Menurut anggota KASN, Tasdik Kinanto, selaku Ketua Tim Pemeriksa, terdapat bukti-bukti pelanggaran netralitas ASN yang telah dilakukan. KASN mengirim rekomendasi kepada Mentan agar pejabat yang terlibat dijatuhi hukuman disiplin. Apalagi, sebagai pimpinan tinggi, mereka tak bisa menjadi contoh yang baik.
Mengacu Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), dalam hal ini Mentan, wajib menindaklanjuti rekomendasi KASN tersebut.
Ketua KASN Agus Pramusinto menambahkan, apa yang dilakukan ASN Kementan tidak lepas dari peran Mentan selaku PPK. Karena itu, KASN akan melaporkan Mentan kepada Presiden.
Banyak pelanggaran
Problem pelanggaran netralitas ASN menjadi problem klasik di negeri ini. Selama setahun terakhir saja, berdasarkan data KASN, terdapat 2.007 ASN yang dilaporkan melakukan pelanggaran netralitas. Sebanyak 1.588 di antaranya terbukti melanggar, dan dari jumlah tersebut, sebanyak 1.365 ASN telah dijatuhi sanksi oleh PPK.
Pelanggaran netralitas terutama terjadi pada saat dan sebelum kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilu. ASN yang bekerja di instansi pemerintah daerah paling sering melanggar. Pelanggaran di antaranya kampanye atau sosialisasi di media sosial, mengadakan kegiatan yang mengarahkan kepada keberpihakan kepada salah satu calon atau bakal calon, dan melakukan foto bersama bakal calon/pasangan calon dengan mengikuti simbol gerakan tangan/gerakan yang mengindikasikan keberpihakan.
Komisioner Pokja Pengawasan Bidang Penerapan Nilai Dasar, Kode Etik, dan Kode Perilaku ASN, dan Netralitas ASN, KASN, Arie Budhiman, menjelaskan, makna netralitas mengacu pada imparsialitas yang artinya adil, obyektif, tidak bias, dan tidak berpihak pada siapa pun. Tidak hanya dalam politik, netralitas juga harus ditunjukkan dalam pelayanan publik, pembuatan kebijakan atau keputusan, dan dalam manajemen ASN.
Netralitas ASN penting agar birokrasi menjadi independen dari kepentingan politik. Demokrasi meniscayakan kinerja birokrasi yang lepas dari kepentingan politik. Birokrasi memosisikan dirinya untuk bekerja secara profesional dan netral. Tuntutan agar ASN netral bertujuan supaya kerja pemerintah dalam melayani publik bisa tercapai dengan optimal.
Jika netralitas ASN tidak dijalankan dengan baik atau banyak ASN yang melanggar netralitas, hal itu dapat menimbulkan dampak negatif, di antaranya diskriminasi layanan kepada masyarakat, munculnya kesenjangan dalam lingkup ASN, dan konflik atau benturan kepentingan.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengungkapkan, sejak era Orde Baru, ASN selalu ditarik-tarik ke ranah politik. Problem ini terus berlanjut pasca-reformasi sekalipun sejumlah aturan telah melarang ASN berpolitik praktis. ASN selalu ditarik-tarik ke politik karena posisi mereka yang strategis, terutama yang sedang memegang jabatan tertentu. Mereka memiliki akses kewenangan hingga anggaran yang bisa menguntungkan politisi atau partai politik. Sebaliknya, ASN tergiur untuk masuk ke ranah politik karena iming-iming promosi jabatan.
Kini, mencuatnya kasus pejabat Kementan tersebut memperlihatkan problem netralitas ASN belum sepenuhnya teratasi. Sama seperti sebelumnya, menurut Djohermansyah, potensi pelanggaran bisa kian marak menjelang hingga tiba waktu Pemilu 2024 dan Pilkada Serentak Nasional 2024.
Jika pelanggaran ini terus dibiarkan, akan ada kemerosotan kualitas pemilu. Apalagi, pada 2024 nanti terdapat momentum ganti presiden sehingga politisi akan bertarung keras. Segala cara untuk menang akan ditempuh dalam kontestasi.
”Ini akan lebih riskan, maka pagi-pagi hari, kita harus beri peringatan keras kepada ASN,” kata Djohermansyah.
Perbaikan regulasi
Hal lain yang penting ialah perbaikan regulasi. Penjatuhan sanksi bagi ASN yang melanggar netralitas oleh PPK, misalnya, harus diubah. PPK yang dijabat kepala instansi, seperti menteri, kepala lembaga atau kepala daerah, justru bisa membela ASN yang berpolitik praktis karena penyimpangan para ASN itu untuk kepentingan PPK yang berasal atau berafiliasi dengan partai politik tertentu atau justru ada kepentingan maju di pemilu atau pilkada.
Selain itu, sanksi tegas dan jelas juga harus diberikan kepada pejabat negara serta partai politik yang melakukan pelanggaran. Menteri yang melanggar harus disanksi oleh presiden, begitu juga kepala daerah harus diberhentikan sementara. Mereka harus diberi sanksi administrasi juga. Partai politik yang melakukan pelanggaran harus mendapatkan teguran.
Djohermansyah mengingatkan, birokrasi menganut prinsip sistem meritokrasi dan netralitas dari politik. Prinsip tersebut dituangkan dalam UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU ASN. Di ketiga undang-undang tersebut ditegaskan, ASN harus bekerja profesional, termasuk harus netral dalam politik.