Tantangan Berat Menanti Penjabat Kepala Daerah
Ratusan daerah akan dipimpin penjabat kepala daerah menyusul berakhirnya masa jabatan kepala-wakil kepala daerah pada 2022 dan 2023. Tantangan berat akan dihadapi para penjabat. Maka, sosok penjabat haruslah kompeten.
Tantangan berat bakal dihadapi para penjabat kepala daerah yang mengisi kekosongan kepala dan wakil kepala daerah di ratusan daerah mulai Mei 2022. Persoalan pandemi Covid-19 yang belum usai dan persiapan pemilu serta pemilihan kepala daerah pada 2024 di antaranya. Karena itu, pemerintah diharapkan memilih penjabat yang kompeten dan pemilihannya dilakukan secara akuntabel dan transparan.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 101 kepala daerah dan wakil kepala daerah akan berakhir masa jabatannya pada 2022. Adapun pada 2023 akan ada 170 kepala dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya. Daerah-daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah hingga kepala/wakil kepala daerah baru terpilih dalam pemilihan kepala daerah serentak nasional pada 2024.
Untuk posisi penjabat bupati/wali kota, tiga nama diusulkan oleh gubernur untuk kemudian dipilih dan ditetapkan Menteri Dalam Negeri. Adapun untuk posisi penjabat gubernur, Mendagri yang mengajukan sejumlah usulan nama untuk diputuskan oleh Presiden.
Beberapa mantan penjabat kepala daerah saat dihubungi di Jakarta, Selasa (11/1/2022), mengungkapkan tantangan berat yang pernah dialaminya dalam menduduki jabatan tersebut.
Situasi bakal lebih sulit bagi penjabat kepala daerah yang mulai menjabat di 2022 karena mereka menduduki posisi tersebut cukup lama dan harus berhadapan dengan pandemi Covid-19 serta persiapan pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 2024.
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono mengungkapkan tantangan yang pernah dialaminya saat menjadi Penjabat Gubernur Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan, serta Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta. Soni mengatakan, penjabat kepala daerah memiliki tantangan untuk menjaga netralitas birokrasi.
”Memastikan tidak saja secara pribadi sebagai penjabat kepala daerah netral, tetapi juga seluruh ASN (aparatur sipil negara) di wilayah kerjanya. Godaan cukup banyak, tarik sana tarik sini, banyak kepentingan yang berbeda-beda,” kata Soni.
Baca juga : Transparansi Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Penjabat kepala daerah harus mampu memainkan kepemimpinan transisional yang terbaik. Soni menegaskan, penjabat kepala daerah harus mampu menjembatani kesinambungan visi, misi, dan kebijakan kepala daerah sebelumnya dengan visi, misi, dan kebijakan kepala daerah berikutnya dalam koridor Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).
Selain itu, penjabat kepala daerah harus mampu memastikan semua fungsi penyelenggaraan pemerintahan, terutama pelayanan publik harus tetap berjalan dan memastikan efektivitasnya.
Di sisi lain, penjabat juga harus mampu mendinginkan suasana politik yang panas dan mencairkan suasana kompetisi dalam pilkada. ”Lawan bertanding adalah teman bermain,” kata Soni.
Penjabat pun harus mampu menjadi payung peneduh dan mengendalikan konflik sosial politik dalam berbagai bentuknya, terutama di ruang-ruang demokrasi yang semakin terbuka dengan maraknya media sosial, termasuk beragam demonstrasi lokal untuk beberapa daerah yang kondisi politiknya panas.
Penjabat kepala daerah harus mampu mengonsolidasikan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) yang solid dan efektif sebagai instrumen pengendalian situasi dan kondisi keamanan, dengan tetap mengedepankan kebebasan berdemokrasi. Mereka harus mampu membaca konstelasi politik lokal dan sendi-sendi demokrasi yang bersih dari isu-isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan intoleransi.
Penjabat juga memiliki tantangan untuk mengelola pembangunan daerah tanpa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) normal. Sebab, masa periodenya sudah habis, sedangkan RPJMD yang baru belum ada.
Menurut Soni, tantangan kepala daerah di 2022 ini cukup berat karena mereka bakal menjabat cukup lama atau hingga Pilkada 2024 tuntas digelar. ”Penjabat kepala daerah tanpa pegangan dokumen perencanaan makro, padahal harus menyusun satu sampai dua kali RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) mengingat masa penjabat kali ini cukup lama, bahkan ada yang sampai setengah periode jabatan kepala daerah,” kata Soni.
Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan yang pernah menjadi Penjabat Gubernur Riau menceritakan pengalamannya dalam menyelenggarakan pilkada putaran kedua. Setelah dilantik pada pagi hari, ia sudah harus langsung rapat dengan Komisi Pemilihan Umum. Saat itu, ia menegaskan, pegawai negeri sipil harus netral dan tidak boleh memihak dalam pilkada supaya jangan menimbulkan kecurangan.
Baca juga : Problem Klasik Netralitas Aparatur Sipil Negara
Di saat sedang menyiapkan pilkada, ia juga harus meningkatkan serapan anggaran daerah. Sebab, ketika Djohermansyah datang pada November 2013, serapan ABPD Riau baru mencapai 38 persen. Alhasil, ia segera membereskan surat keputusan yang belum ditandangani serta petunjuk pelaksanaan dan teknis.
Ia menggunakan pendekatan kedaerahan dengan kultur Melayu, yakni mengedepankan egaliter untuk mendorong kinerja satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Dengan membangun kerja sama tim, pada akhir Desember, serapan anggaran Riau bisa mencapai 89 persen.
Dalam pengelolaan APBD, penjabat gubernur memiliki mandat penuh sehingga harus menghadapi tekanan dari DPRD. Dengan berbekal ilmu politik dan pernah menjadi Deputi Politik Wakil Presiden, ia mampu menghadapi anggota Dewan.
”Masalahnya APBD harus diberesin. Kita harus berunding. Yang paling susah titipan orang minta proyek, minta dana hibah, ormas (organisasi massa) minta bantuan. Kita harus bisa diplomatis dan saya harus mengecek kondisi keuangan ke sekretaris daerah dan orang keuangan,” kata Djohermansyah.
Situasi semakin sulit ketika ada pegawai yang harus dimutasi. Ia harus mengikuti aturan main berdasarkan meritokrasi. Selain itu, Djohermansyah juga harus tetap menjalankan tugas sebagai Direktur Jenderal Otonomi Daerah. Ia harus bolak-balik Jakarta dan Riau.
Menurut Djohermansyah, tantangan penjabat kepala daerah di tahun 2022 ini sangat berat. Mereka harus menjabat sampai Pilkada 2024. ”Bayangkan, pekerjaannya mengurusi daerah dan pusat,” ungkapnya.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat Dani Ramdan yang pernah menjadi Penjabat Bupati Pangandaran dan Bekasi mengungkapkan, menjadi penjabat kepala daerah tidak mempunyai banyak waktu untuk belajar dan beradaptasi. Pada hari pertama menjabat, ia langsung disodorkan berbagai situasi dan permasalahan yang harus diputuskan. Sebab, seorang kepala daerah pengambil keputusan utama di daerah.
Kemampuan komunikasi dan pengelolaan informasi yang prima, baik dalam menerima maupun menyampaikan pesan, sangat dibutuhkan oleh penjabat kepala daerah. ”Akan banyak masalah datang hanya karena miskomunikasi dan seorang kepala daerah dalam setiap detiknya akan dipapar berbagai informasi yang beragam, baik yang sangat penting maupun yang tidak penting, bahkan menyesatkan,” kata Dani.
Seorang penjabat kepala daerah juga harus paham struktur organisasi dan peran fungsi perangkat daerah hingga ke tingkat kecamatan dan desa/kelurahan. Mereka juga harus paham struktur anggaran, baik sisi pendapatan maupun belanja. Sebab, mereka harus menyusun APBD bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah dan Badan Anggaran DPRD, serta menandatangani Peraturan Daerah APBD.
Ia juga mengingatkan, integritas seorang penjabat kepala daerah sangat dibutuhkan. Sebab, mereka memiliki kekuatan seperti kepala daerah definitif. Perintahnya akan didengar dan keputusannya berdampak luas. Implikasinya adalah berbagai godaan untuk melakukan penyalahgunaan wewenang jabatan secara halus maupun vulgar menjadi tantangan nyata.
”Meskipun hanya menjadi penjabat yang bersifat sementara, seorang penjabat kepala daerah harus memiliki kualitas mental kepemimpinan yang memadai,” kata Dani.
Dani mengungkapkan, tantangan besar penjabat kepala daerah di tahun 2022 dan 2023 ialah masih harus melakukan penanggulangan dan pemulihan pandemi Covid-19. Saat menjadi Penjabat Bupati Bekasi pada 2021, Dani merupakan salah satu Wakil Ketua Satgas Penanggulangan Covid-19 Provinsi Jawa Barat. Posisi tersebut menjadi pertimbangan gubernur untuk memilihnya sebagai penjabat bupati karena dinilai memiliki kemampuan dan pengalaman menangani pandemi di Bekasi yang saat itu sedang memuncak.
Baca juga : Kemendagri Pertimbangkan Seleksi untuk Jabatan Ratusan Penjabat Kepala Daerah
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, saat ini masih dalam proses pemulihan pandemi Covid-19 yang belum usai. Pemulihan ekonomi menjadi tantangan utama bagi pemerintah daerah. Menurut Herman, para penjabat kepala daerah yang terpilih nanti harus memulihkan ekonomi sampai terpilihnya kepala daerah definitif pada 2024.
Para penjabat kepala daerah juga akan berhadapan dengan situasi serapan anggaran yang rendah serta sinkronisasi penganggaran pusat dan daerah. Mereka juga harus menerapkan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang baru saja disahkan pada 2021 lalu dalam tata kelola ekonomi.
Jelang Pemilu 2024, para penjabat kepala daerah juga harus menjaga kondusifitas keamanan daerah. Melihat banyaknya tantangan yang harus dihadapi para penjabat kepala daerah, menurut Herman, Kemendagri harus memilih para penjabat kepala daerah yang kompeten. Proses pemilihan penjabat kepala daerah harus akuntabel dengan dibuka ke publik.
Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Bidang Politik dan Media Kastorius Sinaga mengatakan, ketentuan pengaturan teknis lebih lanjut atas Pasal 201 Ayat (9), Ayat (10), dan Ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pengangkatan penjabat gubernur dan bupati/wali kota yang masa jabatannya berakhir 2022 dan 2023 belum terbit.
”Permendagri (Peraturan Mendagri) tentang pengangkatan penjabat untuk mengisi kekosongan (kepala daerah) tersebut sebagaimana diatur dalam pasal di atas belum terbit,” kata Kastorius.