Transparansi Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Sebanyak 101 kepala daerah pada 2022 akan habis masa jabatannya dan akan diisi penjabat kepala daerah. Penunjukan penjabat kepala daerah menjadi isu di tengah tingginya aspek kepentingan politik menjelang Pemilu 2024.
Sebanyak 101 jabatan kepala daerah, terdiri dari tujuh gubernur dan 94 bupati maupun wali kota akan berakhir pada tahun 2022. Urgensi pengisian jabatan pemimpin daerah itu mutlak dilakukan secara transparan berdasarkan aturan berlaku, guna menghindari berbagai tekanan kepentingan selama masa jelang Pemilu serentak 2024.
Data Direktorat Jenderal Otonom Daerah, Kementerian Dalam Negeri mencatat, berakhirnya periode kepemimpinan para kepala daerah itu akan dimulai pada Mei 2022. Hal itu berarti pula, nantinya secara berurutan setiap bulan di sepanjang paruh kedua tahun akan terus terjadi kekosongan jabatan kepala daerah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pada periode awal, di Mei 2022, total 48 kepala daerah akan meletakkan jabatannya. Jumlah itu terdiri dari lima gubernur untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat, serta 43 bupati atau wali kota. Tahap pertama pada bulan tersebut juga menjadi momen berakhirnya kepala daerah paling banyak.
Dua bulan setelahnya, pada Juli 2022, secara keseluruhan ada 10 kepala daerah yang berakhir masa baktinya. Di pertengahan tahun itu, seluruh jabatan pemimpin daerah yang berakhir terletak itu terdapat di wilayah Aceh, termasuk pula untuk jabatan gubernurnya.
Berakhirnya masa jabatan gubernur selanjutnya terjadi di bulan Oktober 2022, yaitu untuk Gubernur DKI Jakarta. Pada bulan yang sama, sebanyak 10 kepala daerah tingkat dua turut dari juga menyudahi masa baktinya.
Berakhirnya masa kepemimpinan kepala daerah terus brelangsung hingga di pengujung tahun 2022. Memasuki November, ada tiga kepala daerah tingkat dua dan 13 kepala daerah pada Desember yang selesai periode kepemimpinannya.
Baca juga : Menjaga Stabilitas Pemerintahan di Tahun Politik
Pengisian jabatan
Dalam konteks pilkada, ketika pasangan kepala daerah maupun wakil kepala daerah petahana akan maju kembali dalam pemilihan kepala daerah, terdapat kewajiban untuk cuti selama masa kampanye berlangsung.
Ketentuan ini tertuang dalam peraturan Mendagri No 76/2016 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Berdasarkan aturan yang telah ditetapkan, kekosongan jabatan kepala daerah karena berakhirnya periode kepemimpinan tersebut akan diisi oleh penjabat kepala daerah sesuai yang ditetapkan dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada.
Pasal 201 Ayat 9 UU tersebut menyebutkan, untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023, diangkat seorang penjabat kepala daerah hingga terpilih kepala daerah pengganti dari hasil pilkada serentak tahun 2024.
Penjabat (Pj) kepala daerah merupakan jabatan yang diembankan kepada satu sosok yang dinilai memenuhi kriteria untuk memimpin daerah hingga pemenang pilkada selanjutnya ditetapkan.
Berdasarkan UU No 10/2016 tentang Pilkada, penjabat kepala daerah diangkat dari ASN yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya untuk pejabat gubernur dan JPT pratama mengisi kekosongan bupati/wali kota.
Secara mekanisme penunjukan, pengisian kekosongan jabatan oleh Pj kepala daerah memang sedikit berbeda dari peralihan jabatan untuk pelaksana tugas (Plt) ataupun pelaksana harian (Plh).
Jabatan Plt biasanya diemban oleh para wakil kepala daerah setelah kepala daerah berhalangan untuk memimpin pemerintahan serta melaksanakan tugas dan wewenangnya karena berhalangan sementara, misalnya sedang menjalani proses hukum atau masa tahanan.
Sementara jabatan Plh akan dijabat oleh Sekretaris Daerah ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah secara bersamaan tak dapat menjalankan tugas kepemimpinan akibat beberapa hal, termasuk berhalangan karena tengah menjalani proses hukum.
Tujuan utama pengisian kekosongan jabatan kepala daerah tentunya untuk menjaga stabilitas berjalannya pemerintahan daerah. Kepemimpinan para Pj kepala daerah itu diharapkan mampu menggantikan tugas dan fungsi kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan daerah. Termasuk pula menciptakan stabilitas politik dan keamanan daerah yang rawan bergejolak ketika masuk masa pemilu.
Terkait dengan itu pula, meskipun memegang tampuk kepemimpinan daerah, para Pj kepala daerah tetap memiliki pembatasan kewenangan dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam PP No 49/2008 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dijelaskan beberapa kewenangan Pj yang terbatas.
Di antaranya kewenangan tersebut adalah tidak dapat melakukan mutasi pegawai, membatalkan perizinan yang sebelumnya telah dikeluarkan, membuat kebijakan pemekaran daerah, hingga membuat kebijakan yang bertentangan dengan penyelenggaraan pemerintahan, dan program pembangunan pemerintah sebelumnya.
Selain itu, secara khusus pembatasan kewenangan penjabat kepala pemerintahan daerah itu juga disampaikan oleh Badan Kepegawaian Nasional (BKN) melalui surat bernomor K.26-304/.10 pada 19 Oktober 2015 mengenai tugas dan kewenangan Pj kepala daerah.
Dalam rincian ketentuannya dijelaskan bahwa Pj kepala daerah tidak memiliki kewenangan menetapkan keputusan pada aspek kepegawaian meliputi pengangkatan, pemberhentian, kenaikan pangkat, pemberian izin perkawinan atau perceraian, hingga keputusan hukuman disiplin, kecuali mendapatkan persetujuan tertulis Menteri Dalam Negeri.
Baca juga : Kemendagri Pertimbangkan Seleksi untuk Jabatan Ratusan Penjabat Kepala Daerah
Kepentingan
Dengan merujuk pada aturan dan mekanisme penetapan Pj kepala daerah dalam mengisi kekosongan jabatan jelang masa pemilu, sudah semestinya penunjukan para pengganti pemimpin yang mengisi jabatan tersebut dapat dilakukan dengan transparan.
Hal ini menjadi penting guna menjaga marwah dan tujuan kehadiran pemimpin daerah yang semestinya dapat bekerja secara profesional dan terbebas dari berbagai kepentingan politik mana pun.
Polemik penunjukan Pj kepala daerah, dengan potensi kekosongan jabatan yang harus diisi begitu banyak sempat kembali bermunculan. Kredibilitas dan transparansi pemerintah, dalam hal ini terutama Kemendagri, kembali dipertanyakan publik saat melakukan ploting pengisian jabatan kepala daerah, baik untuk gubernur maupun bupati dan wali kota.
Perdebatan mengenai penunjukan penjabat kepala daerah ini sebetulnya juga sempat terjadi pada momentum pilkada sebelumnya. Terutama yang acap kali mencuat menjadi pertanyaan masyarakat terkait dengan ditunjuknya sejumlah tokoh dari kalangan TNI atau pun Polri aktif untuk menduduki posisi penjabat kepala daerah.
Bagi sebagian kalangan masyarakat dan aktivis, kondisi tersebut tak ubahnya kembali menggaungkan adanya dwifungsi militer yang mencampuri urusan sipil yang sarat banyak kepentingan di dalam.
Sudah semestinya transparansi dan kesesuaian kriteria penunjukan penjabat perlu diwujudkan.
Polemik yang belum lama terjadi dan cukup menarik perhatian publik terjadi saat momentum Pilkada 2018. Secara mengejutkan, pemerintah menunjuk Komjen Mochammad Iriawan untuk mengisi posisi penjabat Gubernur Jawa Barat.
Saat itu, Iriawan diketahui masih berstatus aktif sebagai Perwira Tinggi Polri dengan Jabatan Asisten Operasi Kapolri. Namun belakangan, Kemendagri memberikan penjelasan bahwa yang bersangkutan telah menduduki jabatan Sekretaris Utama Lemhannas dan memenuhi kriteria sebagai pejabat publik yang layak dipilih menjadi Pj kepala daerah.
Sebelumnya juga tercatat, pada tahun 2017, penunjukan Pj kepala daerah juga justru diisi oleh perwira aktif Polri. Saat itu, Irjen Carlo Brix Tewu ditunjuk sebagai Pj Gubernur Sulawesi Barat.
Tak jauh berbeda, tahun 2008, Pj Gubernur Sulawesi Selatan pernah diisi oleh Mayjen TNI Achmad Tanribali Lamo, yang saat itu masih berstatus sebagai perwira militer. Seusai pensiun tahun 2009, Achmad Tanribali justru ditunjuk menjadi Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kemendagri dan sempat beberapa kali menjadi penjabat kepala daerah.
Berkaca dari hal tersebut, sudah semestinya transparansi dan kesesuaian kriteria penunjukan penjabat perlu diwujudkan. Jangan sampai justru kepercayaan publik kembali harus dipertaruhkan dengan proses penunjukan penjabat kepala daerah yang bernuansa membawa kepentingan politik dan elit tertentu. Penciptaan suasana kondusif jelang masa pemilu sejatinya juga dimulai sejak pengisian kekosongan jabatan para kepala daerah tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Dinamika Penjabat Kepala Daerah