Pengisian penjabat kepala daerah perlu melibatkan proses politik di daerah, apalagi masa jabatan penjabat kepala daerah bisa tiga tahun pada masa Pemilu 2024. Namun, jangan sampai ini dijadikan alat politik.
Oleh
DESPAN HERYANSYAH
·4 menit baca
Menjelang perhelatan pemilu akbar pada November 2024, sekelumit persoalan mulai muncul, mulai dari aspek teknis, politik, ekonomi, hingga substansi penyelenggaraan pemilu. Salah satu isu yang harus mendapatkan perhatian serius, serta membutuhkan respons mendesak adalah ketentuan mengenai penjabat kepala daerah.
Penjabat kepada daerah secara sederhana adalah seseorang yang menjabat kepala daerah saat masa jabatan kepala daerah telah habis, tetapi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah belum diselenggarakan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sebagaimana dipahami bahwa pemerintah dan DPR telah menyepakati untuk meniadakan pemilihan kepala daerah pada tahun 2022 dan 2023. Sementara ada banyak kepala daerah yang akan habis masa jabatannya menjelang tahun 2023, penulis mencatat setidaknya ada 272 kepala daerah.
Artinya, 272 daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Jika dihitung sejak tahun 2021 hingga tahun 2024, ini berarti sebagian besar daerah akan dipimpin oleh penjabat sementara dalam kisaran waktu 1-3 tahun.
Kekhawatiran yang mengemuka, panjangnya masa jabatan penjabat kepala daerah berdampak buruk bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah, apalagi pada tahun 2024 Indonesia akan menghadapi agenda politik strategis, pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah secara bersamaan.
Sekelumit persoalan
Secara yuridis, ketentuan mengenai pengisian penjabat kepala daerah dibagi menjadi dua, yakni untuk jabatan gubernur yang akan diduduki oleh jabatan pimpinan tinggi madya, sementara untuk jabatan bupati/walikota diisi dari jabatan pimpinan tinggi pertama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menteri Dalam Negeri sudah menegaskan, jabatan pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pertama ini akan berasal dari Kementerian Dalam Negeri dan kementerian lain yang ditunjuk. Namun, ketentuan mengenai penjabat sementara ini masih menyisakan sekelumit persoalan substansial.
Pertama, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah maupun Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah tidak mengatur dengan jelas bagaimana mekanisme penentuan penjabat kepala daerah ini. Desain yang saat ini disampaikan oleh Kementerian Dalam Negeri, yaitu Presiden akan memilih satu nama dari tiga nama calon penjabat yang diusulkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Jika mekanisme ini yang akan digunakan, masalah konstitusionalitas dan legitimasi akan muncul. Kepala daerah merupakan jabatan politik, sama halnya dengan jabatan presiden. Oleh karena itu, pengisian penjabat kepala daerah juga sejatinya perlu melibatkan proses politik di daerah, apalagi masa jabatan penjabat kepala daerah ini tidak sebentar.
Penentuan penjabat kepala daerah tidak bisa secara sepihak dimonopoli oleh pemerintah pusat tanpa melihat aspirasi daerah.
Pelibatan mekanisme politik di daerah ini menjadi lebih penting jika kita kaitkan dengan legitimasi penjabat tersebut. Penentuan penjabat kepala daerah tidak bisa secara sepihak dimonopoli oleh pemerintah pusat tanpa melihat aspirasi daerah.
Selain itu, Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dengan tegas menyebutkan, ”… gubernur, bupati, wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis…”. Artinya, frasa demokratis tidak bisa ditinggalkan dalam konteks penentuan jabatan kepala daerah, jika ini ditinggalkan, memunculkan problem konstitusionalitas.
Opsi pemilihan
Mekanisme pemilihan penjabat kepala daerah sejatinya tidak tunggal sebagaimana dikonsepkan oleh Mendagri. Perlu mempertimbangkan opsi lain yang lebih mengkomodasi kehendak politik masyarakat daerah sehingga memenuhi untuk legitimasi dan konstitusionalitas.
Selain itu, jika jabatan pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pertama yang ada dikementerian didistribusikan menjadi penjabat kepala daerah yang berjumlah 272 daerah, sedikit banyak pasti akan mengganggu kinerja pemerintahan. Padahal, di masa akhir jabatan Presiden Jokowi, sepatutnya seluruh komponen pemerintahan di pusat justru bahu-membahu menunjukkan prestasinya.
Opsi pemilihan penjabat kepala daerah lain yang patut dipertimbangkan, yaitu (1), DPRD provinsi atau kabupaten/kota melalui mekanisme politik lokal menyerahkan tiga nama kepada Mendagri untuk bupati/wali kota, lalu tiga nama kepada presiden untuk gubernur. Lalu Mendagri dan Presiden akan memilih satu dari tiga nama yang diusulkan menjadi penjabat kepala daerah.
Atau (2) pemilihan penjabat kepala daerah ini diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme politik di tingkat lokal melalui DPRD. Pemerintah pusat hanya melantik satu nama yang diusulkan oleh DPRD provinsi maupun kabupaten/kota.
Dua opsi ini rasanya jauh lebih demokratis karena ada peran DPRD sebagai wakil dari masyarakat daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18 Ayat (4) UUD. Lebih jauh, mengakomodasi kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin Pasal 1 Ayat (2) UUD.
Kedua, terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh penjabat kepala daerah. Saat ini belum ada ketentuan yang dengan jelas menentukan kewenangan apa saja yang dimiliki oleh penjabat kepala daerah.
Harus diperhatikan bahwa kewenangan penjabat kepala daerah tidak boleh terlalu sempit karena ini mencakup pelayanan terhadap masyarakat daerah. Hak masyarakat daerah harus terpenuhi dan otonomi daerah harus tetap berjalan. Namun, tidak boleh terlalu luas apalagi abu-abu karena agenda politik pemilu nasional 2024 sangat rentan dengan penyalahgunaan wewenang.
Jangan sampai, penjabat kepala daerah dijadikan sebagai alat politik praktis untuk kepentingan kehendak politik sekelompok elite semata. Oleh karena itu, harus ditentukan dengan jelas, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
(Despan Heryansyah, Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta)