TNI-Polri dan Rencana Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
Setidaknya 271 kepala daerah akan mengakhiri jabatannya pada 2022-2023. Untuk mengisi kekosongan jabatan, muncul wacana pemerintah akan mengangkat anggota TNI/Polri aktif menjadi penjabat kepala daerah.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
Pemilihan Kepala Daerah serentak pada 2024 menyisakan sejumlah persoalan, salah satunya kekosongan jabatan kepala daerah. Masa jabatan 101 kepala daerah akan habis pada tahun 2022 dan 170 lainnya berakhir pada tahun 2023. Dari 271 kepala daerah yang masa jabatannya habis sepanjang 2022-2023, sebanyak 27 di antaranya adalah gubernur.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang telah disempurnakan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, kekosongan jabatan kepala daerah diselesaikan dengan pengangkatan penjabat kepala daerah. Para Penjabat gubernur, bupati, dan wali kota bertugas hingga terpilihnya kepala daerah definitif melalui Pilkada serentak 2024.
Terkait hal itu, muncul wacana pemerintah akan mengangkat anggota TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah. Saat dikonfirmasi, pekan lalu, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan menyampaikan belum membahas wacana penunjukan TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah. Saat ini, Kemendagri masih fokus mempersiapkan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024.
Terlepas dari itu, wacana pemerintah untuk merekrut penjabat kepala daerah dari kalangan TNI/Polri aktif pada saat pilkada serentak 2024 tetap menimbulkan tanya. Sebab, selain menyalahi aturan jabatan TNI, ini juga dinilai menarik kembali TNI ke dalam ranah politik. Apalagi di negara demokratis, peran TNI diharapkan lebih profesional dan berfokus pada pertahanan negara.
Dalam diskusi ”Menimbang Profesionalisme TNI di HUT Ke-76” yang diadakan oleh Centra Initiative dan Imparsial, Senin (4/10/2021), Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf mengatakan, akhir-akhir ini ada gejala pemerintah ingin kembali menarik militer ke ranah politik. Pemerintah melalui Kemendagri membuka peluang bagi perwira TNI dan Polri untuk menduduki kursi penjabat kepala daerah di 271 daerah.
Gejala itu dinilai tidak sesuai dengan profesionalisme militer. ”Sikap profesionalisme militer itu ditunjukkan dalam bentuk tidak berpolitik, tidak berbisnis, dan memisahkan antara ranah militer dan ranah sipil. Sikap militer TNI terhadap politik itu netral mengikuti kebijakan negara,” terangnya.
Selain Al Araf, diskusi juga dihadiri pengamat Militer Laksamana Muda TNI (Purn) Solaeman B Ponto, peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Haripin, dan Akademisi Universitas Paramadina Shiska Prabawaningtyas, sebagai narasumber.
Sikap profesionalisme militer itu ditunjukkan dalam bentuk tidak berpolitik, tidak berbisnis, dan memisahkan antara ranah militer dan ranah sipil. Sikap militer TNI terhadap politik itu netral, mengikuti kebijakan negara.
Menurut Araf, ada lima isu penting yang bisa dilihat untuk mengukur profesionalisme TNI. Pertama, memastikan kesejahteraan TNI untuk mendorong peningkatan profesionalisme. Kedua, modernisasi persenjataan untuk membangun kekuatan pertahanan. Ketiga, memastikan TNI tidak berpolitik dan berbisnis. Keempat, pemisahan ranah militer dan ranah sipil, di mana sikap militer terhadap politik netral atau mengikuti kebijakan negara. Kelima, hubungan sipil-militer tunduk pada prinsip supremasi sipil atau adanya kontrol sipil demokratik dari pemimpin sipil terhadap militer.
Selama ini, TNI belum dibekali dengan persenjataan yang baik dan sesuai dengan perkembangan zaman. Meskipun demikian, anggaran pertahanan Indonesia sudah meningkat sejak tahun 2005-2021. Namun, beban anggaran itu masih cukup besar untuk kebutuhan belanja pegawai. Anggaran untuk peningkatan kekuatan pertahanan seperti pembelian alat utama sistem pertahanan belum memadai.
Surplus prajurit
Araf juga menemukan ada surplus prajurit TNI, terutama untuk jabatan perwira menengah dan perwira tinggi. Karena adanya surplus ini, 60 prajurit TNI tertunda jabatannya sampai tiga tahun. Kemudian salah satu solusi yang dibuat oleh pemerintah adalah menempatkan TNI pada jabatan sipil.
Sesuai dengan Pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2002 tentang Pertahanan, prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik, dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiiaden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, dan Mahkamah Agung. Selain itu, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
”Artinya, TNI aktif tidak boleh masuk sebagai penjabat gubernur, bupati, wali kota,” kata Araf.
Menurut dia, jalan keluar untuk mengatasi masalah penumpukan perwira adalah dengan membangun merit sistem yang lebih baik lagi di lingkungan TNI. Selain itu, mengurangi jabatan struktural yang tidak efektif lagi di jabatan fungsional. Harus ada pembatasan atau seleksi ketat sekolah staf dan komando bagi prajurit yang naik perwira menengah atau tinggi.
Haripin menambahkan, hasil survei LIPI di 12 provinsi terhadap ahli, dosen, peneliti, aktivis, dan pertahanan menyebutkan bahwa mereka tidak ingin TNI terlibat lagi dalam urusan politik dan ekonomi. Di negara transisi otoriter ke demokrasi, militer harus beradaptasi dengan prinsip demokrasi, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kontrol sipil, dan sebagainya. Dalam konteks pertahanan, TNI juga diharapkan lebih aktif memperkuat diplomasi pertahanan. Perang diharapkan menjadi jalan terakhir, setelah diplomasi tak bisa dilakukan.
”Diplomasi pertahanan akan memperkuat profesionalisme militer,” kata Haripin.
Solaeman B Ponto menjelaskan, pengisian jabatan sipil sudah jelas diatur di UU Nomor 34 Tahun 2002 tentang Pertahanan. Pasal 47 UU Pertahanan secara jelas menyebut bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Prajurit aktif dapat menduduki jabatan tertentu di antaranya menteri koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and resque (SAR) nasional, narkotik nasional, dan mahkamah agung.