”Lame Duck”, Isu yang Tertinggal dari Diskursus Pemilu
Petahana yang dibiarkan terlalu lama berdiam diri di masa transisi dari satu periode pemerintahan ke periode pemerintahan yang lain akan berakibat buruk, berpotensi mengeluarkan kebijakan yang tak sejalan suara rakyat.
Oleh
AZEEM MARHENDRA AMEDI
·4 menit baca
Setelah tanggal pelaksanaan Pemilu 2024 pada 15 Mei 2024 diumumkan, mulai banyak kalangan yang membicarakan tentang tantangan-tantangan ke depan mengenai apa yang harus dicegah dan diatasi sebelum, sesaat, dan sesudah penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut. Pembicaraan bermula dari bagaimana permasalahan logistik yang harus dihadapi penyelenggara pemilu, penyelenggaraan di hari pelaksanaan agar tidak menjadi petaka seperti Pemilu 2019, menata pelaksanaan sebelum pilkada serentak 2024, dan bagaimana nanti Mahkamah Konstitusi menanggung beban perkara yang akan dimohonkan untuk diselesaikan perselisihan hasilnya.
Seluruh isu tersebut memang sangat penting untuk dibahas dalam diskursus Pemilu 2024. Walaupun demikian, terdapat salah satu isu yang sebenarnya juga penting untuk didiskusikan dan ditingkatkan kesadarannya terkait isu tersebut, yakni mengenai lame duck.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Istilah lame duck, menurut Jack M Beerman dan William P Marshall dalam ”The Constitutional Law of Presidential Transitions”, adalah ketika pejabat petahana tetap pada jabatan mereka masing-masing, meski pemilihan umum telah selesai dan tak lagi terpilih, mereka masih dapat menggunakan kewenangan sebagai petahana sampai masa jabatan selesai. Mereka yang berdiam di jabatan-jabatan mereka masuk dalam periode lame duck session.
Mengapa lame duck menjadi permasalahan? Isu ini sebenarnya sudah pernah terjadi di Indonesia. Melansir tulisan Kevin Evans dalam artikelnya di situs The Jakarta Post, 2019, ia memberi perhatian mengenai bagaimana pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) saat itu dinilai terburu-buru untuk disahkan pasca-pemilu dan sebelum pejabat-pejabat baru di DPR dilantik pada 1 Oktober 2019.
Kasus tersebut menjadi salah satu alasan mengapa petahana yang dibiarkan terlalu lama berdiam diri di masa transisi dari satu periode pemerintahan ke periode pemerintahan yang lain akan berakibat buruk. Petahana tersebut berpotensi memanfaatkan masa transisi tersebut untuk mengeluarkan kebijakan yang memuaskan beberapa kepentingan politik yang tak sejalan dengan suara rakyat.
Permasalahan lame duck tidak hanya terjadi pada tahun 2019. Mundur ke tahun 2014, DPR saat itu pernah mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada yang menghapuskan pemilihan langsung dengan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. UU Pilkada yang awalnya disahkan dan diundangkan pada 26 September 2014 itu kemudian dibatalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum lengser dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 agar pilkada tetap dilaksanakan secara langsung. Kedua kejadian tersebut dalam sejarah politik hukum di Indonesia menunjukkan adanya urgensi yang besar untuk diaturnya masalah ini.
John Copeland Nagle dalam tulisannya berjudul ”Lame Duck Logic” mengungkapkan, penyebab terbesar adanya permasalahan dengan lame duck di negara-negara dunia adalah lamanya masa transisi atau masa tunggu dari satu era ke era yang lain. Masa tunggu ini menyebabkan kosongnya kegiatan pemerintahan dan dapat dimanfaatkan para elite politik untuk mengeluarkan undang-undang yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat atau ketentuan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Elite-elite tersebut merasa tak lagi dipilih dan tidak lagi mengemban amanat dari konstituen mereka sehingga dapat bertindak bebas selama tenggang waktu tersebut, yang sebenarnya tidak ada legitimasi dari rakyat untuk para pejabat tersebut menghasilkan undang-undang.
Di Indonesia, masa transisi ini berdurasi sangat lama, yakni hingga enam bulan jika dihitung dari pengumuman hasil pemilu pada bulan Mei hingga pelantikan pada bulan Oktober. Alasan ini adalah adanya kebiasaan ketatanegaraan sejak era Presiden Abdurrahman Wahid yang dilantik pada 20 Oktober 1999 dan anggota-anggota legislatif—yang kala itu masih tergabung dalam MPR—dilantik pada 1 Oktober 1999.
Adanya kebiasaan ketatanegaraan itu memang tetap menjadi sebuah pedoman hukum. Namun, bukan berarti tidak butuh kebaruan sebab adanya permasalahan politisi yang memanfaatkan jeda waktu tersebut.
Hal demikian perlu ada peningkatan kesadaran akan pentingnya permasalahan ini dibahas tidak hanya oleh para akademisi hukum dan politik, tetapi juga oleh masyarakat luas, agar ada dorongan perubahan demi mengatur bagaimana para pejabat memanfaatkan masa jeda tersebut. Mengutip pernyataan John Copeland Nagle lagi, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Indonesia demi menanggulangi masalah tersebut.
Pengaturan mengenai tanggal pemilu dan pelantikan perlu ada dalam peraturan perundang-undangan untuk memastikan bahwa durasi masa transisi bisa dipangkas menjadi tiga sampai empat bulan, seperti bagaimana Amerika Serikat mengatur tanggal-tanggal pelantikan kongres dan presiden pada Amendemen Kedua Puluh Konstitusi Amerika Serikat. Singkatnya, masa jeda tersebut akan memperkecil kemungkinan politisi untuk memiliki waktu membahas kebijakan secara kilat tanpa deliberasi.
Pelarangan eksplisit untuk mengeluarkan kebijakan apa pun di masa transisi pemerintahan juga seharusnya diatur dalam UUD 1945 atau dalam undang-undang, hanya dikecualikan jika negara dalam keadaan darurat. Jadi, dengan pelarangan tersebut, pejabat yang masih menunggu untuk periode jabatannya selesai tidak bisa secara leluasa memanfaatkan kewenangan yang masih melekat pada mereka.
Bagaimanapun pelaksanaan pemilu nanti, permasalahan mengenai lame duck ini harus turut serta dibahas dalam diskursus pemilu mendatang. Pesta demokrasi nanti jangan diperkeruh dengan usaha politisi mengeluarkan kebijakan strategis yang justru melanggar demokrasi. Indonesia harus segara menutup celah dari dimanfaatkannya momentum politik untuk menentang konstitusi.
Azeem Marhendra Amedi, Peneliti Magang pada Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia