Siapkan Calon Penjabat Kepala Daerah Jauh-jauh Hari
Kekhawatiran tentang kekosongan 270 kursi kepala daerah dianggap bukan persoalan baru karena sejak 2016 hal itu sudah masuk perhitungan pemerintah. Kini, pemerintah sebaiknya fokus menyiapkan calon penjabat tersebut.
Oleh
RINI KUSTIASIH/NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri diharapkan menyiapkan dari jauh-jauh hari para calon penjabat kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sebagai dampak dari tidak adanya Pilkada 2022 dan 2023. Kompetensi dan rekam jejak calon penjabat itu harus teruji dan perlu ada evaluasi terhadap mereka sebelum akhirnya dipilih sebagai penjabat kepala daerah.
Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Satya Arinanto, Senin (15/3/2021) di Jakarta, mengatakan, dengan desain saat ini, yakni pemilu dan pilkada dilakukan pada tahun yang sama, pemerintah seharusnya sudah siap menghadapi berbagai risiko dan dampaknya. Pasalnya, keserentakan dalam Pilkada 2024 itu sudah diatur sejak 2016, yakni dengan keluarnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016.
Ada waktu 8 tahun bagi pemerintah untuk menghitung konsekuensi dari penyelenggaraan pilkada serentak nasional itu, termasuk dengan potensi kekosongan kursi kepala daerah di 270 daerah.
”Sebagai sebuah keputusan politik dalam bentuk UU Pilkada, itu semua sudah dihitung matang pembuat kebijakan saat itu. Tidak mungkin juga mereka tidak mengetahui risikonya,” kata Satya yang bersama-sama dengan sejumlah ahli lainnya mendampingi Kemendagri saat itu dalam penyusunan UU No 10/2016.
Artinya, kekhawatiran tentang adanya kekosongan 270 kursi kepala daerah itu sebenarnya bukan persoalan baru karena sejak 2016 hal itu sudah masuk dalam perhitungan pemerintah. Itu adalah dampak langsung tidak diadakannya Pilkada 2022 dan 2023.
Oleh karena itu, menurut Satya, pemerintah saat ini sebaiknya fokus untuk menyiapkan para calon penjabat kepala daerah yang akan duduk memimpin daerah sementara sampai pelantikan kepala daerah definitif hasil Pilkada 2024.
”Harus mulai dipersiapkan dari sekarang penjabat yang akan duduk sebagai penjabat gubenur dan bupati/wali kota. Bahkan, penting juga untuk diberikan pelatihan-pelatihan secara bergilir kepada mereka sebelum turun ke lapangan memimpin daerah,” tutur Satya.
Sebelumnya, mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri yang juga Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan mengatakan, pelatihan itu penting untuk memastikan calon penjabat itu mengetahui tugas dan kewajibannya sebagai penjabat kepala daerah. Bahkan, jika kinerja mereka buruk saat pelatihan, mereka dapat diganti.
Lebih jauh, Djohan mengusulkan agar kepala daerah definitif yang sekarang ini menjabat untuk diperpanjang masa jabatannya. Dengan demikian, tidak perlu ada kekhawatiran mengenai penunjukan penjabat kepala daerah serta risiko gangguan terhadap jalannya pemerintahan jika sebagian penjabat tinggi madya dan pratama mereka ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah.
Satya mengatakan, perpanjangan masa jabatan kepala daerah definitif memang bisa saja dilakukan dengan perubahan UU Pilkada. Namun, sebenarnya dengan menunjuk penjabat kepala daerah pun bukan suatu persoalan lantaran hal itu sudah jauh hari diketahui dampaknya oleh pembuat kebijakan. Sejak lama praktik penunjukan penjabat kepala daerah pun dilakukan pemerintah.
”Kemendagri juga sudah memiliki mekanisme dalam menentukan penjabat kepala daerah dan sekarang tinggal diantisipasi bagaimana penjabat yang ditunjuk itu memiliki kompetensi,” kata Satya.
Saat Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan, pejabat pimpinan tinggi madya yang akan mengisi posisi penjabat gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mengisi posisi penjabat bupati/wali kota harus netral dan tidak berpihak. Mereka yang dipilih juga harus dipastikan tidak memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah.
”Bagi Kemendagri, ini juga pertaruhan sehingga jangan sampai menaruh nama yang salah karena membawa nama institusi,” ujarnya.
Adapun pada 2022 akan ada 101 kepala daerah yang masa jabatannya habis dan akan digantikan penjabat. Sementara pada 2023 ada 171 penjabat kepala daerah sehingga total akan ada 272 penjabat kepala daerah yang akan memimpin pada 2022-2024.
Tito menuturkan, pemilihan penjabat kepala daerah dilakukan secara berjenjang dan berdasarkan masukan dari berbagai pihak untuk mengantisipasi konflik kepentingan dengan kepala daerah. Jika penjabat bupati/wali kota yang diajukan gubernur dikhawatirkan menimbulkan konflik, pengisian jabatannya berasal dari pejabat eselon II Kemendagri.
”Kalau masalah calon (penjabat gubernur), selain dari Kemendagri, juga bisa mengambil dari instansi lain yang mumpuni dengan memperhatikan rekam jejak,” kata Tito.
Menurut dia, penjabat kepala daerah pada 2020 banyak mendapat apresiasi dari forum koordinasi pimpinan daerah serta pasangan calon yang berkontestasi dalam pilkada karena dianggap profesional. Sebab, mereka merupakan birokrat yang kompeten dan memahami ilmu pemerintahan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar menjamin, penjabat kepala daerah memiliki kewenangan penuh setara dengan kepala daerah definitif. Karena itu, tidak perlu dikhawatirkan jalannya pemerintahan dan pelayanan publik akan terganggu.
Kalaupun nanti penjabat yang dipilih tak berkinerja dengan baik, pemerintah bisa mengevaluasinya dan menggantinya dengan aparatur sipil negara lainnya. Terkait dengan seleksi penjabat kepala daerah, Bahtiar mengatakan, proses itu sudah dilakukan Kemendagri pada 2015, 2017, 2018, dan 2020. Selama ini, tidak pernah ada persoalan atau keluhan terkait penjabat kepala daerah itu.
”Pertanyaan kritisnya, kalau kita balik, ada enggak masalah dengan kawan yang menjadi penjabat (Pj), penjabat sementara (Pjs), dan pelaksana tugas (Plt) selama ini. Kan, tidak ada masalah,” ungkapnya.
Bahtiar menjamin seleksi terhadap penjabat kepala daerah akan dilakukan ketat. Selain memenuhi syarat umum yang diatur di dalam UU Pilkada, yakni pimpinan tinggi madya untuk penjabat gubernur atau setara eselon I dan pimpinan tinggi pratama untuk penjabat bupati/wali kota atau setara eselon II, mereka juga harus memiliki rekam jejak yang baik.
”Jadi, rekam jejak pejabat yang akan menjadi penjabat itu menjadi perhatian kami dalam penentuannya. Saya meyakini sampai hari ini belum ada catatan-catatan signifikan terkait hal itu,” ujarnya.
Adapun mekanismenya, tiga calon penjabat gubernur diusulkan mendagri kepada presiden. Selanjutnya, presiden melalui hak prerogratifnya yang menentukan satu dari tiga nama itu untuk menjadi penjabat gubernur. Bagi calon penjabat bupati/wali kota, tiga nama akan diusulkan gubernur kepada mendagri. Selanjutnya, mendagri yang memilih satu dari tiga nama itu.