Anggota DPR Usulkan DPR Dilibatkan dalam Pengisian Penjabat Kepala Daerah
Mengacu UU Pilkada, pengisian ratusan posisi penjabat kepala daerah mulai Mei 2022 tak perlu melibatkan DPR. Kewenangan sepenuhnya ada di pemerintah. Namun, anggota DPR, Guspardi Gaus, meminta DPR dilibatkan. Mengapa?
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus, meminta agar DPR dilibatkan dalam pengisian posisi penjabat kepala daerah untuk daerah yang kepala/wakil kepala daerahnya berakhir masa jabatannya mulai Mei 2022. Ia beralasan posisi pemimpin daerah merupakan jabatan politis yang biasanya dipilih rakyat. Karena itu, DPR sebagai wakil rakyat perlu dilibatkan dalam perekrutan penjabat kepala daerah.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, ada kebutuhan pengisian penjabat kepala daerah di 5 provinsi, 6 kota, dan 37 kabupaten pada Mei 2022. Jumlah itu bagian dari 101 kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya pada 2022. Sementara itu, pada 2023 terdapat 170 kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya.
Melihat kebutuhan penjabat kepala daerah yang sangat banyak itu, Guspardi mengingatkan, pengisian penjabat tersebut tidak boleh disamakan dengan situasi normal. Para penjabat kepala daerah tersebut akan menduduki jabatannya hingga dua tahun lamanya atau hingga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Nasional 2024 usai.
Apalagi, pada 2024 akan ada penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Para penjabat tersebut juga harus menangani pandemi Covid-19. ”Perlu ada terobosan untuk membentuk regulasi terhadap kekosongan ini. Jadi, tidak hanya mencomot orang untuk mengisi posisi ini. Sekarang perlu dilakukan terobosan yang belum ada di undang-undang,” kata Guspardi saat dihubungi di Jakarta, Jumat (28/1/2022).
Berdasarkan Pasal 201 Ayat (10) dan Ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, penjabat gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Sementara itu, penjabat bupati/wali kota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama. Penjabat gubernur diangkat Presiden setelah menerima usulan dari Menteri Dalam Negeri. Adapun penjabat bupati/wali kota diangkat Mendagri setelah menerima usulan dari gubernur. Tidak ada ketentuan pengisian penjabat kepala daerah melibatkan DPR.
Namun, menurut Guspardi, posisi pemimpin daerah merupakan jabatan politis yang biasanya dipillih rakyat. Karena itu, sebagai wakil rakyat, DPR perlu dilibatkan dalam merekrut penjabat kepala daerah.
Ia mengusulkan agar pemerintah menyiapkan tiga orang, lalu DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap mereka. Guspardi berdalih hal itu dibutuhkan agar roda organisasi pemerintahan tetap berjalan. Uji kepatutan dan kemampuan tersebut berfungsi untuk menjawab persoalan yang saat ini terjadi.
Selain itu, dalam pengisian penjabat kepala daerah harus mengacu pada undang-undang. Karena posisi penjabat kepala daerah ini merupakan jabatan politis, sebaiknya jangan berasal dari TNI atau Polri.
”Menurut undang-undang, (penjabat kepala daerah) diisi aparatur sipil negara yang punya jabatan setingkat direktur jenderal. Karena itu, jangan ditunjuk TNI atau Polri. Kalau TNI-Polri ingin maju, silakan sesuai undang-undang. Harus berhenti dari TNI-Polri,” kata Guspardi.
Ia menegaskan, para penjabat kepala daerah tersebut dapat diambil dari seluruh kementerian dan tidak terbatas dari Kemendagri. ”Perempuan atau laki-laki tidak masalah. Kalau dia terpilih, kenapa tidak?” ujar Guspardi.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Bidang Politik dan Media Kastorius Sinaga mengatakan, Kemendagri akan membentuk tim seleksi agar orang yang mengisi posisi penjabat kepala daerah tersebut sesuai dengan kebutuhan di daerah, baik dari kapasitas, kemampuan, maupun rekam jejaknya. Seleksi tersebut tidak sekadar untuk kepentingan administratif, tetapi juga kesesuaian kebutuhan pembangunan daerah sehingga ada kesinambungan. Namun, ia mengaku saat ini tidak mengetahui perkembangan proses pemilihan penjabat kepala daerah.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman N Suparman mengatakan, tantangan penjabat kepala daerah pada saat ini cukup unik. Sebab, mereka akan dihadapkan pada persoalan penanganan pandemi Covid-19 yang tidak tahu kapan akan selesai. Alhasil, mereka harus mampu menangani persoalan ekonomi dan perlindungan sosial akibat pandemi.
Selain itu, para penjabat kepala daerah juga akan dihadapkan pada Undang-Undang Cipta Kerja serta UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang sudah disahkan. Dua regulasi tersebut harus direspons oleh daerah dalam satu atau dua tahun ini. Karena itu, dibutuhkan penjabat kepala daerah yang kompeten dalam menangani persoalan tersebut.
Menurut Herman, sebaiknya pemerintah bersabar dan tidak perlu ada wacana penggunaan TNI-Polri dalam pengisian penjabat kepala daerah. Pemerintah tetap harus berpatokan pada undang-undang yang berlaku. Ia menegaskan, prinsip netralitas TNI-Polri tetap harus dipegang sehingga perlu mengutamakan orang sipil. Penggunaan TNI-Polri hanya perlu digunakan di wilayah yang mengalami konflik tinggi jika tidak ada non-TNI-Polri yang bisa menangani persoalan di wilayah tersebut.