Mempersiapkan Pemilu 2024 yang Sederhana dan Damai
KPU coba merancang ulang surat suara agar tak menggunakan lima surat suara untuk menghindari kesulitan pemilih dan penyelenggara pemilu. Penyederhanaan dilakukan dengan membuat surat suara jadi tiga atau dua lembar saja.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Pemungutan suara Pemilu 2024 telah disepakati akan digelar pada 14 Februari 2024, sedangkan pemungutan suara pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak nasional 2024 akan diadakan pada 27 November 2024. Pemilu 2024 ini diharapkan dapat berlangsung sederhana sehingga memudahkan penyelenggara pemilu dan pemilih. Pesta demokrasi ini juga diharapkan dapat berjalan dengan damai.
Belajar dari Pemilu 2019 yang rumit sehingga menyebabkan 897 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal akibat kelelahan dan sekitar 17 juta surat suara tidak sah untuk pemilihan anggota DPR, hal ini membuat sejumlah perbaikan diupayakan. Salah satunya, dengan penyederhanaan pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Arif Wibowo, mengatakan, DPR mendorong agar pemilu bisa diselenggarakan dengan lebih sederhana dari sisi praktik dan biaya, apalagi dilaksanakan pada masa pandemi Covid-19. Karena itu, Komisi II sepakat untuk menyelenggarakan pemilu tidak melewati masa bulan puasa dan Lebaran yang dinilai akan membuat pemilu menjadi mahal.
Ia mengungkapkan, DPR menolak opsi tanggal pemungutan suara pada 15 Mei yang diusulkan pemerintah. Sebab, pemerintah memberikan pertimbangan kemungkinan jeda transisi agar tidak terjadi keguncangan dan kegaduhan politik.
”Kalau pemilu pada bulan Mei, kita akan memantik satu soal tentang pencalonan kepala daerah karena pada 2024 juga akan diselenggarakan pilkada serentak. Mulai dari urusan pencalonan, administrasinya, kemudian kampanye kepala daerah. Kira-kira kompleksitasnya tinggi, kerumitan tinggi, tumpang tindih, dan ini akan menjadi masalah di dalam manajemen,” kata Arif dalam bincang-bincang Satu Meja The Forum, yang ditayangkan di Kompas TV, Rabu (26/1/2022).
Acara bincang-bincang ini dipandu oleh Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Tri Agung Kristanto. Selain Arif, hadir sebagai narasumber di acara ini anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Evi Novida Ginting Manik; Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi; serta Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati.
Lebih lanjut Arif menegaskan, DPR selalu berusaha membuat pemilu lebih sederhana sehingga lebih mudah melayani pemilih dengan biaya yang murah. Penyederhanaan bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya penggunaan teknologi informasi dalam rekapitulasi.
Ia juga berharap dilakukan mitigasi dalam menghadapi masalah di lapangan. Misalnya, banyaknya anggota KPPS yang meninggal pada Pemilu 2019 akibat beban kerja yang tinggi dan persoalan manajemen teknis kepemiluan yang tak diantisipasi sejak jauh hari. Hal ini harus diperhatikan penyelenggara pemilu.
DPR selalu berusaha membuat pemilu lebih sederhana sehingga lebih mudah melayani pemilih dengan biaya yang murah. Penyederhanaan bisa dilakukan dengan berbagai macam cara.
Evi Novida Ginting Manik mengatakan, KPU prihatin dengan apa yang terjadi pada Pemilu 2019. Karena itu, KPU mempersiapkan pemanfaatan teknologi seperti penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap). Pada Pilkada 2020, KPU mulai memperkenalkan Sirekap untuk meringankan kerja KPPS dan mengurangi manipulasi dalam rekapitulasi.
”Di Pemilihan Kepala Daerah 2020 bisa berjalan meskipun ada beberapa kekurangan yang perlu dikoreksi, diperbaiki, dan dikembangkan teknologinya. Mudah-mudahan di 2024, (Sirekap) bisa menjadi andalan sebagai alat bantu untuk meringankan tugas penyelenggara pemilu,” kata Evi.
KPU juga coba melakukan perancangan ulang terhadap surat suara supaya tidak menggunakan lima surat suara untuk menghindari kesulitan yang dialami pemilih dan penyelenggara pemilu. Evi mengungkapkan, KPU menyederhanakan surat suara menjadi tiga atau dua lembar surat suara saja. Pemilu presiden, DPR, dan DPD digabungkan dalam satu surat suara. Satu lembar surat suara lagi digunakan untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Dari simulasi yang dilakukan beberapa kali oleh KPU, lanjut Evi, penyederhanaan ini membuat surat suara tidak sah semakin berkurang. Namun, masih ada kebingungan dalam menggunakan hak pilih. Sebab, baru pertama kali ada tiga pemilu di dalam satu surat suara dan satu surat lainnya berisi dua pemilu.
Menurut Evi, penyederhanaan surat suara ini membuat pemilih tak memakan waktu lama menggunakan hak pilihnya. Implikasinya semakin efisien karena tidak perlu membuat lima lembar surat suara dan lima kotak surat suara.
Pemilu damai
Burhanuddin Muhtadi optimistis dengan penyelenggaraan Pemilu 2024. Sebab, selama ini penyelenggara pemilu dan masyarakat bisa melaksanakan pemilu dengan kompleksitas administrasi elektoral yang ketat. Meskipun demikian, perlu diperbaiki karena politik uang dan politik identitas masih mewarnai setiap pemilu.
Menurut Burhanuddin, pada tataran ideal, semua partai politik dan pemangku kepentingan memiliki kepentingan yang sama untuk menyelenggarakan pemilu yang sederhana. Namun, ketika diturunkan pada tataran praktis, banyak kepentingan yang saling bertabrakan.
Ia berharap, penyelenggaraan Pemilu 2024 juga bisa berlangsung damai. Tidak hanya dalam gimik politik, tetapi harus bisa direalisasikan di lapangan.
”Selama ini kita banyak dipenuhi dengan gimik politik, tetapi faktanya gimik politik itu tidak lantas bisa kita realisasikan di lapangan. Misalnya, ritual pemilu damai yang digelar KPU kepada para kontestan. Sering kali (hal itu) baik di atas kertas, tetapi realitas di lapangan tidak serta-merta mengikuti,” ucap Burhanuddin.
Pada tataran ideal, semua partai politik dan pemangku kepentingan memiliki kepentingan yang sama untuk menyelenggarakan pemilu yang sederhana. Namun, ketika diturunkan pada tataran praktis, banyak kepentingan yang saling bertabrakan.
Menurut Khoirunnisa Nur Agustyati, penggunaan teknologi harus menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan pada pemilu. Permasalahan terbesar dalam pemilu di Indonesia bukan pada pemungutan suara, melainkan pada proses rekapitulasi yang berjenjang di tempat pemungutan suara, kemudian di tingkat kelurahan atau desa, hingga ke tingkat pusat. Proses penghitungan suara manual berpotensi manipulasi suara. Karena itu, dibutuhkan instrumen teknologi elektronik untuk merekap.
Ia mengingatkan, kompleksitas pada Pemilu 2024 akan lebih besar dibandingkan sebelumnya karena pemilu nasional dan daerah dilaksanakan pada tahun yang sama. Beberapa persoalan harus diantisipasi, seperti kemungkinan pemilihan presiden dua putaran dan perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Berkaca dari Pemilu 2019 yang telah memakan banyak korban, hal itu perlu diantisipasi dengan manajemen risiko ketika menyelenggarakan pemilu dan pilkada. ”Hasil riset UGM (Universitas Gadjah Mada), salah satu hal yang paling banyak menyebabkan korban jiwa, ya, karena faktor tidak ada manajemen risiko ketika menyelenggarakan pemilu,” ucap Khoirunnisa.