Perhatikan Keterwakilan Perempuan dalam Menetapkan Penjabat Kepala Daerah
Kepala dan wakil kepala daerah di 101 daerah yang menggelar pilkada pada 2017 akan mengakhiri masa jabatannya tahun ini. Pemerintah diminta memperhatikan keterwakilan perempuan dalam menetapkan penjabat kepala daerah.
Oleh
IQBAL BASYARI, SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diharapkan memperhatikan keterwakilan perempuan dalam menyiapkan calon penjabat untuk 101 daerah yang kepala daerah bersama wakil kepala daerahnya akan mengakhiri masa jabatan tahun ini. Pemerintah juga diminta meminimalkan keterlibatan TNI-Polri sebagai penjabat atau menjadikannya sebagai pilihan terakhir. Atau, setidak-tidaknya TNI-Polri diterjunkan sebagai penjabat untuk daerah-daerah yang mengalami gangguan stabilitas keamanan sehingga memerlukan fungsi dari pihak-pihak khusus.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita mengungkapkan hal tersebut, Kamis (27/1/2022). Nurlia mengatakan, masa jabatan kepala dan wakil kepala daerah di 101 daerah yang terpilih pada Pilkada 2017 akan mulai berakhir pada Mei mendatang. Pemerintah diharapkan sudah mempersiapkan kualifikasi inklusivitas para calon penjabat yang sesuai dan mumpuni. ”Saya kira banyak ASN yang mumpuni,” ujarnya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Mengenai pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional pada 2024, hal tersebut saat ini tengah digugat konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi. Pemohon, di antaranya calon bupati Intan Jaya pada Pilkada 2017, Bartolomeus Mirip, meminta MK untuk menyatakan bahwa pilkada harus digelar secara periodik lima tahunan. Untuk daerah yang menggelar pilkada pada 2017, ia berharap pilkada selanjutnya dapat digelar tahun ini.
Seperti diketahui, Undang-Undang Pilkada mengatur bahwa pilkada dilaksanakan serentak nasional pada 2024. Bagi kepala dan wakil kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2020, masa jabatannya dipersingkat menjadi empat tahun.
Penelitian yang dilakukan selama sembilan hari pada bulan September 2021 tersebut menyasar pemilih yang menggunakan hak suaranya dengan hadir di tempat pemungutan suara (TPS). Mayoritas responden (68,5) tinggal di Pulau Jawa, sedangkan 31,5 persen berada di luar Pulau Jawa.
Saat dimintai pendapat mengenai pelaksanaan protokol kesehatan selama pemilihan berlangsung, sebanyak 95,5 persen responden mengatakan protokol kesehatan sudah dilaksanakan di TPS. Hanya 4,5 persen responden yang mengungkap bahwa TPS di tempat responden memilih tidak mematuhi protokol kesehatan. Artinya, tingkat kepatuhan petugas TPS dalam menerapkan protokol kesehatan hampir 100 persen.
Dalam penelitian JPPR juga terungkap, masyarakat di luar Pulau Jawa cenderung lebih puas dengan penerapan protokol kesehatan di TPS. Hal ini disebabkan tingkat penyebaran Covid-19 di wilayah luar Pulau Jawa lebih rendah daripada di Jawa. Sementara jika ditinjau dari segi usia, semakin tua usia responden cenderung menurun tingkat kepuasannya dalam isu kesehatan ini.
Namun, peneliti JPPR, Aji Pangestu, mengungkapkan, tingkat pemahaman masyarakat terhadap regulasi kesehatan masih rendah, sekitar 74 persen. Masyarakat, menurut dia, lebih melihat pada aspek penerapannya di lapangan (TPS). ”Regulasi atau perubahan regulasi prokes tidak terlalu diperhatikan,” katanya.
Terkait dengan hal tersebut, Aji memberikan catatan terhadap penyelenggaraan pilkada dan pemilu serentak 2024. Mengingat waktu penyelenggaraan yang berdekatan, ia mengungkap tentang adanya impitan tahapan di antara kedua pemilihan tersebut. Dikhawatirkan, pemilih tidak begitu memahami regulasi yang ada.
Tahapan pemilu
Oleh karena itu, menurut Nurlia, KPU perlu segera mengintensifkan koordinasi antarpenyelenggara pemilihan, termasuk menggelar simulasi dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Hal itu penting agar perundang-undangan dapat diimplementasikan secara tepat dan efektif dalam kesiapan pelaksanaan tiap tahapan.
Ada sejumlah tahapan pemilu yang akan dilangsungkan pada tahun ini, yaitu pendaftaran partai politik peserta pemilu hingga penetapannya akan digelar sekitar Agustus hingga Desember. KPU diminta memperhatikan kondisi pandemi apakah masih berlangsung hingga bulan-bulan tersebut ataukah tidak.
Untuk mengantisipasi hal itu, KPU didorong untuk melaksanakan tahapan tersebut, mulai dari proses pendaftaran hingga verifikasi faktual untuk partai-partai baru, dilakukan secara digital atau online dan memaksimalkan penggunaan teknologi informasi. Alternatif lainnya, proses tersebut dilakukan secara hibrida agar lebih aman.
Terkait penetapan tahapan pemilu, anggota KPU, Pramono Ubaid Tantowi, menanggapi usulan memperpendek masa kampanye Pemilu 2024 dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Komisi II DPR dalam rapat dengar pendapat lalu. Menurut dia, KPU akan mempertimbangkannya dengan saksama.
Dia menjelaskan, Undang-Undang Pemilu tidak mengatur berapa lama masa kampanye secara spesifik. Hanya disebutkan bahwa masa kampanye dimulai tiga hari setelah penetapan calon hingga tiga hari sebelum hari pemungutan suara. Tidak ada patokan berapa lama masa kampanye dilakukan. Pada Pemilu 2019, masa kampanye berlangsung selama 6 bulan 3 minggu. Pada Pemilu 2014, masa kampanye berlangsung selama 15 bulan sebab kampanye diperbolehkan sejak penetapan partai politik peserta pemilu.
”Jadi, 120 hari masa kampanye yang dirancang KPU saat ini telah berkurang banyak dari pemilu-pemilu sebelumnya,” ujarnya.
Selain itu, penetapan masa kampanye sangat terkait dengan dua tahapan lain, yaitu sengketa pencalonan di Bawaslu dan pengadilan tata usaha negara (PTUN) serta masalah lelang, produksi, dan distribusi logistik pemilu. Berdasarkan simulasi KPU, waktu untuk sengketa dan logistik minimal memerlukan waktu 164 hari.
”Jadi, rancangan 120 hari (masa kampanye) dalam draf PKPU (peraturan KPU) tahapan itu sudah mengharuskan pemadatan proses penyelesaian sengketa serta lelang, produksi, dan distribusi logistik pemilu,” kata Pramono.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa menyoroti tentang anggaran serta kerumitan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang berbarengan dengan pelaksanaan pilkada pada tahun yang sama. Menurut dia, penyelenggara pemilihan harus benar-benar menyimulasikannya secara detail mengingat pelaksanaan pilkada tidak dapat diotak-atik. Pihaknya memahami beban penyelenggara yang sedemikian berat dan juga tingkat kerumitan tinggi karena hal tersebut.