95 Persen Laporan Harta Kekayaan Para Pejabat Tidak Akurat
KPK temukan 95 persen dari 1.665 laporan harta kekayaan penyelenggara negara periode 2018-2020 tak akurat. Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, banyak yang isi LHKPN asal-asalan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan 95 persen dari 1.665 laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN periode 2018-2020 tidak akurat. DPR menjadi lembaga yang paling tidak patuh dalam penyampaian LHKPN tersebut.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, dalam mengisi LHKPN, para pejabat seharusnya tidak boleh asal-asalan. Sebab, KPK selalu melakukan pengujian terhadap LHKPN yang disampaikan penyelenggara negara.
Ia mengungkapkan, sejak 2018 sampai dengan 2020, dari 1.665 penyelenggara negara yang diperiksa, terdapat 95 persen LHKPN yang tidak akurat. ”Banyak harta yang tidak dilaporkan, seperti tanah, bangunan, rekening bank, maupun investasi lain,” kata Pahala dalam webinar bertajuk ”Apa Susahnya Lapor LHKPN Tepat Waktu dan Akurat”, yang diselenggarakan oleh KPK, Selasa (7/9/2021).
Hadir juga sebagai pembicara Ketua KPK Firli Bahuri, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Ketua MPR dan Anggota DPR Bambang Soesatyo, serta peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Lucius Karus.
Banyak harta yang tidak dilaporkan, seperti tanah, bangunan, rekening bank, maupun investasi lain. (Pahala Nainggolan)
Pahala menjelaskan, pemeriksaan yang dilakukan terhadap LHKPN menggunakan sistem informasi yang dibangun bersama seluruh bank, asuransi, bursa, Badan Pertanahan Nasional, dan sebagainya. KPK dapat melihat data secara lengkap melalui sistem tersebut. Bahkan, KPK dapat mengakses transaksi yang terjadi.
Ia menegaskan, KPK menjaga kerahasiaan data tersebut. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menunjang proses penindakan KPK.
Selain persoalan keakuratan data, kepatuhan dalam penyampaian LHKPN juga belum 100 persen. Berdasarkan data kepatuhan LHKPN 2020 per 31 Agustus 2021, tingkat kepatuhan nasional sebesar 96,7 persen dengan rincian eksekutif 96,81 persen; legislatif 90,54 persen; yudikatif 98,52 persen; dan BUMN/BUMD 98,38 persen.
Pahala Nainggolan mengatakan, pada 2019 penyampaian LHKPN kelompok legislatif bisa mencapai 100 persen. Setelah pemilihan legislatif, jumlahnya menurun pada pembaruan pertama saja.
Tingkat kepatuhan LHKPN pada 2020 MPR juga 90 persen, DPR 55 persen, DPD 88 persen, DPRD Provinsi 86 persen, dan DPRD kabupaten/kota 91 persen. Adapun fraksi di DPR yang tingkat kepatuhannya 50 persen atau di bawahnya, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pahala mengatakan, kepatuhan LHKPN hanya menyangkut masalah komitmen. Sebab, selama ini tidak pernah ada masalah teknis. Hal tersebut dapat terlihat pada kepatuhan LHKPN jelang pemilihan legislatif 2019 yang bisa mencapai 100 persen. Padahal, saat itu ada batas waktu yang sangat mepet dalam menyampaikan LHKPN.
Mengendalikan diri
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, penyelenggara negara wajib memberi laporan harta kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat.
”Kami sungguh-sungguh mengajak rekan-rekan penyelenggara negara untuk membuat dan melaporkan harta kekayaannya karena tujuannya mengendalikan diri supaya tidak melakukan praktik-praktik korupsi,” kata Firli.
Kami sungguh-sungguh mengajak rekan-rekan penyelenggara negara untuk membuat dan melaporkan harta kekayaannya karena tujuannya mengendalikan diri supaya tidak melakukan praktik-praktik korupsi. (Ketua KPK Filri Bahuri)
Selain mencegah korupsi, kata Firli, LHKPN juga bertujuan sebagai pertanggungjawaban kepada publik. Ia pun mengungkapkan, banyak penyelenggara negara yang menyampaikan LHKPN hanya sebelum dan setelah menjabat. Ia berharap, para penyelenggara negara juga menyampaikan LHKPN selama menjabat seperti ketentuan pada Pasal 5 Ayat (2) UU No 28/1999.
Bambang Soesatyo mengungkapkan, pihaknya sudah mendorong anggotanya untuk patuh dan taat dalam menyampaikan LHKPN. Namun, ia tidak bisa langsung memerintahkan ke anggotanya. Bambang berharap, KPK melakukan pembinaan kepada sembilan ketua umum partai politik.
Bambang mengakui, penyampaian LHKPN tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Sebab, data yang disampaikan sesuai dengan laporan pajak.
Menurut Bambang, perlu dipikirkan cara mendorong kesadaran untuk menyampaikan LHKPN. Salah satunya, melalui tindakan, peringatan, atau aturan yang membuat penyelenggara negara patuh dalam menyampaikan LHKPN.
Banyak keistimewaaan
Penyelenggara negara memiliki banyak keisitmewaan atau privilese sehingga mereka harus taat aturan, tata usaha, dan pertanggungjawaban sebagai pejabat publik. (Ganjar Pranowo)
Ganjar Pranowo mengatakan, penyelenggara negara memiliki banyak keisitmewaan atau privilese sehingga mereka harus taat aturan, tata usaha, dan pertanggungjawaban sebagai pejabat publik. Menurut Ganjar, penyampaian LHKPN sangat mudah, hanya ada kemauan saja.
Erick Thohir menuturkan, tidak mudah menjadi pejabat publik karena godaan selalu datang setiap hari. Ia menegaskan, pejabat publik harus menjadi contoh. Apalagi, di era keterbukaan dan transparansi, pejabat publik harus terbuka dalam laporan secara pribadi.
Menurut Lucius Karus, melihat ketidakakuratan dari LHKPN yang disampaikan penyelenggara negara, ia menduga ada unsur akal-akalan agar tampak patuh dan seolah-olah bersih. Laporan tersebut dibuat justru untuk menyembunyikan harta yang kotor.
Ia mengatakan, KPK perlu mengklarifikasi LHKPN yang disampaikan dan tidak perlu langsung melakukan penyelidikan. Hal tersebut menjadi bagian dari proses pengecekan oleh KPK untuk memastikan akurasi data.
”Jika ada temuan ketidakcocokan atau kejanggalan, mungkin langkah awal ya membenarkan dulu laporan yang sudah diserahkan ke KPK. Penyelidikan itu jika harta yang dilaporkan bermasalah. Harus dipastikan, apakah ketidakakuratan laporan itu sesuatu yang disengaja atau karena alasan teknis saja,” kata Lucius.
Menurut Lucius, LHKPN harus menjadi rujukan KPK untuk mengecek kebersihan data yang dimiliki seorang pejabat. LHKPN jangan hanya sekadar sebagai formalitas. LHKPN harus bisa menjadi pintu masuk untuk menguji kejujuran pejabat negara. LHKPN harus bisa dipertanggungjawabkan sehingga perlu penguatan dari sisi regulasi.