Usai Terpilih, Anggota DPR Tak Rutin Laporkan Harta Kekayaannya
Data KPK hingga 30 Juni 2021, anggota DPR dan DPRD mulai tak rutin melapor harta kekayaan setelah terpilih pada Pemilihan Legislatif 2019. KPK pun mengingatkan komitmen para anggota sebelum terpilih dulu.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggota Dewan pusat dan daerah mulai tak rutin melapor harta kekayaan setelah terpilih pada Pemilihan Legislatif 2019. Hal ini merefleksikan pelaporan harta kekayaan hanya dianggap sebagai pemenuhan tuntutan saat maju sebagai calon anggota legislatif. Lebih dari itu, komitmen anggota Dewan pada pemberantasan korupsi pun patut dipertanyakan.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi hingga 30 Juni 2021, KPK telah menerima 363.638 laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dari total 377.573 wajib lapor atau sekitar 96,31 persen. Adapun tenggat waktu pelaporan LHKPN 2020 sampai pada Maret 2021.
Untuk bidang legislatif, laporan yang diterima KPK adalah 17.923 LHKPN. Artinya, tingkat kepatuhan anggota DPR dan DPRD baru mencapai 89,27 persen. Jika ditelusuri lebih jauh lagi, tingkat kepatuhan melapor LHKPN oleh anggota DPR sekitar 50 persen dan anggota DPRD sekitar 90 persen.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan dalam jumpa pers pada Rabu (18/8/2021) mengatakan, tingkat kepatuhan anggota Dewan pada tahun lalu mencapai 100 persen. Saat itu, Komisi Pemilihan Umum mewajibkan para calon anggota legislatif yang ingin maju pada pemilihan legislatif harus melaporkan LHKPN mereka. Ia menyayangkan, tingkat kepatuhan mereka kini malah merosot.
Ada berita buruknya, untuk legislatif, (pelaporan LHKPN) ternyata menurun drastis. (Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan)
”Ada berita buruknya, untuk legislatif, (pelaporan LHKPN) ternyata menurun drastis,” ujar Pahala.
Jika dibandingkan dengan bidang lain, tingkat kepatuhan melapor LHKPN di bidang legislatif jauh tertinggal. Misalnya, eksekutif (96,44 persen), yudikatif (98,46 persen), serta BUMN/BUMD(98,15 persen).
Pahala meminta agar media ikut mengingatkan para anggota Dewan yang tidak patuh melapor harta kekayaannya tersebut. Sebab, ada kemungkinan anggota Dewan lupa bahwa tenggat waktu pelaporan sudah lewat.
”Diramaikan dong, siapa yang belum (melapor LHKPN) yang biasa bilang komitmen-komitmen pencegahan, pemberantasan korupsi, mungkin lupa belum menyampaikan update. Kan, update gampang saja, bukan bikin baru,” kata Pahala.
Menurut Pahala, jika sebelumnya para anggota Dewan telah melapor, sebenarnya tidak membutuhkan waktu lama untuk memperbarui harta kekayaannya. Lagi pula, pelaporan LHKPN saat ini telah dipermudah dengan fitur LHKPN berbasis elektronik (e-LHKPN) sehingga mereka dapat mengisi harta kekayaannya secara daring.
”Jadi, kalau dibilang secara teknis mudah, mudah. Kalau belum menyampaikan (LHKPN), mungkin kelupaan atau belum ditegur media,” ucap Pahala.
Komitmen dipertanyakan
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, kepatuhan melapor LHKPN oleh anggota Dewan ini berarti hanya sebatas pemenuhan tuntutan karena pada tahun lalu mereka ingin maju sebagai calon legislatif. Padahal, komitmen pemberantasan korupsi mereka sangat lemah.
”Jadi, kepatuhan tahun lalu itu bukan hasil dari kesadaran akan pentingnya pelaporan LHKPN, tetapi lebih karena tuntutan lain yang mengharuskan anggota Dewan melaporkan hartanya,” kata Lucius.
Rendahnya komitmen DPR pada pemberantasan korupsi itu semakin memperkuat rendahnya kepercayaan publik kepada DPR. Kalau untuk perkara kecil melaporkan harta sendiri saja mereka abai, bagaimana berharap kepada mereka untuk hal-hal besar tentang pemberantasan korupsi. (Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus)
Pemberantasan korupsi, lanjut Lucius, bukan hanya soal narasi-narasi besar, melainkan contoh-contoh kecil, seperti patuh melaporkan LHKPN. Ini semestinya menjadi indikator seberapa kuat DPR mendukung pemberantasan korupsi.
”Rendahnya komitmen DPR pada pemberantasan korupsi itu semakin memperkuat rendahnya kepercayaan publik pada DPR. Kalau untuk perkara kecil melaporkan harta sendiri saja mereka abai, bagaimana berharap kepada mereka untuk hal-hal besar tentang pemberantasan korupsi,” ujar Lucius.
Kecenderungan DPR belakangan ini yang semakin tertutup dan minim partisipasi publik, menurut Lucius, adalah kondisi ideal bagi terpeliharanya budaya korupsi itu. Hal itu, misalnya, tecermin lewat banyaknya kebijakan yang dibuat secara tertutup dan serba cepat.
”Ini menjadi gambaran sempurna bagi hidupnya semangat korupsi itu,” kata Lucius.
Semakin parah, lanjut Lucius, rendahnya komitmen anggota legislatif itu masih dibarengi dengan munculnya sejumlah kasus suap dan korupsi yang melibatkan mereka. Ini tentu membuat publik semakin sulit percaya pada lembaga legislatif.