Segenap indikator dinilai tidak mendukung urgensi impor 1 juta ton beras. Keputusan impor mesti memiliki dasar kuat karena akan berdampak langsung ke pendapatan belasan juta rumah tangga petani padi di Indonesia.
Oleh
M Paschalia Judith J
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI menilai ada potensi malaadministrasi terkait keputusan pemerintah mengimpor 1 juta ton beras tahun ini. Sebab, segenap indikator tidak mendukung urgensi impor, khususnya dari sisi produksi dan harga beras di dalam negeri.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, dalam telekonferensi pers, Rabu (24/3/2021), menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional sepanjang Januari-April 2021 diperkirakan 14,54 juta ton, naik 3,08 juta ton atau 26,84 persen dibandingkan dengan Januari-April 2020 yang 11,46 juta ton. Potensi peningkatan itu seiring meningkatnya potensi luas panen dari 3,84 juta hektar menjadi 4,86 juta hektar pada periode yang sama.
Situasi stok beras yang tersebar di pedagang, rumah tangga, serta hotel, restoran, dan kafe juga relatif aman. Hal itu tecermin dalam situasi harga beras yang relatif stabil selama kurun tahun 2018-2020. Oleh karena itu, Yeka mengatakan, Ombudsman RI menduga ada potensi malaadministrasi dalam pengambilan keputusan pemerintah mengimpor 1 juta ton beras.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI mendefinisikan malaadministrasi sebagai perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh penyelenggara negara dan pemerintahan serta menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan individu.
”Dalam impor beras ini, bentuk malaadministrasi dapat berupa penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur,” ujar Yeka.
Paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam rapat kerja Kementerian Perdagangan 2021, Kamis (4/3/2021), mengonfirmasi rencana impor itu. Pemerintah memutuskan akan mengimpor 500.000 ton beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP) dan 500.000 ton untuk kebutuhan Perum Bulog. Tambahan itu diharapkan memperkuat cadangan beras (iron stock) pemerintah yang ditargetkan setidaknya 1-1,5 juta ton.
Tambahan beras dianggap perlu karena stok yang dikuasai Perum Bulog dinilai kurang. Dalam rapat dengan Komisi VI DPR, Senin (22/3/2021), Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyebutkan, cadangan beras Perum Bulog dapat berada di bawah 500.000 ton tahun ini.
Saya berjanji tidak ada impor saat panen raya. (Muhammad Lutfi)
”(Stok) ini yang saya takutkan karena jumlah 500.000 ton (beras) dapat membuat pemerintah dipojokkan oleh pedagang dan spekulan. Selain itu, penyerapan (Bulog) akhir-akhir ini tidak berjalan dengan baik dan membuat stok rendah. Meski demikian, saya berjanji tidak ada impor saat panen raya,” katanya (Kompas, 24/3/2021).
Yeka menambahkan, pihaknya menyoroti mekanisme dalam rapat koordinasi terbatas yang dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam memutuskan kebijakan impor beras. Langkah importasi semestinya diputuskan dengan basis data dan pertimbangan yang kuat. Sebab, keputusan mengimpor beras berimbas langsung setidaknya terhadap belasan juta rumah tangga petani di Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari menanam padi.
Terkait itu, Ombudsman RI meminta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menggelar rapat untuk memutuskan penundaan impor. Keputusan impor beras mesti dibuat setidaknya menunggu perkembangan panen dan pengadaan dalam negeri oleh Perum Bulog.
Ombudsman juga meminta Perum Bulog mengoptimalkan pengadaan beras dari produksi dalam negeri untuk mengerem penurunan harga gabah di tingkat petani. Puncak panen raya pada Maret-April 2021 menjadi momentum untuk menyerap sebanyak-banyaknya produksi dalam negeri. Dalam sepekan ke depan, Ombudsman akan mengumpulkan informasi dari institusi terkait dan mengecek ke lapangan untuk memperkuat data yang ada.
Saat dihubungi, Rabu (24/3/2021), Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi belum mau menanggapi penilaian Ombudsman RI yang menduga ada potensi malaadministrasi dalam keputusan impor beras. ”Sudah jelas (perumusan impor beras) seperti yang saya sampaikan di rapat DPR kemarin,” ujarnya.
Dalam rapat Komisi VI DPR, Senin (22/3/2021), Lutfi menyatakan, ada notulensi rapat di tingkat kabinet yang menyebutkan, Perum Bulog dapat melakukan pengadaan (beras) dari impor sebanyak 500.000 ton. Notulensi itu sudah ada sejak sebelum dirinya menjabat sebagai menteri perdagangan.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal menyambut rencana penelusuran oleh Ombudsman terkait rencana impor. Perum Bulog siap terbuka dan bekerja sama.
Penolakan petani
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengapresiasi langkah Ombudsman menelusuri keputusan impor beras. Sebab, keputusan itu berpotensi merugikan negara dan khususnya petani.
”Saya berharap penelusuran ini bermuara pada pembatalan keputusan impor beras dan transparansi pertimbangan keputusan impor beras,” katanya saat dihubungi.
Sementara itu, penolakan terkait rencana impor beras terus disuarakan oleh sejumlah kalangan di daerah, terutama petani. Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Lampung, misalnya, menolak rencana impor karena dinilai menekan harga di tingkat petani. Apalagi harga jual gabah mulai anjlok dan sulit diserap oleh penggilingan.
Menurut Wakil Ketua I KTNA Lampung M Amin Syamsudin, saat ini sebagian besar wilayah di Indonesia tengah memasuki masa panen raya. Petani saat ini terpuruk karena harga jual gabahnya terus turun. Di Lampung, harga jual gabah kering panen (GKP) di tingkat petani berkisar Rp 3.700-Rp 4.200 per kilogram.
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Kantor Perwakilan Perum Bulog Divisi Regional Papua dan Papua Barat Muhammad Alexander, Perum Bulog Papua dan Papua Barat belum membutuhkan tambahan beras impor saat ini. Stok beras di dua provinsi ini 30.000 ton dan cukup untuk kebutuhan selama lima bulan. Selain stok yang cukup, Bulog juga akan menyerap beras hasil panen di Kabupaten Merauke.
Di Cirebon, Jawa Barat, penyerapan beras terkendala menurunnya kualitas gabah dan tempat penyimpanan yang terbatas. (VIO/IKI/FLO/NIK)