Dengan kinerja produksi padi yang relatif baik dua tahun terakhir, lalu berlanjut di awal tahun ini, Indonesia semestinya mampu mencukupi kebutuhan beras penduduknya. Namun, kenapa pemerintah memutuskan impor 1 juta ton?
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Produksi padi nasional tahun lalu cukup menggembirakan. Meski luas panennya 0,02 juta hektar lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2019, produksi beras naik dari 31,31 juta ton (2019) menjadi 31,33 juta ton (2020). Artinya, produktivitas naik. Angka produksi itu juga lebih tinggi dari konsumsi beras nasional tahun lalu yang diperkirakan 29,3 juta ton.
Kabar baik itu diikuti kondisi curah hujan pada akhir 2020 yang kondusif untuk memulai tanam. Dampaknya, ada potensi peningkatan luas panen di semester I-2021. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, luas panen padi selama Januari-April 2021 mencapai 4,86 juta hektar, lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang 3,84 juta hektar.
Produksi padi/beras pun berpotensi lebih tinggi. Sepanjang Januari-April 2021, produksi beras ditaksir 14,54 juta ton, naik 26,84 persen dibandingkan dengan Januari-April 2020 yang tercatat 11,46 juta ton. Situasi harga di pasar sejalan dengan data produksi gabah dan beras nasional yang mengindikasikan pasokan mencukupi kebutuhan.
Akan tetapi, di tengah kinerja positif itu, pemerintah memutuskan impor 1 juta ton beras tahun ini. Paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam rapat kerja Kementerian Perdagangan 2021, Kamis (4/3/2021), mengonfirmasi rencana impor yang sudah berembus sejak sepekan sebelumnya.
Pemerintah memutuskan akan mengimpor 500.000 ton beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP) dan 500.000 ton untuk kebutuhan Perum Bulog. Tambahan itu diharapkan memperkuat cadangan beras (iron stock) pemerintah yang ditargetkan setidaknya 1-1,5 juta ton.
Waktu untuk merealisasikannya memang belum jelas. Namun, kabar itu segera menyebar luas, biasanya berdampak ke psikologi pasar. Tengkulak, pengepul, atau pengusaha beras dengan senang hati menggunakannya sebagai ”senjata” menekan harga gabah di tingkat petani.
Tanpa kabar impor pun harga gabah petani sudah tertekan. Sepanjang September-November 2020, harga gabah menyimpang dari pola tahunan, setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Harga gabah biasanya naik pada periode paceklik itu. Namun, tahun lalu justru sebaliknya. Dua bulan terakhir, seiring meluasnya panen, harga makin tertekan lagi.
Tak biasa
Ada sejumlah hal yang tak biasa pada keputusan kali ini. Pertama, impor diputuskan di awal tahun, bahkan saat petani tengah memasuki masa puncak panen raya musim tanam pertama 2020/2021. Jika merunut pemberitaan selama ini, keputusan impor beras biasanya diambil pada periode Juli-September, yakni setelah pemerintah mendapatkan perkiraan yang kokoh tentang produksi padi tahun berjalan.
Kedua, keputusan impor diambil meski produksi nasional relatif baik, bahkan mencukupi kebutuhan konsumsi setahun dan sisa alias surplus. Dengan kebutuhan beras nasional mencapai 29,3 juta ton setahun, semestinya ada sisa dari produksi tahun 2019 dan 2020 yang masing-masing lebih dari 31 juta ton, belum termasuk limpahan stok dari impor dan produksi tahun-tahun sebelumnya.
Ketiga, pemerintah memutuskan impor untuk memperkuat cadangan pangan (iron stock). Pertanyaannya, kenapa tidak membeli hasil panen petani? Bukankah pemerintah sedang gencar mengampanyekan gerakan membeli produksi dalam negeri? Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memang tidak mensyaratkan impor pangan mesti menimbang kecukupan produksi dalam negeri. Namun, apakah benar regulasi baru ini menjadi pertimbangan?
Situasi kali ini jelas beda dengan awal tahun 2016 dan 2018. Ketika itu, pemerintah gamang untuk memutuskan impor. Sebab, sesuai data produksi, stok beras semestinya cukup. Surplusnya bahkan mencapai jutaan ton. Bayangkan, jika tahun lalu produksi padi nasional 54,65 juta ton gabah kering giling (GKG), produksi tahun 2017 diklaim mencapai 81,3 juta ton GKG. Namun, harga beras di pasar melonjak tajam, pertanda suplainya kurang di awal 2016 dan 2018.
Pemerintah menyadari adanya problem akut data produksi. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan moratorium data sembari menyusun metode penghitungan baru yang lebih akurat. Sejak 2018, penghitungan produksi menggunakan metode baru (kerangka sampel area) yang melibatkan BPS, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Hasilnya, data produksi padi lebih tepercaya, setidaknya sejalan dengan situasi harga di pasar.
Dengan segenap situasi itu, kiranya pemerintah perlu menimbang lagi keputusan mengimpor 1 juta ton beras tahun ini. Setidaknya, volume dan waktu realisasinya mesti dihitung lebih cermat agar tidak justru membunuh usaha petani di dalam negeri. Jika impor mesti segera, pemerintah mesti menjawab pertanyaan ini kepada publik: ”Surplus, tapi kok impor?”