Ketika mayoritas sektor ”tumbang”, pertanian tetap tumbuh dan menjadi bantalan bagi perekonomian nasional tahun lalu. Tak berlebihan rasanya jika kita berterima kasih kepada mereka yang telah berjuang menyediakan pangan.
Oleh
Mukhamad Kurniawan/M Paschalia Judith J
·5 menit baca
Ketika perekonomian Indonesia terkontraksi 2,07 persen tahun lalu, sektor pertanian tumbuh 1,75 persen. Tak hanya menampung perpindahan tenaga kerja yang terlempar dari sektor lain akibat pandemi Covid-19, pertanian juga menopang ekspor nasional, nilainya bahkan tumbuh 14,12 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Tak berlebihan jika kita berterima kasih kepada petani, pekebun, peternak, pembudidaya, nelayan, dan para pelaku di sektor ini. Ketika sebagian besar sektor lain ”tumbang”, pertanian tumbuh dan menjadi bantalan (cushion) bagi perekonomian nasional yang minus tahun lalu, terdalam sejak tahun 1998 ketika ekonomi Indonesia terkontraksi 13,13 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ketika total ekspor nasional tumbuh negatif 2,61 persen tahun 2020, ekspor produk pertanian tumbuh 14,12 persen. Nilainya naik dari 3,61 miliar dollar AS tahun 2019 menjadi 4,12 miliar dollar AS tahun 2020. Kontribusi ekspor pertanian terhadap total ekspor juga naik dari 2,15 persen menjadi 2,52 persen.
Sektor pertanian juga menjadi ”tempat kembali” bagi sebagian tenaga kerja sektor perkotaan yang terdampak pandemi. Jumlah tenaga kerja di sektor ini melonjak dari 36,71 juta orang pada Agustus 2019 menjadi 41,13 juta orang pada Agustus 2020. Porsinya dalam struktur ketenagakerjaan pun meningkat dari 27,53 persen menjadi 29,76 persen dari total angkatan kerja pada kurun waktu tersebut.
Secara total, kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) juga meningkat dari 12,7 persen pada tahun 2019 menjadi 13,7 persen tahun 2020. Kenaikan kontribusi itu menjadi penanda yang langka di tengah kecenderungan turunnya peran pertanian beberapa dekade terakhir.
Namun, tidak semua pelaku di sektor ini menikmati pertumbuhan. Subsektor peternakan, misalnya, terkontraksi 0,33 persen tahun lalu. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, turunnya permintaan dari industri pemotongan serta hotel, restoran, dan katering seiring pembatasan pergerakan masyarakat akibat pandemi Covid-19 menekan pendapatan para peternak.
Subsektor hortikultura tercatat tumbuh paling tinggi tahun lalu, yakni 4,17 persen, dibandingkan tanaman pangan yang 3,54 persen, tanaman perkebunan 1,33 persen, dan perikanan 0,73 persen. Pertumbuhan subsektor tanaman pangan ditopang oleh peningkatan luas panen dan produksi padi, jagung, dan ubi kayu, sementara subsektor hortikultura didorong oleh permintaan buah dan sayuran serta perkebunan ditopang oleh peningkatan produksi kelapa sawit.
Terlepas dari segenap sumbangan positif tersebut, sektor pertanian sebenarnya masih menghadapi tantangan yang tidak ringan. Dengan tambahan lebih dari 4 juta tenaga kerja, beban sektor pertanian menjadi semakin berat. Tanpa upaya ekstra, produktivitas sektor pertanian bakal makin tertekan.
”Pertanian menanggung 29,76 persen tenaga kerja, tetapi kontribusinya dalam produk domestik bruto 13,7 persen. Peralihan tenaga kerja berpotensi meningkatkan beban (sektor pertanian),” kata Suhariyanto dalam diskusi daring yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rabu (17/2/2021).
Menurut Suhariyanto, ada beberapa tantangan yang dihadapi pertanian. Pertama, terkait ketenagakerjaan. Di sisi sumber daya manusia, per Agustus 2020, sebanyak 24,93 juta orang atau 65,23 persen tenaga kerja pertanian berpendidikan sekolah dasar atau lebih rendah. Selain itu, lebih dari separuh dari 41,13 juta tenaga kerja pertanian berumur 45 tahun atau lebih.
Kedua, problem harga jual yang masih sering jatuh saat puncak panen. Tren harga gabah dua tahun terakhir, misalnya, masih menunjukkan hal itu. Situasi yang lebih ekstrem dialami petani hortikultura karena fluktuasi harga jual hasil panennya sangat timpang.
Ketiga, nilai tukar petani (NTP) masih relatif rendah. NTP mayoritas subsektor masih bergerak di kisaran 100 atau bahkan lebih rendah. Artinya, kesejahteraan petani belum terangkat. Sebab, pendapatannya hanya cukup atau bahkan kurang untuk membayar ongkos produksi dan kebutuhannya.
Keempat, upah riil buruh tani cenderung melemah. Pada Agustus 2020, misalnya, rata-rata upah buruh di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya Rp 1,91 juta per bulan. Angka itu jauh di bawah rata-rata upah buruh nasional yang Rp 2,76 juta.
Kelima, kemiskinan terpusat di perdesaan dan 46,3 persen rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian. Terkait sejumlah situasi itu, kata Suhariyanto, kebijakan pertanian perlu fokus dan berorientasi pada kesejahteraan petani. Kebijakan pengendalian inflasi semestinya juga tak semata mempertimbangkan kepentingan konsumen, tetapi juga kepentingan petani sebagai produsen pangan.
Produktivitas
Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin berpendapat, para pelaku di sektor pertanian mau tidak mau harus mengoptimalkan pemanfaatan teknologi untuk menggenjot produktivitas. Tantangan ini tidak ringan mengingat produktivitas sektor pertanian selama ini cenderung turun.
Peralihan tenaga kerja menjadi beban serius bagi sektor pertanian. Menurut Bustanul, berdasarkan penelitian Fahmi dan kawan-kawan di Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), pertumbuhan produktivitas faktor total (total factor productivity/TFP) pertanian kurun 1996-2017 negatif 0,65, sementara pertumbuhan TFP perekonomian nasional 0,13 pada kurun 1996-2019. TFP mengukur rasio keluaran (output) total terhadap masukan (input) total.
Koefisien elastisitas keluaran kapital, termasuk teknologi, mencapai 0,9 yang berarti setiap kenaikan 1 persen kapital dapat meningkatkan 0,9 persen keluaran di sektor pertanian. Sementara koefisien keluaran tenaga kerja hanya 0,1 atau setiap 1 persen kenaikan jumlah tenaga kerja hanya mendorong 0,1 persen keluaran.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan, teknologi menjadi solusi bertani di tengah perubahan iklim yang berdampak pada ketersediaan air dan permintaan pangan. ”Untuk mengairi persawahan, misalnya, kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan hujan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Kementerian Pertanian mengoptimalkan pemanfaatan teknologi untuk mendorong kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional. Syahrul mencontohkan pemanfaatan kecerdasan buatan, citra satelit, dan internet of things dalam sejumlah program.
Syahrul berharap perguruan tinggi yang mengajarkan pertanian turut menciptakan kurikulum yang adaptif terhadap perkembangan teknologi. ”Rencananya, pada tahun 2021, saya akan mengintervensi hal ini,” ujarnya (Kompas, 1/12/2020).
Terlepas dari segenap tantangan dan problem tersebut, seperti kata Suhariyanto, orientasi pembangunan pertanian perlu fokus pada kesejahteraan petani. Jika petani sejahtera, pertanian akan tumbuh berkelanjutan. Kini, di tengah cekaman pandemi yang belum usai, kita perlu berterima kasih kepada mereka yang bersusah payah di sawah, ladang, kebun, kandang, tambak, dan laut. Terima kasih, petani!