Impor beras kerap ditunggangi sejumlah kepentingan, salah satunya oleh pemburu rente. Impor produk pangan memang paling mudah digunakan baik untuk kepentingan ekonomi maupun politik.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Kuli angkut memindahkan beras yang baru masuk di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, 27 Desember 2020. Rencana pemerintah untuk mengimpor beras mengejutkan sejumlah kalangan.
Pemerintah berencana mengimpor satu juta ton beras lewat Perum Bulog tahun ini. Impor beras itu dilakukan untuk menjaga cadangan stok beras.
Rencana impor tersebut sungguh mengagetkan banyak pihak karena diumumkan di tengah panen raya yang baru saja dimulai. Tanda akan ada masalah terkait dengan stok juga belum muncul. Urgensi untuk mengimpor beras tidak menemukan alasan yang kuat.
Angka dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga tidak memperlihatkan kita harus impor atau buru-buru mengimpor karena produksi Januari-April tahun ini lebih baik dibandingkan tahun lalu pada kurun waktu yang sama. Produksi pada Januari-April tahun ini sebanyak 23,78 juta ton gabah kering giling. Pada masa yang sama tahun lalu 19,99 juta ton.
Kabar rencana impor beras itu direspons negatif oleh berbagai kalangan. Petani langsung merasa tersakiti karena rencana impor bakal memukul harga beras. Tanpa impor pun, melihat angka dari BPS, harga beras diperkirakan akan terus turun.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Petani berada di antara tanaman padi yang akan memasuki masa panen di Desa Ruwit, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, 21 Januari 2021.
Kita kian penasaran dengan rencana pemerintah ini karena akhir tahun lalu diperkirakan ada surplus 2,5 juta-8,5 juta ton beras. Laporan global tentang produksi beras di Indonesia menyebutkan akan meningkat karena luas area pertanaman padi pada musim tanam kali ini lebih luas akibat fenomena La Nina. Impor beras khusus juga diperkirakan turun.
Publik akan terus mempertanyakan rencana ini juga karena permasalahan impor pada masa lalu. Impor beras kerap ditunggangi sejumlah kepentingan, salah satunya oleh pemburu rente. Impor produk pangan memang paling mudah digunakan baik untuk kepentingan ekonomi maupun politik.
Impor beras kerap digolongkan sebagai cara mudah untuk mendapatkan dana segar. Saat impor belum dilakukan, transaksi di antara mereka yang berkepentingan kadang sudah bisa dilakukan. Di tengah berbagai kasus korupsi yang belakangan muncul, impor beras sebaiknya ditunda karena kerap memunculkan kabar tidak sedap.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Esih (66) merontokan bulir padi di di Kampung Rawakalong, Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 3 November 2020. Kabar rencana impor beras direspons negatif oleh berbagai kalangan.
Sebelum publik yakin bahwa impor memiliki alasan yang tepat, dan sistem dalam perdagangan impor terbuka, impor beras akan selalu menimbulkan polemik. Banyak perbaikan yang harus dilakukan oleh pemerintah, dari mulai soal data produksi beras, konsumsi beras, hingga stok beras, sehingga semua indikator terang benderang.
Pemerintah sebaiknya menarik kembali rencana impor beras karena berbagai fakta memperlihatkan kondisi pangan nasional tidak bermasalah atau setidaknya tak ada tanda-tanda bermasalah. Lembaga yang mengurusi produksi, perdagangan, dan informasi cuaca perlu didengar lebih dahulu untuk memastikan prakiraan situasi beras nasional ke depan.
Jika suatu saat memang harus mengimpor beras, semua pihak pasti akan memberikan fakta yang mendukung. Orang juga bisa menerima langkah itu karena kita membutuhkan. Publik akan terbuka jika alasan impor masuk akal dan tepat, seperti soal kebutuhan stok dan waktu impor yang tepat.