Meliput Gempa Cianjur, Belajar Empati kepada Korban hingga Jenazah
Dari kedua dokter forensik, saya belajar tentang memanusiakan jenazah. Linda, misalnya, tetap izin saat ingin memiringkan tubuh jenazah meski tanpa jawaban. Ihsan juga pantang menertawakan atau menggunjingkan jenazah.
Bencana gempa Cianjur menelan 602 korban meninggal dan menyebabkan ratusan orang luka berat. Selain itu, lebih dari 50.000 rumah rusak dan sebanyak 114.638 orang terpaksa mengungsi. Salah satu episode kelam peristiwa bencana di negeri ini. Bersama rekan sejawat lainnya, saya menjadi saksi kisah nasib dan perjuangan para korban penyintas gempa.
Hari itu, Senin (21/11/2022) pagi, cuaca cukup cerah. Rencananya, saya hendak ke Desa Sindangwangi di Kabupaten Majalengka, Jabar, yang jaraknya sekitar 30 kilometer dari tempat saya tinggal di Cirebon. Di sana rencanaya, saya akan meliput tentang pembenihan ikan baung (Hemibagrus nemurus). Kabarnya, pemijahan ikan baung yang dilakukan oleh masyarakat ini, satu-satunya di Jabar.
Saat berangkat, saya singgah di Sungai Cipager, Cirebon, karena searah dengan perjalanan ke lokasi. Saya memotret limbah jarum suntik bekas di sekitar sungai. Kasus limbah medis yang pernah terjadi di Cirebon ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Baca juga: Sebagian Besar Korban Tewas Gempa Cianjur Terluka di Kepala
Di tengah perjalanan ke Majalengka, saya menerima kabar terjadinya dugaan penganiayaan yang berujung pada meninggalnya seorang santri di Kuningan. Daerah ini adalah salah satu wilayah tugas saya sebagai jurnalis Kompas di Cirebon, selain Kota dan Kabupaten Cirebon, Majalengka, dan Indramayu.
Saya memutuskan tetap meliput budidaya ikan baung karena telah janji dengan petambak. Usai liputan yang selesai pada tengah hari, saya segera bergeser ke Kuningan yang berjarak sekitar 30 kilometer, untuk mengonfirmasi kasus dugaan penganiayaan kepada polisi. Sampai di sana, rekan jurnalis lain juga masih menunggu keterangan.
Namun, sekitar pukul 13.30, tersiar kabar gempa mengguncang Kabupaten Cianjur, Jabar. Informasi awal, gempa bermagnitudo 5,6 itu menelan banyak korban jiwa. Tidak ada jurnalis Kompas yang bertugasdi Cianjur. Wilayah itu tak "bertuan". Tapi, bagaimana pun, Kompas wajib hadir di sana.
Di wilayah Jabar, minus Bogor, hanya ada dua jurnalis Kompas, yakni saya dan Machradin Wahyudi Ritonga atau RTG plus Kepala Biro Kompas Jabar, Cornelius Helmy Herlambang. Kami bertanggungjawab meliput berbagai peristiwa yang terjadi di provinsi berpenduduk hampir 50 juta jiwa itu.
Setelah gempa, RTG langsung meluncur dari Bandung ke Cianjur. Sementara, Kang Helmy dan saya menelepon sana-sini untuk menulis berita awal tentang gempa. Dari Jakarta, pewarta foto Kompas Rony Ariyanto Nugroho dan jurnalis Aguido Adri ditugaskan berangkat ke Cianjur.
Calon wartawan, Rivaldo Arnold Belekubun, yang sedang meliput di Bogor, juga bergeser ke Cianjur. Tambahan personel ini sangat membantu. “Setidaknya sampai saya tiba di sana,” saya membatin sambil menghela napas. Lagi pula, saya harus menyelesaikan liputan Hari Guru.
Baca juga: Perih Saat Menjadi "Anak Buah Kapal" Dadakan
Meski berada di Cirebon, saya tetap mendapat beberapa tugas untuk mengirim bahan tulisan soal gempa Cianjur. Bagaimana pun, tugas RTG dan tim di lapangan sudah rumit dan menumpuk. Belakangan, kantor mengirim dua personel tambahan sehingga ada enam jurnalis Kompas di sana.
Akhirnya, saya ke Cianjur pada Minggu (27/11) untuk menggantikan RTG. Penukaran tenaga peliput dalam peristiwa bencana sangat penting agar psikologis jurnalis tidak terganggu. Sebagai "pemain cadangan”, tugas saya tentu tidak seberat tim pertama. Setidaknya sudah ada gambaran mengenai kebutuhan perlengkapan liputan di lokasi.
Misalnya, harus membawa sepatu bot, helm, jas hujan, hingga sepeda motor untuk mempercepat mobilisasi. Saya pun mengendarai sepeda motor yang tak lagi muda dari Bandung ke Cianjur. Saat melintasi jalan berlubang, kap motor itu seakan menggertak, prakk…
Baca juga: Membaca Diri Sendiri yang Banal
Di perjalanan, rombongan mobil yang membawa bantuan untuk korban gempa Cianjur mondar-mandir. Ada juga kelompok sepeda motor trail yang mengangkut bahan pangan bantuan hingga wajan. Arus lalu lintas saat itu cukup padat sehingga sulit detembus, kecuali oleh mobil pejabat yang mendapat pengawalan aparat plus sirine.
Setelah berkendara tiga setengah jam, saya akhirnya sampai di Kantor Bupati Cianjur yang menjadi posko pusat. Di sana, saya dan RTG melakukan "serah terima" tugas liputan, bukan jabatan ya. Tugas hari itu saya awali dengan meliput konferensi pers di pendopo terkait penanganan gempa dan identifikasi korban di RSUD Sayang.
Suasana pusat kota relatif kondusif. Pedagang masih berjualan. Sejumlah kantor hingga anjungan tunai mandiri juga masih buka. Namun, munculnya tenda-tenda kementerian dan lembaga serta hilir mudik ambulans, menggambarkan Cianjur sedang tidak baik-baik saja pascagempa.
Baca juga: Di Piala Dunia Qatar, Jangan Coba-coba Dekati Pemain Bintang!
Situasi terasa kian mencekam saat saya menuju Pacet, tempat jurnalis Kompas menginap. Sepanjang perjalanan, tampak penyintas bernaung di bawah tenda terpal di pinggir jalan. Apalagi, saat melintasi kawasan Tapal Kuda di Cugenang, yang menjadi pusat gempa. Terlihat, bangunan rumah warga, sekolah, hingga masjid, yang rusak bahkan ambruk.
Pada saat yang sama, berdiri tenda pengungsian bertuliskan nama instansi pemerintah, lembaga, organisasi masyarakat, hingga partai politik, lengkap dengan foto politisinya.
Pemandangan paling mencolok di Cugenang adalah keberadaan petugas tim SAR gabungan di sisi jalan yang berpakaian oranye.
Mereka menyisir area Warung Sate Shinta yang diterjang material longsor dari tebing di seberang jalan setinggi sekitar 30 meter. Tanah yang longsor beberapa saat setelah terjadinya gempa itu, menimbun sejumlah rumah dan penghuninya. Pengendara yang melintas di jalur itu juga menjadi korban.
Baca juga: Lidah yang Sulit Berbohong di Piala Dunia Qatar
Malamnya di penginapan, saya berjumpa dengan pewarta Kompas Mas Rony dan Mas Priyambodo, reporter Erika Kurnia, serta dua calon wartawan, Agustinus Yoga Primantoro dan Christina Mutiarani Jenifer Sinadia. Kami lalu rapat dan berkoordinasi dengan editor di Jakarta terkait rencana liputan.
Kamar jenazah
Salah satu tantangan bagi kami yang menjadi tim peliput kloter kedua ini adalah mencari angle yang belum ditulis tim sebelumnya. Saya lalu ditugaskan menggarap soal identifikasi jenazah korban gempa yang sulit dikenali. Dari pagi hingga sore saya siaga di depan kamar mayat RSUD Sayang.
Ambulans datang dan pergi, membawa jenazah hasil temuan tim SAR gabungan. Saat itu, masih ada 11 warga yang dalam pencarian. Keluarga korban hilir mudik mengurus dokumen yang diperlukan. Beberapa kali mereka menangis ketika datang jenazah sambil berharap itu adalah keluarganya yang hilang. Diterpa ketidakpastian sungguh sangat tidak mengenakkan.
Baca juga: Memanusiakan Jenazah Korban Gempa Cianjur
Bukan perkara mudah mewawancarai keluarga korban yang juga merupakan penyintas gempa. Namun, tanpa wawancara, mau tulis apa? Saya mencoba membuka obrolan. “Sedang menunggu kabar juga, Pak? Infonya, tadi ada korban yang ditemukan,” tanya saya kepada seorang warga.
Sebagai jurnalis, kita sebaiknya tidak hanya menyampaikan pesan dari penyintas, tetapi juga membantunya mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Obrolan kami pun cair. Ia berkisah tentang enam anggota keluarganya yang sempat hilang. Saya lebih banyak diam mendengarkan.
Sebisa mungkin, saya tidak menanyakan perasaan atau firasat kepada korban. Saya juga menahan diri untuk bertanya tentang kemungkinan terburuk soal keluarganya yang hilang atau bahkan menyalahkannya dalam peristiwa itu. Paling penting, saya tidak boleh berucap, “sabar ya”.
Baca juga: Jadi Gila Gara-gara Rihanna
Meskipun tendensinya baik, kata itu cukup menyakitkan bagi korban. Mereka tidak membutuhkan kata itu dan saya tidak berhak mengatakannya. Sebagai penyintas gempa yang rumahnya rusak dan tengah berduka, mereka sudah terlampau sabar dan kuat. Mengedepankan empati memang sangat diperlukan dalam liputan semacam ini.
Selain keluarga korban, saya juga mewawancarai Komisaris M Ihsan, dokter forensik, dan Ajun Inspektur Polisi Satu Linda Lestari yang bertugas mengidentifikasi jenazah korban. Tentu saja setelah bolak balik berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Jabar dan menunggu lebih dari sejam.
Dari keduanya, saya belajar bahwa kita harus memanusiakan jenazah. Linda, misalnya, tetap meminta izin saat ingin memiringkan tubuh jenazah meski tanpa jawaban. Ihsan juga pantang menertawakan atau menggunjingkan jenazah. Mereka hanya fokus mengidentifikasi jenazah.
Baca juga: Di Borobudur, Aku Tumbang Sebelum Berperang
Bau menyengat berjam-jam tak jadi masalah. Begitu pula dengan gempa susulan yang masih mengancam. Salah satunya terjadi dan sempat memutus obrolan kami karena harus lari ke halaman rumah sakit. Mereka juga tak keberatan menginap di dekat kamar jenazah dengan hanya beratapkan tenda.
“Saya ingat saat pertama datang ke sini (RSUD Cianjur). Begitu turun dari mobil, saya mencium aroma bunga melati, wangi sekali. Saya menganggap ini sambutan yang baik. Niat kami ke sini untuk membantu. Mudah-mudahan pekerjaan kami juga dibantu,” ungkap Ihsan.
Gempa susulan
Selama sembilan hari di Cianjur, setidaknya saya merasakan tiga kali gempa susulan. Selain di rumah sakit, saya juga mengalami dua kali guncangan saat di penginapan. Pertama, gempa bermagnitudo 3,5 pada Rabu (30/11) pagi. Jendela dan kusen penginapan bergetar, terrrrrr…
Berada di kamar lantai dua, saya langsung bergegas lari ke bawah. Rekan lainnya juga berkumpul di tanah lapang. Syukurlah, tidak ada kerusakan. Guncangan kedua terjadi pada Minggu (4/12) pukul 05.00. Gempa bermagnitudo 4,2 itu membuat saya terbangun dan segera berlari keluar.
Baca juga: Gelisah Saat Harus Bertemu Joe Biden
Mungkin gempa itu “salam perpisahan” bagi saya dan Mas Riza Fathoni sebelum meninggalkan Cianjur. Kami berdua menjadi ‘pasukan’ Kompas yangterakhir berada di sana. Sebenarnya, kami dijadwalkan kembali ke kota masing-masing hari Minggu. Tetapi, karena ada kunjungan presiden, kami diminta tinggal hingga Senin (5/12).
Setidaknya, kami bisa melihat langsung bantuan rumah tahan gempa untuk relokasi penyintas, sekaligus mendengar harapan warga yang masih galau takut kehilangan pekerjaannya jika harus pindah. Setelah liputan presiden kelar, kami pun bersiap kembali ke penginapan lalu pulang ke rumah.
Namun, timbul masalah. Saya lupa di mana menaruh kunci sepeda motor! Parahnya, bersama kunci itu tersimpan surat tanda nomor kendaraan. Saya membongkar tas, tetapi hasilnya nihil. Kami "napak tilas" jalan yang baru saja kami lalui. Barangkali kunci itu tercecer. Tapi, lagi-lagi tiada hasil.
Baca juga: Gempa Cianjur dan Profesi "Gila"
Kami lalu bertanya ke pemilik warung dekat tempat parkir. Syukurlah, ternyata ada orang baik yang menyimpan kunci motor itu. “Tadi ada perempuan yang nitip kunci ini. Katanya, kuncinya masih nyangkut di motor,” ujar ibu pemilik warung. Ah, betapa teledornya saya!
Pikir saya, kejadian itu mungkin pertanda agar kami tidak buru-buru meninggalkan Cianjur. Apalagi, masih banyak masalah yang belum tuntas. Mulai dari validasi kerusakan puluhan ribu rumah hingga pencarian delapan orang yang diduga tertimbun longsor di Cugenang.
Saya masih mengenali daerah longsor yang menyapu permukiman warga itu. Apalagi, saat melintasi daerah itu setiap malam selama sepekan di Cianjur. Ingatan saya terbang ke dalam percakapan bersama Adul Zulkifli (49), penyintas yang kehilangan kakak dan keponakannya.
“Semalam saya mimpi mendengar suara, ’Om tolong. Saya kedinginan’. Mungkin itu keponakan saya,” katanya. Bisikan itu kadang masih sayup-sayup terdengar meskipun saya tidak lagi di Cianjur. Doa terbaik untuk korban dan penyintas…