Di saat orang lain menjauhi tempat-tempat yang berpotensi menularkan Covid-19, kami justru harus mendekatinya sebagai bahan laporan kepada pembaca. Mendapat vaksin Covid-19 menurunkan risiko kami tertular dan menulari.
Karena kerja jurnalistik pertama-tama adalah pekerjaan tangan dan kaki, kehati-hatian menjaga gerak fisik sangat diperlukan. Pemahaman ini yang saya sadari ketika meliput bencana longsor di Bukit Segebruk, Magelang.
Virus korona jenis baru penyebab pandemi Covid-19 hanya perlu celah kelengahan untuk menyerang dan menumbangkan kehidupan. Saya merasakan menjadi pasien Covid-19 gejala ringan dan berharap pandemi segera kita lalui.
Saat semua jaring sudah diangkat, rombongan kembali ke darat. Dalam perjalanan, perahu kami sempat terhenti akibat terjebak rumpunan eceng gondok. Baling-baling mesin perahu patah!
Dalam melakukan peliputan, jurnalis kerap bertemu bahaya. Namun, dalam setiap bahaya yang ditemui selalu ada tangan-tangan penolong.
Setiap kali teringat panti, aku selalu gelisah, tidur pun susah. Semua berawal dari pengalaman mengantarkan boks bayi ke panti asuhan. Kelak, boks bayi membawaku pada pengalaman diundang ke acara Kick Andy Show.
”Saya mau mengabarkan bahwa hasil tes usap Anda positif,” katanya. Saya pikir selama pakai masker dengan benar saya aman tapi ternyata salah besar. Saya terlalu sibuk melindungi mulut dan hidung tapi melupakan mata saya.
Bom meledak di sebuah gereja di Bekasi. Saya masih tenang saja, tidak percaya pada berita itu. Namun, ketenangan itu segera berubah menjadi kepanikan. Ledakan bom juga terjadi di beberapa tempat, bahkan beberapa kota!
”Ada Mas satu tiket Garuda Indonesia tapi pesawat ’take off’ pukul 11.35,” ujarnya. Tanpa banyak pikir, saya jawab, ”Baik bu, saya ambil.” Padahal, saat itu sudah pukul 10.05, seperti ditunjukkan jam dinding kantor.
Kisah wartawan purnakarya ”Kompas”, James Luhulima, dalam mewawancarai pelatih tim nasional Brasil dan Argentina sebelum Piala Dunia 1994. James merasakan sapaan hangat dan berhasil mewawancarai Maradona.