Gempa Cianjur dan Profesi "Gila"
Saya teringat belum siap perbekalan apa-apa karena liputan ini memang tiba-tiba, mengingat gempa yang datang tanpa aba-aba. Boleh dibilang, setengah modal keberangkatan adalah niat dan tekad. Separuhnya lagi, nekat.

Ihya, Ketua RT 03 RW 03 Desa Cibeureum, Cugenang, Cianjur, Jawa Barat, menunjukkan rumah seorang warganya yang roboh akibat gempa, Senin (21/11/2022).
“Wartawan itu profesi gila” ujar seorang wartawan senior Harian Kompas. “Kenapa bisa begitu, Mas?” tanya seorang calon wartawan.
“Karena saat terjadi bencana semua orang berusaha menjauhinya, sedangkan wartawan malah mendekati. Kalau tidak gila, apa namanya?” kata sang wartawan senior itu.
Begitulah pembicaraan di salah satu kelas pendidikan calon wartawan harian Kompas yang saya ikuti Agustus silam. Tak disangka, beberapa bulan kemudian, saya merasakan apa yang dimaksud wartawan senior tersebut.
Saat terjadi gempa Cianjur, saya harus ke lokasi dan berada di sana selama tiga hari tanpa sempat mempersiapkan apapun.
“Karena saat terjadi bencana semua orang berusaha menjauhi, sedangkan wartawan malah mendekatinya. Kalau tidak gila, apa namanya?” kata sang wartawan senior itu.
Kisahnya berawal Senin pagi (21/11/2022). Hari itu saya mendapat tugas liputan acara sosialisasi Otoritas Jasa Keuangan tentang "waspada pinjaman online dan investasi bodong" di auditorium Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University di Bogor. Dari Jakarta Barat tempat saya tinggal, perjalanan ke sana memakan waktu hampir 2 jam.
Saya berangkat lebih awal, pukul 10.30, dengan harapan tiba paling lambat pukul 12.30 karena jadwal acara mulai pukul 13.00. Sesampainya di sana, saya duduk menunggu sambil makan siang, sembari menanti kegiatan dimulai.
Baca juga: Modus Baru Pinjaman Daring Menjerat Mahasiswa IPB University

Belum lagi acara dimulai, tiba-tiba pada pukul 13.21 bumi terasa bergoyang. Air dalam botol di depan saya terlihat bergetar.
“Gempa! Gempa!” teriak beberapa orang di dalam auditorium. Seketika, semua orang berlarian. Saya ikutan panik dan keluar gedung. Setelah beberapa detik, getaran bumi tak terasa lagi. Beruntung, tidak ada bangunan yang terdampak sehingga acara kemudian bisa dimulai pada pukul 14.00.
Saat tengah serius mengikuti acara, ponsel saya terus bergetar menerima notifikasi dari berbagai grup Whatsapp. Semua isi pesannya membicarakan soal gempa yang barusan terjadi. Menurut informasi, gempa berpusat di Cianjur tapi guncangannya terasa hingga ke Bandung dan Jakarta.
Baca juga: Cibeureum Porak Poranda, Korban Kekurangan Makanan dan Tenda
Pukul 14.11 editor Desk Regional harian Kompas menelepon. "Valdo, kamu geser ke Cianjur ya, coba pantau dampak gempa di sana," kata sang editor.
Meski acara belum selesai, saya bergegas meninggalkan tempat itu. Saya langsung menyetel tujuan google maps ke Cianjur dan mengarahkan sepeda motor ke sana. Lama perjalanan diperkirakan 1,5 jam.
Sepanjang perjalanan, saya terus berpikir bagaimana caranya meliput bencana gempa, mengingat ini adalah pengalaman pertama. Terngiang kembali pembicaraan dengan wartawan senior beberapa bulan lalu. Apa yang dikatakannya benar-benar saya alami saat ini. Saya sedang menjalani profesi 'gila' yang disebutnya itu.
Baca juga: Gempa Cianjur Merusak Permukiman hingga Rumah Ibadah

Warga RT 03 RW 03 Desa Cibeureum, Cugenang, Cianjur, Jawa Barat, mengungsi di salah satu tenda darurat akibat rumah mereka terdampak gempa, Senin (21/11/2022). Gempa tektonik berkekuatan magnitudo 5,6 merusak sejumlah permukiman masyarakat di sekitar Cianjur.
Mendekati wilayah Kecamatan Cipanas, saya bertemu salah satu petugas Dinas Perhubungan yang sedang mengatur kemacetan lalu lintas di jalur Puncak-Cianjur. Ia memberitahu bahwa telah terjadi longsor akibat gempa yang menutup ruas jalan Cipanas-Cianjur, tepatnya di Kecamatan Cugenang. Saya putuskan menuju lokasi itu dan meliputnya.
Di perjalanan, saya berpapasan dengan mobil-mobil ambulans yang mondar-mandir dari arah Kecamatan Cugenang ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cimacan yang berada di Kecamatan Cipanas. Kedua kecamatan itu sudah masuk wilayah Kabupaten Cianjur.
Waktu menunjukkan pukul 16.30. Suara sirine ambulans tak hentinya berbunyi. Mendekati wilayah Kecamatan Pacet, persis sebelum masuk wilayah kecamatan Cugenang, banyak warga berkumpul di tepi jalan, menyaksikan ambulans yang lalu lalang.
Baca juga: Sudah 24 Jam, Akses Jalan Puncak-Cianjur Belum Juga Dibuka
Mendekati titik longsor, akses jalan ditutup dan dijaga oleh polisi. Saya terpaksa mengambil jalan alternatif yang melewati desa Cibeureum. Ternyata di sana cukup parah terdampak gempa. Rumah-rumah dindingnya retak, atapnya roboh, bahkan tidak sedikit rumah yang ambruk. Khawatir terjadi gempa susulan yang fatal, warga mengungsi ke beberapa lahan kosong di desa tersebut.
Melihatnya, saya memutuskan untuk meliput dampak gempa di desa itu. Ketua RT 03 RW 03 Desa Cibeureum, Ihya, menemani saya berkeliling melihat permukiman warga yang terdampak.
Menurutnya, hampir 90 persen rumah di Desa Cibeureum terdampak gempa. Bahkan di RT-nya, semua rumah terkena dampak sehingga warga harus mengungsi ke "tenda-tenda" darurat yang dibangun seadanya.
Baca juga: Beli Tiket Piala Dunia dari Perjaka Patah Hati

Seorang warga Desa Ciherang yang terdampak gempa dievakuasi dari tempat pengungsian dan tiba di RSUD Cimacan, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, Selasa (22/11/2022).
Kebanyakan pengungsi adalah warga lanjut usia, para ibu dan anak-anak, termasuk ibu hamil. Tidak sedikit yang mengalami luka-luka ringan hingga berat akibat tertimpa reruntuhan bangunan.
Mereka juga kekurangan air bersih, makanan, serta obat-obatan pertolongan pertama. Listrik dan jaringan telepon terputus sehingga memasuki malam, suasana sangat gelap. Warga pun tidak bisa berkomunikasi keluar. Saya berada di sana hingga pukul 18.00. Saat itu, desa tersebut belum juga tersentuh oleh bantuan pemerintah dan tenaga kesehatan.
Selesai meliput di desa Cibeureum, baterai ponsel saya sekarat. Jarum indikator bensin motor juga mepet ke ujung kiri. Hanya ada dua pilihan, melanjutkan perjalanan yang sekitar dua kilometer lagi menuju pusat kota Cianjur atau kembali ke Cipanas untuk mengisi daya gawai dan bahan bakar motor. Saya memilih opsi kedua, dan langsung kembali ke Cipanas.
Baca juga: Tenaga Medis Sangat Dibutuhkan di Lokasi Pengungsian
Sesampainya di Cipanas, saya kembali dihubungi oleh editor. "Valdo, kamu menetap di sana sampai 3 hari ke depan ya. Jangan lupa beli persiapan" katanya.
Mendengar itu, saya langsung teringat belum siap perbekalan apa-apa karena liputan ini memang tiba-tiba, mengingat gempa yang datang tanpa aba-aba. Boleh dibilang, setengah modal keberangkatan adalah niat dan tekad. Separuhnya lagi, nekat.
Boro-boro perlengkapan mandi, pakaian saja hanya yang menempel di tubuh. Di dalam tas cuma ada laptop, kamera, botol minum, buku, dan alat tulis, serta perlengkapan gawai seperti pengisi catu daya dan headset.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan dan Kampung-kampung yang Berselimut Kain Hitam

Para korban gempa yang dirawat di halaman RSUD Sayang, Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022).
Akan tetapi begitulah kerja wartawan. Seringkali menghadapi situasi tak terduga. Pengalaman ini hampir sama dengan cerita para wartawan senior saat mereka harus meliput peristiwa bencana.
Saya merasa beruntung karena merasakan pengalaman ini saat masih calon wartawan. Bukan hanya memperkaya kerja kewartawanan, pengalaman ini juga mengasah empati saya melalui kesempatan berinteraksi langsung dengan korban bencana.