Sambil menunggu pertandingan Piala Dunia dimulai, orang-orang menyantap burger seharga 45 riyal. Sementara itu, saya makan nasi dengan lauk dendeng batokok yang saya boyong dari rumah makan padang Simay di Palmerah.
Oleh
YUNIADHI AGUNG
·5 menit baca
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Pemain Brasil Antony berebut bola dengan pemain Kamerun Nouhou Tolo dalam pertandingan terakhir Grup G di Stadion Lusail, Qatar, Sabtu (3/12/2022) dini hari WIB. Brasil yang menurunkan pemain lapis kedua kalah oleh Kamerun 1-0. Meski menang, Kamerun gagal melaju ke babak 16 besar. Brasil lolos bersama Swiss yang pada saat bersamaan menang 3-2 atas Serbia.
Liputan ajang Piala Dunia 2022 di Qatar akan menjadi tugas luar negeri terlama yang pernah saya jalani. Total 40 hari saya akan berada di Doha untuk meliput segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan Piala Dunia 2022 yang berlangsung dari 20 November hingga 18 Desember 2022. Tentu saja, saya harus menyiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan selama berada di rantau.
Peralatan kerja, seperti laptop dan kamera, tidak boleh ketinggalan. Selain itu, ada hal penting lain yang juga perlu dibawa, yaitu ”amunisi” untuk badan. Selain memilih pakaian yang pas untuk bertugas selama di Qatar, saya juga tidak kalah heboh menyiapkan makanan yang akan dibawa.
Untuk liputan Piala Dunia 2022, saya dan wartawan Kompas, M Ikhsan Mahar, menyewa dua kamar di sebuah apartemen. Lokasinya di kawasan Al Matar Al Qadeem (atau kawasan bandara lama) yang berada di pinggiran Doha, Qatar.
Jawaban tersebut membuat saya mengurungkan niat membawa beras dari Indonesia.
Apartemen yang dimiliki oleh diaspora Indonesia di Qatar ini cukup strategis karena hanya berjarak 500 meter dari stasiun kereta Metro. Lewat medium percakapan Whatsapp dengan pemilik apartemen, kami dapat informasi bahwa di apartemen itu tersedia dapur, lengkap dengan peralatan memasaknya. Karenanya, kami berencana membawa perbekalan dari Indonesia untuk dimasak di sana.
”Untuk apa rice cooker, di sini banyak rumah makan. Tidak perlu repot membawa beras dari Indonesia,” ujar Djoko, pemilik apartemen, saat ditanya apakah ada mesin penanak nasi di apartemennya.
Jawaban tersebut membuat saya mengurungkan niat membawa beras dari Indonesia. Meski demikian, tekad saya tetap bulat untuk mengisi koper dengan bahan makanan.
Mi instan 14 bungkus (mi rebus dan mi goreng), srundeng manis, dendeng sapi kering, daging olahan dalam kaleng, kecap manis, saos sambal, dan tujuh kemasan bubuk kopi arabika berisi masing-masing 200 gram sudah menjejali koper. Saya jadi teringat almarhum bapak yang juga melakukan hal serupa saat akan berangkat naik haji.
KOMPAS/M IKHSAN MAHAR
Pewarta foto Kompas, Yuniadhi Agung, saat memasak di apartemen sebelum berangkat liputan Piala Dunia Qatar 2022.
Saya dan perbekalan makanan tiba dengan selamat di Qatar, Selasa (15/11/2022). Saat tiba di apartemen dan bertemu Susiana, rekan kerja Djoko yang ditugasi mengurus apartemen, saya mendapat kejutan. Ternyata mereka telah menyiapkan rice cooker kecil. ”Kalau mau masak nasi, ada beras di lemari, Mas. Dipakai saja,” ujar Susi.
Sebenarnya, memasak di apartemen untuk jaga-jaga saja kalau ada waktu luang karena di Doha banyak kedai yang masakannya lumayan cocok dengan lidah orang Indonesia.
Mereka menjual masakan Turki, India, dan masakan dari negara Timur Tengah lainnya. Nasi hampir selalu tersedia. Hanya saja kebanyakan diolah dengan rempah-rempah yang lumayan menyengat lidah.
Wartawan Kompas, M Ikhsan Mahar, seusai berbelanja kebutuhan memasak di swalayan di Doha, Qatar, seusai meliput pertandingan Piala Dunia Qatar 2022.
Ada beberapa restoran yang menyediakan masakan Indonesia, tetapi lokasinya jauh dari tempat kami tinggal. Harga makanan di kedai kaki lima di Qatar cukup bervariasi. Rata-rata 20 riyal Qatar atau sekitar Rp 84.000 per porsi menu.
Selain di stadion untuk meliput pertandingan, sehari-hari kami akan banyak berada di Main Media Center. Karena itu, kami berencana pergi ke restoran prasmanan yang ada di sana saat waktu makan tiba.
Akan tetapi, rencana tersebut dengan berat hati harus kami batalkan setelah mengetahui menu prasmanan di sana harus ditebus dengan harga 64 riyal. Padahal, kurs 1 riyal setara Rp 4.200.
”Jiwa miskin” kami meronta. Tidak sudi rasanya membayar Rp 268.800 untuk sekali makan. Langsung kami bertekad lebih sering memasak di apartemen dan membawa hasilnya sebagai bekal ke lapangan.
Swalayan tempat berbelanja kebutuhan memasak atau makanan jadi yang dijadikan bekal liputan Piala Dunia Qatar 2022.
Untungnya di dekat apartemen ada dua swalayan yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Setelah selesai liputan, kami mampir untuk belanja kebutuhan memasak, seperti telur, minyak goreng, beras, dan daging ayam.
Kami hanya sempat memasak di pagi hari. Baik saya maupun Ikhsan, tidak ada yang punya keterampilan memasak yang ”canggih” sehingga kami hanya masak menu-menu praktis dengan bahan makanan yang sudah kami beli atau bawa dari Indonesia.
Biasanya, saat saya bangun pagi, nasi telah siap karena Ikhsan bangun lebih pagi lalu memasak nasi, sedangkan saya bertugas memasak sayur dan lauk ala kadarnya.
Terkadang saya menggoreng telur dadar atau membuat nasi goreng dari sisa nasi kemarin. Nasi goreng dibuat dengan bumbu instan yang saya bawa dari Tanah Air. Jika sedang ingin menyantap masakan berkuah, saya membuat sop daging ayam. Lagi-lagi, dengan bumbu instan bekal dari Indonesia.
Nasi goreng telur ceplok hasil masakan pewarta foto Kompas, Yuniadhi Agung. Memasak biasanya dilakukan pada pagi hari sebelum meliput pertandingan di Piala Dunia Qatar 2022.
Kami juga membeli makanan beku siap santap sebagai alternatif jika harus mengejar liputan, tetapi tak punya banyak waktu untuk memasak. Kalau sedang malas, kami mengandalkan stok mi instan yang aman untuk kebutuhan satu bulan.
Sering kali, hasil masak di pagi hari, selain untuk sarapan, juga untuk bekal liputan. Kami membawanya dengan wadah makan plastik. Jika tidak sempat disantap di media center, kami memakannya di dalam stadion sambil menunggu pertandingan dimulai.
Kalau orang-orang di sekitar menyantap burger seharga 45 Riyal yang dibeli di kios di stadion, saya makan nasi dengan lauk dendeng batokok yang sebelum berangkat saya beli di warung masakan minang Simay di Palmerah. Sedap pokoknya, apalagi ditambah sambal dendeng yang sejenak menjadi pelipur kangen keluarga.
Menyantap nasi dan lauk hasil memasak sendiri, sebelum meliput pertandingan di Piala Dunia Qatar 2022.
Kali lain, saya bawa bekal nasi dengan lauk nuget. Sayang, karena suasana stadion yang dingin, nasinya jadi ikut dingin terkena embusan dari mesin penyejuk udara.
Saat tidak membawa bekal, kami memilih makan di gerai cepat saji yang banyak ditemukan di sekitar lokasi liputan Piala Dunia 2022. Pilihannya, kalau tidak gerainya ”Sang Kolonel”, ya, gerainya ”Si Ronald”.
Sayangnya, kedua gerai tersebut tidak menyediakan nasi, seperti gerai mereka di Indonesia. Jadilah, meski sudah menyantap dua potong ayam, rasanya di perut tetap kurang ”nendang” karena belum kemasukan nasi.
Menyantap menu masakan India saya hindari demi menghindari perut ”error” karena tidak cocok dengan bumbu rempahnya yang pekat.
Sementara kedai masakan China justru kami cari-cari. Sayangnya, tidak banyak di Doha. Padahal, kami sudah berharap bisa bertemu menu seger berkuah yang bisa bikin perut anget. Alhasil, kalau sedang rindu makanan berkuah, kami hanya bisa membuka stok mi rebus instan.
Wartawan Kompas, M Ikhsan Mahar, menyantap bekal di dalam bus dalam perjalanan untuk meliput salah satu pertandingan di Piala Dunia Qatar 2022.
Kalau ada yang tanya mengapa kami repot-repot bawa bahan makanan dari Indonesia, sebenarnya bukan sekadar ingin menghemat uang. Itu kami lakukan agar tidak terlalu direpotkan urusan adaptasi dengan makanan lokal yang belum tentu cocok di lidah dan perut.
Masa liputan 40 hari harus diantisipasi. Mencicipi masakan lokal sudah pasti. Namun, sebentar saja pasti akan segera kangen dengan rasa masakan Tanah Air. Sampai titik ini, bekal makanan akan menjawab kerinduan. Kalau sudah begini, lidah memang sulit berbohong.
Lalu, uang dinasnya untuk apa? Ya, buat beli oleh-oleh untuk anak dan istri dong....