Herman mulai gelisah melihat langit berangsur kelam. Rakit kami tak dilengkapi penerangan memadai. ”Alat penerangannya tidak cukup. Bisa membahayakan perjalanan. Rakit harus segera menepi di dusun terdekat,” katanya.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Tim Milir Berakit Sungai Batanghari mengayuhkan batang bambu agar rakit dapat melaju lebih cepat menuju hilir, Kamis (17/11/2022). Tanpa menggunakan bantuan mesin, rakit melaju pelan-pelan. Tim diperkirakan mencapai hilir dalam lima hari perjalanan.
Perhentian masih jauh di depan. Namun, langit mulai gelap dan membuat kami jadi gelisah melihatnya. Pangayuh pun digerakkan lebih keras agar rakit melaju cepat.
Suatu hari pada awal November silam, seharian penuh kami susuri Sungai Batanghari dengan rakit. Sejak pagi, rakit itu nonstop melaju. Memang lajunya tak bisa cepat karena rakit tidak bermesin.
Rakit yang kami tumpangi itu sepenuhnya mengandalkan uwitan pangayuh (dayung tradisional dari bambu dan papan kayu). Semakin keras kami mengayuh, laju rakit akan semakin cepat.
Jurnalis Kompas turut menumpang di atas rakit itu untuk meliput perjalanan hingga ke hilir (milir). Semangat terasa berkobar-kobar melihat sang nakhoda rakit, Hermanto, meng-uwit pangayuh bersama dua krunya. Sepertinya terlihat gampang sekali mereka mengayuh.
Padahal, batang bambunya sepanjang 2,5 meter dan bagian bawahnya berupa papan kayu tebal. Bisa jadi itu karena mereka sudah terbiasa mengayuh di atas rakit.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Alat kayuh di atas rakit. Tim Milir Berakit Sungai Batanghari bersiap menyusuri sungai dari hulu ke hilir, Kamis (17/11/2022).
Herman lalu menawari dua tamunya turut mengayuh. Dengan telaten ia mengajari. ”Iya, sudah betul begitu. Terus kayuh. Semangat, Mbak,” teriaknya memberi dukungan.
Mendengar itu semangat saya pun makin menyala-nyala. Hati gembira, mirip seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. Apalagi melihat laju rakit bertambah cepat. Rasanya bangga jadi ”anak buah kapal” alias ABK dadakan.
Tak lama berselang, telapak tangan mulai terasa perih. Pundak mengeras. Dayung tradisional itu betul-betul berat. Apalagi dikayuhkan menembus arus sungai yang deras. Sungguh menguras tenaga.
Kami jadi memahami betapa beratnya perjuangan tim Milir Berakit Sungai Batanghari menembus Sungai Batanghari dari hulu ke hilir selama lima hari.
Tim Milir Berakit Sungai Batanghari mengayuhkan batang bambu agar rakit dapat melaju lebih cepat menuju hilir, Kamis (17/11/2022). Tanpa menggunakan bantuan mesin, rakit melaju pelan-pelan. Tim diperkirakan mencapai hilir dalam lima hari perjalanan.
Menjelang sore, masih belum ada tanda kehidupan penduduk. Sisi kiri dan kanan sepanjang tepian sungai dipenuhi jejeran pepohonan. Belum tampak satu pun rumah penduduk. Hanya terdengar suara burung-burung bermain di atas kami.
Hamparan di depan kami hanyalah permukaan sungai yang berair keruh. Sampah-sampah yang terbawa arus mengantar perjalanan berakit.
Herman sepertinya mulai gelisah melihat langit berangsur kelam. Kami tahu rakit tersebut tak dilengkapi penerangan yang memadai. Kalau langit sudah gelap, bagaimana kami dapat menembus sungai berair deras itu dengan aman?
”Alat penerangannya tidak cukup. Bisa membahayakan perjalanan kita. Rakit harus segera menepi di dusun terdekat,” ujar Herman.
Suasana menjelang malam di Sungai Batanghari, Jambi, Kamis (17/11/2022).
Kami pun kembali meng-uwit pangayuh. Total ada lima orang. Nakhoda membagi tugas. Dua orang mengayuh di sisi kiri, dua orang di sisi kanan, dan satu orang di buritan.
Hampir satu jam mengayuh tanpa henti, napas mulai tersengal-sengal. Telapak tangan kembali terasa perih. Namun, perjuangan akhirnya membuahkan hasil. Sebuah jembatan gantung tampak dari kejauhan.
Hampir satu jam mengayuh tanpa henti, napas mulai tersengal-sengal. Telapak tangan kembali terasa perih.
”Akhirnya kita sampai. Itu dermaganya!” tunjuk salah seorang rekan antusias. Dari kejauhan, tampak sebuah jembatan gantung tinggi di atas sungai.
Betapa leganya dapat mencapai dusun terdekat. Makin semangat kami mengayuh, jembatan pun pelan-pelan seperti mendekat. Pohon-pohon berganti rumah-rumah penduduk. Perahu-perahu warga bersandar di tepian sungai itu. Kami terus mendekat.
Jembatan gantung di wilayah Batanghari, Jambi, Kamis (17/11/2022).
Sebagian penduduk yang mengetahui kedatangan tim rakit tampak antusias. Ada yang langsung menyambut untuk membantu kami menepi. Ada pula yang merekam dengan kamera ponselnya.
Tali rakit ditambatkan. Kami lalu naik ke darat. Tempat itu terletak di Desa Koto Boyo, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Herman berbincang dengan perangkat desa. Ia minta izin untuk menyandarkan rakit hingga keesokan pagi. Tuan rumah menyambut dengan sukacita.Lega rasanya.
Milir berakit
Perjalanan itu dinamai Milir Berakit Sungai Batanghari. Mustopa, salah seorang kru rakit, menceritakan, pengalaman serupa pernah dirasakan tim itu 10 tahun silam. ”Ini menjadi perjalanan kedua kami menyusur sampai hilir,” katanya.
Dari hulu, perjalanan dimulai dari ibu kota Sarolangun. Rakit menuju hilirnya di Kota Jambi. Dibandingkan 10 tahun lalu, kata Mustopa, begitu banyak perubahan terjadi. Mereka pun mendata perubahan-perubahan itu.
Tim Milir Berakit Sungai Batanghari hendak mengambil sampah plastik yang bertebaran di permukaan Sungai Batanghari, Kamis (17/11/ 2022). Masih rendahnya kesadaran masyarakat membuang sampah pada tempatnya serta mengolah sampah tepat guna menyebabkan limpahan sampah bertebaran di perairan.
Herman sedih melihat air sungai yang dulu jernih itu berubah keruh dari hulu ke hilir. Selama perjalanan, mereka tak berani memakai air sungai untuk memasak air dan makanan. ”Terpaksa kami beli air galon buat stok air di perjalanan,” katanya.
Tim itu lalu mencatat ada puluhan dompeng tambang emas liar terparkir di atas sungai. Ada pula tambang-tambang pasir tengah beroperasi. Juga titik-titik baru alih fungsi lahan di sepanjang bantaran. Di beberapa tempat, pohon-pohon tergantikan oleh penimbunan batubara.
Untuk mewujudkan perjalanan itu, Herman dan kawan-kawan membuat rakit dari bambu. Rakitnya dilengkapi panggung untuk tempat berteduh. Alat pangayuh dibuat dari batang bambu dan papan kayu. Seluruh biaya pembuatan rakit dibantu oleh Yayasan Sahabat Sungai Batanghari
Warga menyambut tim Milir Berakit Sungai Batanghari dalam perjalanan menyusuri sungai dari hulu ke hilir, Kamis (17/11/2022). Tanpa menggunakan bantuan mesin, rakit melaju pelan-pelan. Tim diperkirakan mencapai hilir dalam lima hari perjalanan.
Beberapa kali Herman tersenyum melihat kami, dua ABK rakit dadakan tampak kepayahan mengayuh. Untungnya, ia tetap sabar menyemangati. ”Ini hanya terasa berat di awal. Kalau sudah dapat celahnya, tidak akan berat lagi mangayuh,” katanya.
Kami pun turun dari atas rakit. Lama tak memijak daratan, terasa ada yang aneh. Dunia seperti bergoyang-goyang. ”Hati-hati kalau sudah turun dari rakit, rasanya masih seperti dibuai-buai di atas air,” candanya.