Membaca Diri Sendiri yang Banal
Berlelah-lelah menggali fakta di lapangan tanpa menuliskannya dengan menarik adalah sia-sia belaka. Kecemasan memikirkannya ditambah soal-soal lain di kepala, lantas mengantarkan saya ke psikolog...
"Kau tidak menulis, Pram. Kau berak!" kata Idrus kepada sastrawan terkemuka Pramoedya Ananta Toer saat keduanya pertama kali bertatap muka. Tanpa tendeng aling-aling dan dengan yakin, nukilan percakapan itu disampaikan oleh Pram sendiri dalam sebuah wawancara film dokumenter bertajuk Mendengar Si Bisu Bernyanyi yang diterbitkan Yayasan Lontar.
Bertahun-tahun kemudian, pada suatu malam, suara berat Pram dalam video—yang saya tonton berulang-ulang—terasa dekat di telinga. Saya lantas membaca kembali sejumlah reportase yang pernah saya tulis selama beberapa tahun ini menjadi wartawan. Suara Pram berubah menjadi suara saya dan berbicara kepada diri sendiri: “Kau tidak menulis, Sucipto…”
Dari beberapa tulisan yang terbit, rasanya apa yang saya lakukan bukanlah menulis, melainkan hanya mencatat. Suatu hal kiwari yang bisa dikerjakan oleh kecerdasan buatan. Dari beberapa tulisan yang saya baca kembali, rasanya hanya seperti 'buah' hasil otak-atik siaran pers belaka. Di titik ini, kemanusiaan saya seperti tercerabut.
Lantas saya ketikkan sejumlah judul feature yang pernah saya buat pada mesin pencari. Beberapa di antaranya saya baca ulang. Deretan kata di layar itu terasa klise sejak judul hingga kalimat pertama.
Cara bertutur, frasa, sudut pandang, dan diksi yang saya buat, tak beda dengan yang sudah-sudah, hanya repetisi yang setiap hari juga dikerjakan banyak orang. Dari liputan lapangan yang saya sarikan menjadi tulisan, saya mengekspresikannya lewat frasa seperti “… adalah kunci”, “asa”, “…dalam harmoni”, dan sejumlah diksi klise lain yang membosankan. Alih-alih menggugat sesuatu dan menjadikannya terang, tulisan itu seperti menggurui.
“Memang tak ada yang baru di bawah matahari, Cip, tapi di manakah kreativitas?”; “Untuk siapa kau menulis?”; “Apa yang kau perjuangkan?” Pertanyaan di kepala itu seperti melilit diri sendiri. Saban hari menulis nyatanya tak membuat seorang wartawan macam saya ini akrab dengan kata-kata, malah semakin berkarat seperti besi tua di pantai.
Saya pun berbicara kepada diri sendiri: menggali fakta itu satu hal, menyajikannya dengan menarik itu hal lain. Di malam yang muram itu, saya kembali menyadari bahwa berlelah-lelah di lapangan untuk menggali fakta tanpa menuliskannya dengan menarik adalah sia-sia belaka. Upaya menggaungkan suara orang-orang yang tak terdengar bisa berujung di tumpukan berita semata.
Belakangan, itu menjadi satu hal yang bercampur dengan soal lain di kepala, lantas mengantarkan saya ke psikolog. Ada deretan masalah yang berjejalan di kepala dan perlu dibereskan dengan dampingan profesional. Aneh rasanya memang membicarakan isi kepala sendiri kepada orang yang tak dikenal. Kendati demikian, rupanya itu banyak membantu.
Baca juga: Di Piala Dunia Qatar, Jangan Coba-coba Dekati Pemain Bintang!
Intertekstual
Di lain waktu, saya membaca kembali “Herman Dijemput Tak Berbaju, Dipulangkan Tak Bernyawa”. Tulisan ini saya garap serius mulai dari foto, video, penggalian fakta, hingga cara menuliskannya.
Reportase panjang itu mengenai Herman, seorang tahanan, yang dipulangkan tak bernyawa dengan tubuh penuh luka basah pada Desember 2020. Beberapa jam sebelumnya, lelaki 39 tahun itu dijemput paksa oleh tiga orang tak dikenal dan dibawa ke Polresta Balikpapan.
Saya membacanya ulang dan menemui kesalahan mendetail. Di tubuh artikel, saya menulis “Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) di Polda Kaltim”. Di tingkat Polda, seharusnya ia adalah “Bidang Propam”, bukan divisi. Tidak awas di tingkat wartawan bakal berujung pada ketidakawasan lanjutan di tingkat editor atau penyelaras bahasa.
Namun, dari tulisan itu saya jadi teringat satu hal: teks tak berdiri sendiri. Teks akan berkait-kelindan dengan teks lain yang memengaruhi penulisnya. “Herman Dijemput Tak Berbaju, Dipulangkan Tak Bernyawa” terpengaruh oleh frasa pada film Jailangkung, “Datang Tak Dijemput, Pulang Tak Diantar”.
Adapun cara bercerita dan sudut pandang tulisan saya ambil secara sadar dari “Hikayat Kebo” karya idola saya, Linda Christanty.
Baca juga : Herman Dijemput Tak Berbaju, Dipulangkan Tak Bernyawa
Dalam kajian sastra, kita mengenal intertekstual, di mana produksi teks tidak bersumber pada satu subjek—dalam hal ini saya sebagai penulisnya. Sebuah teks—diksi, sudut pandang, plot, dan hal lain sejenisnya—yang saya tulis berasal dari berbagai teks lain yang pernah saya baca.
Dengan kata lain, semua hal klise yang pernah saya tulis adalah ujung dari kemiskinan bacaan! Kesadaran itu seperti menghantam saya: “Sejumlah tulisan menjemukan sampai mengantarmu ke psikolog lantaran kau tak membaca. Mungkin kau membaca, tapi yang itu-itu saja!”
Di kemudian hari, di tengah tenggat, saya mencoba membaca kembali halaman awal novel Gabriel García Márquez bertajuk “Seratus Tahun Kesunyian”. Gabo, sapaan akrabnya, membuka cerita dengan kalimat-kalimat panjang laiknya beberapa penulis Amerika Latin lain. Kalimat pembuka itu begitu dahsyat dan diterjemahkan dengan baik oleh Max Arifin.
Dengan kata lain, semua hal klise yang pernah saya tulis adalah ujung dari kemiskinan bacaan!
Bertahun-tahun kemudian, saat ia menghadapi regu tembak, Kolonel Aureliano Buendia mencoba mengenang suatu senja yang jauh ketika ayahnya mengajak dia untuk menemukan es….Dunia seperti baru saja dibentuk, sehingga banyak benda belum mempunyai nama dan untuk menyatakan benda-benda itu kita harus menunjuknya.
Gabo membuka ceritanya dengan kalimat panjang yang tetap menarik, segar, dan memukau. Dalam liputan beberapa waktu lalu, saya menemukan deretan cerita narasumber yang saya rasa pas untuk dibuka dengan cara demikian. Ia berjudul “Mereka yang Rentan di Ibu Kota Baru” dengan paragraf pembuka seperti ini:
Bertahun-tahun setelah melewati beratnya menjadi warga transmigran dari Pacitan, Jawa Timur, Tukinem mengenang tanah yang saat ini ia tinggali, Sepaku. Tanah yang semula baginya antah berantah itu dulu berupa hutan lebat: pohon-pohon tumbuh dengan diameter lebih dari 2 meter, hanya ada jalan setapak, dan masih banyak binatang hutan seperti babi, ular, hingga hewan pengisap darah seperti lintah.
Perempuan 80 tahun itu ingat betul, ia dan almarhum suaminya menyebut tempat bukan dengan nama, melainkan dengan tanda-tanda di sekitarnya, seperti ”di samping sungai”, ”tepi jalan besar”, atau ”di dekat pohon meranti besar”.
Baca juga : Mereka yang Rentan di Ibu Kota Baru
Mungkin upaya saya itu gagal untuk membuka bacaan yang menarik, mungkin tidak. Lebih penting dari hal itu, dari Gabo setidaknya saya belajar bercerita dengan kalimat panjang, tetapi efektif dan memukau. Dari Gabo, saya tak percaya adagium "kalimat yang enak dibaca adalah semata kalimat pendek".
Menurut hemat saya, ada kalanya kalimat panjang dengan penyusunan dan pemilihan kata yang teliti bisa punya kekuatannya sendiri, seperti yang dilakukan Gabo, peraih Nobel Sastra 1982 itu.
Bereksperimen membuat cerita dengan kalimat panjang agaknya menarik, pikir saya kemudian. Memainkan alur yang tak melulu berbentuk kronologis seperti yang Gabo lakukan juga menantang. Saya mencoba menyusun alur dan kalimat panjang di rubrik Tutur Visual yang belakangan terbit dengan judul “Di Gunung, Garam Krayan Tercipta”.
Namun, upaya itu gagal. Saya gagal membuat editor terpukau. Paragraf pembuka yang saya otak-atik cukup lama itu tak dipertahankan editor. Saya menerimanya dan mafhum.
Baca juga: Lidah yang Sulit Berbohong di Piala Dunia Qatar
Saya jadi teringat seloroh Ombudsman Kompas Ashadi Siregar saat mengajar jurnalisme dasar kepada kami, wartawan muda Kompas. “Kadang terlalu rajin tak ada gunanya,” katanya pada suatu siang. Saya ngekek mendengarnya dan baru tempo hari merasakannya.
Lantaran eksperimen terakhir itu gagal, sekadar untuk menghibur diri, saya mengedit lagi paragraf pembuka yang tak lolos kurasi editor itu. Saya mencantumkannya di unggahan instagram pribadi supaya jadi berguna, setidaknya buat saya sendiri.
Di balik reportase-reportase yang pernah saya tulis dan membacanya kembali, saya menginsyafi satu hal: pemilihan kata, penyusunan alur, pemilihan tema, pemilihan narasumber, dan pemilihan sudut pandang dalam sebuah berita adalah tindakan politis seseorang—sebuah pilihan yang dilakukan dengan sadar sekaligus mencerminkan isi kepala dan wawasan si penulis.
Ia akan menemukan pergulatannya sendiri di tengah kerja rutin keredaksian. Tindakan politis itu, yang secara sadar dan tidak sadar saya lakukan, berkait-kelindan dengan kenikmatan berbahasa: mencoba kemungkinan tutur baru, bereksperimen dengan frasa baru, dan percobaan lain. Kadang berujung pada kreativitas berbahasa, kadang berujung kejumudan.