Tindakan Korektif Tak Kunjung Dikerjakan Kemendagri, Ombudsman Malah Digugat ke PUTN
Ombudsman RI digugat oleh Ojat Sudrajat pada 22 Agustus 2022. Gugatan tersebut dilakukan setelah ORI mengeluarkan laporan akhir hasil pemeriksaan dugaan malaadministrasi dalam proses pengangkatan penjabat kepala daerah.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
DOKUMENTASI OMBUDSMAN
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng (kiri), menyerahkan laporan akhir hasil pemeriksaan dugaan malaadministrasi dalam proses pengangkatan penjabat kepala daerah kepada Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro (kanan), disaksikan Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih.
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu tindakan korektif yang diminta Ombudsman Republik Indonesia atau ORI kepada Menteri Dalam Negeri, yakni pembentukan peraturan pemerintah terkait proses pengangkatan penjabat kepala daerah, tak kunjung dilaksanakan. Ironisnya, ORI justru digugat oleh pihak perorangan ke pengadilan tata usaha negara terkait laporan akhir hasil pemeriksaan yang dikeluarkan.
Pada 19 Juli 2022, ORI telah merilis laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) terkait pengaduan soal pengangkatan penjabat kepala daerah. ORI menemukan tiga bentuk malaadministrasi dalam pengangkatan penjabat kepala daerah, yakni penyimpangan prosedur dalam pengangkatan penjabat.
Selain itu, Mendagri dinilai telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang intinya memerintahkan pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana pengisian penjabat kepala daerah. ORI juga menemukan malaadministrasi karena penundaan berlarut oleh Kemendagri dalam memberikan tanggapan atas permohonan informasi dan keberatan dari sejumlah lembaga seputar pengangkatan penjabat.
Atas bentuk malaadministrasi tersebut, Menteri Dalam Negeri diminta mengambil tindakan koreksi dalam waktu 30 hari. Salah satu tindakan korektif tersebut adalah menyiapkan naskah usulan pembentukan peraturan pemerintah (PP) terkait proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja, hingga pemberhentian penjabat kepala daerah.
Hingga saat ini, PP yang diminta oleh ORI tersebut tak kunjung diterbitkan. Namun, justru LAHP ORI digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta oleh Moch Ojat Sudrajat S pada 22 Agustus 2022.
Tangkapan layar Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta. Ombudsman Republik Indonesia digugat oleh Moch Ojat Sudrajat S pada 22 Agustus 2022. Gugatan tersebut dilakukan setelah ORI mengeluarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Dugaan Malaadministrasi dalam Proses Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Nomor Register 0583/LM/VI/2022/JKT yang diumumkan pada 19 Juli 2022.
Dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, Ojat menggugat ORI. Bentuk gugatannya adalah menyatakan batal atau tidak sah penetapan tertulis berupa Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Dugaan Maladministrasi Dalam Proses Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Nomor Register 0583/LM/VI/2022/JKT yang diumumkan pada tanggal 19 Juli 2022. ORI juga diminta mencabut penetapan tertulis LAHP tersebut.
Jadi, kalau Ombudsman merekomendasi itu (peraturan pemerintah) sebagai bentuk adanya malaadministrasi, kan, tidak masalah. Justru aneh kalau orang menggugat. Laporan itu tidak bisa menjadi obyek gugatan di PTUN. Karena syaratnya gugatan di PTUN itu mesti keputusan. Kalau mau didalami, ini bukan obyek yang bisa diperiksa oleh PTUN.
Saat dihubungi di Jakarta, Minggu (28/8/2022), anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, dokumen LAHP tersebut hanya dimiliki oleh Ombudsman dan terlapor, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri. Ia juga tidak memberikan dokumen tersebut kepada pelapor. Robert menyayangkan dokumen tersebut bisa bocor. ”Dokumen itu tidak boleh dimiliki masyarakat,” ucapnya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng (kiri), bersama Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Nurul Ghufron memberikan keterangan kepada wartawan di Gedung Ombudsman, Jakarta, Kamis (10/6/2021). Sebelumnya, Nurul Ghufron mewakili KPK telah memberikan penjelasan kepada Ombudsman terkait dugaan malaadministrasi dalam penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan (TWK) terkait alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.
Dia mengingatkan, ORI memiliki hak imunitas yang tidak dimiliki oleh semua lembaga. Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia disebutkan, dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan.
Kompas meminta tanggapan dari Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan terkait dengan kelanjutan dalam pembuatan aturan teknis pengangkatan penjabat kepala daerah, tetapi tidak direspons.
Dihubungi secara terpisah, pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi, mengatakan, tidak ada masalah dengan LAHP yang dikeluarkan oleh ORI. Menurut Fahmi, aneh apabila ORI dilaporkan ke pengadilan. Apalagi, ORI memiliki kewenangan untuk memeriksa layanan publik apakah memenuhi standar atau tidak dan memberikan laporan untuk perbaikan prosedur.
”Jadi, kalau Ombudsman merekomendasi itu (peraturan pemerintah) sebagai bentuk adanya malaadministrasi, kan, tidak masalah. Justru aneh kalau orang menggugat. Laporan itu tidak bisa menjadi obyek gugatan di PTUN. Karena syaratnya gugatan di PTUN itu mesti keputusan. Kalau mau didalami, ini bukan obyek yang bisa diperiksa oleh PTUN,” katanya.
Menurut dia, seharusnya tindakan korektif yang diminta ORI, yakni membuat PP dalam pengangkatan penjabat kepala daerah, segera dilaksanakan oleh Kemendagri. Itu satu-satunya cara pemerintah pusat agar tidak dipertanyakan lagi dalam pemilihan penjabat kepala daerah.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menambahkan, aneh kalau ORI digugat oleh masyarakat ketika sedang menjalankan wewenang untuk melindungi publik dari malaadministrasi. Pilihan ORI untuk merespons laporan dari pelapor merupakan wewenang yang diatur undang-undang.
”Oleh karena itu, berdasarkan UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, langkah ORI merespons dan memutus perkara yang diajukan ICW (Indonesia Corruption Watch) sudah tepat. Bahkan, harus disampaikan terbuka kepada seluruh pihak karena menyangkut kepentingan masyarakat luas,” kata Feri.
Adapun selain ICW, pihak pelapor adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).