Masa Jabatan Penjabat Kepala Daerah yang Terlalu Lama Berisiko
Pada 2022 dan 2023 ada 271 posisi kepala daerah yang kosong. Penjabat kepala daerah akan mengisi sementara posisi lowong itu atau hingga pilkada serentak nasional 2024 tuntas digelar.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masa jabatan penjabat kepala daerah yang terlalu lama dinilai berisiko memunculkan setumpuk problem. Salah satunya kemungkinan tergoda menyelewengkan kekuasaan hingga korupsi dan kolusi. Karena itu, pemerintah perlu mencegah potensi problem itu betul-betul terjadi sebelum ratusan daerah dipimpin penjabat menyusul berakhirnya masa jabatan kepala/wakil kepala daerah, mulai pertengahan tahun ini.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pada 2022, ada 101 kepala dan wakil kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya. Bahkan, pada Mei 2022, sudah harus ada penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah di 5 provinsi, 6 kota, dan 37 kabupaten. Kemudian pada 2023, akan ada 170 kepala dan wakil kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya.
Sesuai amanat Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), daerah yang masa jabatan kepala/wakil kepala daerahnya berakhir sebelum pilkada serentak nasional pada 2024 tuntas, akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah.
Dalam diskusi bertajuk ”Bentuk Ideal Pengisian Kekosongan Jabatan Kepala Daerah Tahun 2022 dan 2023” yang diselenggarakan oleh Institut Otonomi Daerah, Kamis (10/2/2022), Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengingatkan, penjabat kepala daerah yang diangkat pada 2022 dan 2023 bisa menjabat satu tahun hingga hampir tiga tahun atau hingga kepala/wakil kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024 dilantik. Situasi ini sangat mengkhawatirkan bila jabatan itu diserahkan kepada aparatur sipil negara (ASN) yang sulit fokus memimpin wilayahnya.
Ia juga khawatir apabila mereka menjabat terlalu lama, bisa membuat para penjabat kepala daerah tersebut tergoda menyelewengkan kekuasaan, korupsi, dan sebagainya. Sebab, ASN tersebut akan menangani anggaran pendapatan dan belanja daerah(APBD).
Mereka juga harus berhadapan dengan para politisi daerah di DPRD untuk pembahasan anggaran. Hal ini tentu akan menjadi kendala besar karena ASN tidak dilatih untuk urusan politik praktis.
”Pengangkatan penjabatkepala daerah tersebut bisa jadi muncul kolusi, suap, yang dibiayaipihak tertentu yang memiliki kepentingan atas daerah tersebut agar semua kepentingan pemodal dapat berjalan lancar,” kata Djohermansyah.
Penjabat yang tidak memiliki visi-misi di wilayah penugasannya, menurut Djohermansyah, akan memunculkan persoalan baru dalam menggerakkan pembangunan di daerahnya. Berbeda dengan kepala daerah yang melewati pilkada. Mereka dipilih rakyat, punyalegitimasi kuat, serta memiliki visi-misi dan program dalam membangun wilayahnya.
Perpanjangan jabatan
Belum lagi daerah-daerah yang rentan konflik. Penjabat kepala daerah yang ditunjuk harus memahami bukan hanya masalah program kerja pemerintahan daerahnya saja, melainkan juga mengetahui masalah penanganan konflik.
”Untuk sebuah negara yang menganut sistem demokrasiakan lebih sehat dan bermanfaat bila dilakukan perpanjangan masa jabatan. Selain kepala daerah tersebut punya legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh rakyatnya, mereka juga sudah berpengalaman lama,” kata Djohermansyah.
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis sepakat persoalan bisa timbul jika penjabat kepala daerah memiliki masa jabatan yang terlalu lama. Tak sebatas itu, menurut dia, tidak tepat jika pemilihan penjabat kepala daerah dilakukan hanya dengan ditunjuk. Untuk diketahui, penjabat gubernur akan ditunjuk oleh Presiden sedangkan penjabat bupati/wali kota akan ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri.
Adapun menurut peneliti senior politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, untuk mencegah problem yang mungkin muncul dari penunjukan penjabat kepala daerah, perekrutan penjabat harus dipertimbangkan secara serius dan profesional. Dampak penjabat yang memimpin pembangunan daerah dan kehidupan politik lokal harus diantisipasi.
Ia mengingatkan, seorang kepala daerah tidak hanya memimpin pemerintahan, tetapi menjadi panutan yang akan diteladani masyarakat.
”Kepala daerah tidak sekadar kepala pemerintahan, tetapi dianggap tokoh adat dan sebagainya. Kepala daerah akan disorot secara saksama dan menjadi panutan serta acuan,” kata Siti.
Menurut Ketua Dewan Adat Papua Barat Mananwir Paul Finsen Mayor, Papua dan Papua Barat sebagai daerah dengan otonomi khusus, penunjukan penjabat kepala daerah akan menyakitkan masyarakat Papua. Dengan kondisi keamanan dan ketertiban di Papua yang kerap bergejolak, dibutuhkan tokoh karismatik untuk memimpin masyarakat.
Adapun Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua Barat Ahmad Nassau khawatir, dengan adanya penjabat kepala daerah, kewenangan yang dimiliki Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai daerah otonomi khusus, akan ditarik ke pemerintah pusat. Hal itu akan menjadi masalah di Papua.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benni Irwan mengatakan, saat ini Kemendagri masih mempersiapkan teknis administratif dalam pengisian jabatan kepala daerah yang akan kosong di 2022 dan 2023. Kemendagri masih mengidentifikasi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya akan berakhir untuk persiapan proses pengisian tersebut.