Melihat kompleksitas Pemilu 2024, dibutuhkan penyelenggara yang tangguh. Kehadiran perempuan sebagai penyelenggara pemilu juga amat diperlukan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggara pemilu menjadi salah satu faktor keberhasilan sebuah pemilu yang berdampak terhadap kepercayaan pada pemimpin yang dihasilkan. Melihat tantangan Pemilu 2024, dengan pemilihan legislatif, pemilihan presiden, serta pemilihan kepala daerah diselenggarakan pada tahun yang sama, dibutuhkan penyelenggara pemilu yang tangguh.
Masa jabatan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat ini akan berakhir pada April 2022. Berdasarkan Pasal 22 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pembentukan tim seleksi ditetapkan dengan keputusan presiden dalam waktu paling lama enam bulan sebelum berakhirnya masa jabatan KPU.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Tim seleksi berjumlah 11 orang yang terdiri dari 3 dari pemerintah, 4 dari akademisi, dan 4 unsur masyarakat, dengan keterwakilan perempuan 30 persen. Selain menyeleksi calon anggota KPU, tim seleksi juga menyeleksi calon anggota Bawaslu pada saat bersamaan.
Pengajar Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta dan anggota KPU periode 2007-2012, Endang Sulastri, mengatakan, Pemilu 2024 merupakan pertama kali seluruh penyelenggaraan pemilu dilakukan pada tahun yang sama. Karena itu, penyelenggara pemilu harus diisi orang yang tidak hanya kredibel dan kapabel, tetapi juga tangguh dari sejumah sisi.
”Mereka juga harus memiliki ketangguhan dalam manajemen dan leadership, mulai dari perencanaan, koordinasi, antisipasi terhadap dinamika perubahan, membangun kerja sama, evaluator dan monitoring, sampai pada ketangguhan mental dalam menghadapi godaan ataupun tekanan,” kata Endang, Jumat (27/8/2022).
Pernyataan tersebut disampaikan Endang dalam webinar bertajuk ”Rekrutmen Penyelenggara Pemilu dan Upaya Menjawab Tantangan Pemilu 2024” yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Endang menegaskan, lembaga penyelenggara pemilu yang dihasilkan dalam proses rekrutmen juga harus mampu menjawab persoalan pelaksanaan pemilu pada masa lalu, sekaligus mewujudkan harapan publik dan visi pemilu ke depan.
Ia mengatakan, tim seleksi memegang peran strategis dalam memastikan lahirnya penyelenggara pemilu yang profesional, kredibel, dan berintegritas. Kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemilu dimulai dari proses rekrutmen termasuk keberadaan tim seleksinya.
”Kepercayaan terhadap penyelenggara pemilu akan berpengaruh terhadap kepercayaan pada proses dan hasil pemilunya. Bahkan, pada akhirnya, ketidakpercayaan kepada penyelenggara pemilu bisa berakibat fatal, sampai ketidakpercayaan kepada pemimpin yang dihasilkan,” tutur Endang.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, melihat kompleksitas pada Pemilu 2024, dibutuhkan penyelenggara yang siap dan kuat. Mereka harus memiliki pemahaman dan pengalaman terhadap kepemiluan. Mereka juga harus memiliki integritas dan independensi.
Ia mengingatkan, ketika ada persoalan terkait integritas yang melibatkan penyelenggara pemilu, orang menjadi tidak percaya pada pemilu dan demokrasi. Karena itu, faktor integritas menjadi penting.
Doli menuturkan, tidak ada perubahan regulasi undang-undang untuk menghadapi Pemilu 2024. Selain KPU dan Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga memiliki peran yang besar. Ketiganya diharapkan memahami tugas pokok dan fungsinya sehingga tidak berbenturan dengan institusi lain.
Ia juga mengingatkan agar DKPP tidak terlibat dengan institusi lain demi menjaga etik dan moral. Mereka harus mempunyai kewibawaan dan tidak ada kepentingan personal untuk bisa menjadi penengah.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, melihat kompleksitas Pemilu 2024, dibutuhkan penyelenggara yang tangguh. Ia menegaskan pentingnya kehadiran perempuan pada penyelenggara pemilu.
Khoirunnisa mengungkapkan, KPU periode 2012-2017 bisa memasukkan aturan di peraturan KPU bahwa partai yang tidak memenuhi 30 persen kuota pencalonan perempuan bisa didiskualifikasi. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya keterwakilan perempuan di KPU. Begitu juga Bawaslu memerlukan perspektif perempuan dalam penyelesaian pelanggaran.