Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tak memenuhi syarat hasil tes wawasan kebangsaan semestinya tidak diberhentikan. Penguatan wawasan kebangsaan bisa menjadi solusi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/NIKOLAUS HARBOWO/SUSANA RITA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS, — Di tengah polemik mengenai kelanjutan nasib 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi aparatur sipil negara berdasarkan hasil tes wawasan kebangsaan, ada solusi selain pemberhentian yang bisa diambil oleh pimpinan lembaga antirasuah itu. Para pegawai semestinya bisa tetap dipertahankan sembari diberikan kesempatan memperkuat wawasan kebangsaan.
Mahkamah Konstitusi, melalui putusan Nomor 70/PUU-XVII/2019, memerintahkan, proses alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN) tidak boleh merugikan satu pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun.
Meskipun klausul tersebut terdapat dalam pertimbangan putusan, itu bersifat mengikat karena merupakan satu kesatuan dengan amar putusan. Karena itu, pimpinan KPK semestinya menaati putusan MK dan tidak boleh melempar tanggung jawab atas pengalihan status kepegawaian kepada lembaga lain, baik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi maupun Badan Kepegawaian Negara.
”Amar putusan itu tidak berdiri sendiri. Ada pertimbangan yang menjelaskan amar tersebut. Oleh karena itu, pimpinan KPK terikat pada putusan MK yang bersifat erga omnes (untuk semua). Putusan sudah dibacakan sehingga harus ditaati. Pimpinan KPK tidak boleh melempar bola ke Kementerian PAN dan RB serta BKN,”ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang Feri Amsari, Rabu (5/5/2021).
Sebanyak 1.351 pegawai KPK mengikuti tes wawasan kebangsaan sebagai syarat pengalihan status menjadi ASN. Dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu kemarin, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebutkan, sebanyak 1.274 orang memenuhi syarat, sedangkan 75 orang tidak memenuhi syarat, dan 2 orang lain tidak hadir dalam tes wawancara.
Dijelaskan, untuk bisa diangkat menjadi ASN, pegawai KPK harus memenuhi syarat setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia, serta pemerintahan yang sah. Selain itu, pegawai tersebut tidak terlibat kegiatan organisasi yang dilarang pemerintah dan atau putusan pengadilan, serta memiliki integritas dan moralitas yang baik. Asesmen yang dilakukan KPK bersama Badan Kepagawaian Negara, Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis TNI, Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat, Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bertujuan untuk mengukur integritas, netralitas, serta antiradikalisme.
Hingga kemarin, nasib 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat wawasan kebangsaan belum diputuskan. Sekretaris Jenderal KPK Cahya H Harefa menjelaskan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kemenpan RB sebelum memutuskan tindak lanjut terhadap 75 pegawai yang tak memenuhi syarat menjadi ASN. KPK juga belum pernah menyatakan akan memecat 75 pegawai yang tak memenuhi syarat sebagai ASN tersebut. ”Selama belum ada penjelasan dari Kementerian PAN-RB dan BKN, KPK tidak akan memberhentikan 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat,” ujarnya.
Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan, lembaga yang ia pimpin tidak punya kepentingan apa pun untuk mengusir pegawai dari lembaga antirasuah itu. Hasil tes wawasan kebangsaan juga baru diumumkan sekarang karena KPK menunggu putusan MK terkait uji materi UU No 19/2019.
Saat dikonfirmasi, Meneri PAN dan RB Tjahjo Kumolo mengaku tidak pernah mengetahui soal tindak lanjut terhadap 75 pegawai KPK tersebut. Itu karena Kementerian PAN dan RB tidak pernah terlibat dalam proses seleksi pegawai KPK. ”Saya tidak tahu. Sejak awal, kan, ini masalah internal KPK,” ujar Tjahjo.
Ia menegaskan, dasar tes pegawai KPK adalah peraturan komisioner KPK. Kemudian, proses seleksi dilakukan dengan kerja sama antara KPK dan BKN. Setelah itu, menurut dia, sepenuhnya menjadi kewenangan pimpinan KPK. ”Hasil diserahkan kepada pimpinan KPK. Ya, sudah selesai. Kok, dikembalikan ke Kementerian PAN dan RB. Dasar hukumnya apa? Ini, kan, internal rumah tangga KPK,” ucap Tjahjo.
Dugaan pelemahan
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap menengarai, tes wawasan kebangsaan tidak bisa dilepaskan dari konteks pelemahan pemberantasan korupsi yang telah terjadi sejak UU KPK direvisi. Itu karena tes ini dapat berfungsi menjadi filter untuk menyingkirkan pegawai KPK yang berintegritas, profesional, dan memiliki posisi strategis dalam penanganan kasus-kasus besar di KPK.
Jika ditelisik lebih jauh, ke-75 orang yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan terdiri atas tiga kategori pegawai. Itu antara lain Kepala Satuan Tugas, Satuan Tugas (Satgas) yang menangani perkara megakorupsi dan korupsi politik, serta pimpinan lembaga yang bisa memengaruhi kebijakan pemerantasan korupsi, seperti kepala biro atau pimpinan divisi.
Padahal, MK, dalam putusannya, telah menegaskan, proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN seperti diatur dalam Ketentuan Peralihan UU No 19/2019 tidak boleh merugikan hak pegawai lembaga antirasuah itu dengan alasan apa pun. ”Berkaitan dengan hal tersebut, sudah seharusnya pimpinan KPK sebagai pemimpin lembaga penegakan hukum menjalankan putusan MK secara konsisten dengan tidak menggunakan TWK sebagai ukuran baru dalam proses peralihan yang menyebabkan kerugian hak pegawai KPK,” kata Yudi.
Penguatan wawasan kebangsaan
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Arsul Sani, mengingatkan, KPK dan instansi pemerintah lain, seperti Kementerian PAN dan RB ataupun BKN, tidak bisa memperhentikan 75 pegawai KPK. Ini karena sejak pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK pada September 2019, pemerintah dan DPR telah menyepakati perubahan status kepegawaian bukan ditujukan untuk mengurangi dan menyingkirkan para pegawai KPK.
”Semangat yang ada pada pemerintah dan DPR ketika menyepakati dalam pembahasan revisi UU KPK, perubahan status pegawai KPK menjadi ASN bukan untuk mengurangi maupun menyingkirkan satu orang pun. Ini menjadi semacam gentlement agreement pemerintah dan DPR saat penyusunan UU KPK,” kata Arsul.
Karena itu, para pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan tak boleh diberhentikan, kecuali mereka sendiri yang memutuskan untuk mengundurkan diri. Hal yang harus dilakukan adalah memberi kesempatan kepada 75 pegawai KPK itu untuk meningkatkan wawasan kebangsaan melalui pembinaan oleh instansi-instansi terkait, seperti Lemhannas dan lainnya.
Namun, Arsul mengingatkan, pembinaan wawasan kebangsaan itu tidak boleh digunakan untuk mengintervensi atau mengurangi independensi para pegawai KPK tersebut dalam melakukan tugas-tugas penegakan hukum. ”Sebagian dari mereka adalah penegak hukum yang berstatus penyelidik atau penyidik, di mana independensi adalah sesuatu yang harus melekat pada fungsi dan tugas mereka. Oleh karena itu, jangan sampai kemudian pembinaan wawasan kebangsaan dimanfaatkan untuk melakukan intervensi atau mengurangi independensi mereka,” ujarnya.