Kasus dugaan suap proyek infrastruktur yang menjerat Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah menunjukkan sistem pengadaan barang dan jasa bermasalah. Perbaikan sistem, khususnya transparansi lewat e-katalog, mendesak dilakukan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO DAN RENY SRI AYU
·4 menit baca
Sistem pengadaan barang dan jasa di sejumlah daerah selama ini dinilai masih bermasalah. Penangkapan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah mengonfirmasi hal itu. Pembenahan, khususnya dalam transparansi, diperlukan.
JAKARTA, KOMPAS — Kasus dugaan suap terkait proyek infrastruktur yang menjerat Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah menunjukkan bahwa sistem pengadaan barang dan jasa masih juga bermasalah. Perbaikan sistem, khususnya transparansi melalui penggunaan e-katalog, mendesak dilakukan.
Selama ini, e-katalog dalam pengadaan barang dan jasa terbatas digunakan untuk proyek bernilai di bawah Rp 50 juta. Sementara untuk proyek infrastruktur senilai miliaran rupiah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mencari cara menuju transparansi.
Sebelumnya, KPK menangkap dan menetapkan Nurdin Abdullah sebagai tersangka penerima suap terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan, serta pembangunan proyek infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan 2020-2021.
KPK juga menjadikan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum Sulsel Edhy Rahmat sebagai tersangka dengan Direktur PT Agung Perdana Bulukumba Agung Sucipto selaku pemberi suap. KPK menyita uang Rp 2 miliar yang diduga diberikan Agung kepada Nurdin melalui Edhy. KPK menduga itu bukan pemberian pertama.
Penangkapan Nurdin mengejutkan sejumlah pihak. Sebab, ia penerima beberapa penghargaan, salah satunya Bung Hatta Anti-Corruption Award pada 2017.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengakui, Nurdin merupakan salah satu kepala daerah yang bersih. Bahkan, sepekan lalu, Nurdin sepakat akan membuat e-katalog provinsi untuk pembelian bernilai di bawah Rp 50 juta.
KPK menangkap dan menetapkan Nurdin Abdullah sebagai tersangka penerima suap terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan, serta pembangunan proyek infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan 2020-2021.
Menurut Pahala, pengadaan yang dilakukan Nurdin sudah menggunakan lelang karena nilainya di atas Rp 200 juta. Namun, persoalan berada dalam sistem pengadaannya.
”Sistemnya lemah. Sistem pengadaannya masih bisa diterobos,” kata Pahala, Minggu (28/2/2021).
Hanya formalitas
Lebih lanjut, ia mengatakan, di daerah, pengadaan barang dan jasa untuk proyek infrastruktur masuk pada kelompok kerja yang pegawainya rata-rata merupakan pegawai honorer. Hal ini membuat mereka mudah mengikuti keinginan kepala dinas ataupun kepala daerah. Unit kerja pengadaan barang/jasa (UKPBJ) juga tidak berjalan. Sistem pengadaan yang sudah diatur dalam praktiknya tidak dilaksanakan.
Sejumlah proyek sudah dikuasai kepala daerah, DPRD, dan partai politik. Pahala mengatakan, mereka sudah memiliki kontraktor yang ditunjuk untuk mengerjakan proyek itu. Dalam proses tersebut, biasanya ada biaya pendamping. Situasi itu membuat kontraktor lainnya menghindar.
Di sisi lain, pengusaha membagi-bagi proyek. Sebab, mereka berada di asosiasi yang sama. Lelang yang dilakukan hanya formalitas. Akibatnya, tidak tercipta kompetisi yang sehat.
Pahala mengungkapkan, tak mudah untuk memperbaiki sistem pengadaan barang dan jasa ini. Untuk barang/jasa yang kecil dengan harga di bawah Rp 50 juta dapat menggunakan e-katalog.
Adapun untuk pengadaan barang/jasa konstruksi dengan nilai yang besar, KPK sedang mengupayakan agar harga bahan dalam perencanaan ditampilkan di website sebagai bentuk transparansi dan menjaga kewajaran harga.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, mengatakan, kasus yang dialami Nurdin menunjukkan pentingnya pengawasan terhadap proyek infrastruktur secara keseluruhan. Menurut Egi, pengawasan publik tak boleh melemah, termasuk terhadap sosok yang dikenal bersih saat menjadi pejabat publik.
Menurut dia, pejabat publik memiliki kewenangan yang besar sehingga potensi penyelewengan selalu terbuka. Karena itu, pengawasan menjadi sangat krusial di tengah masifnya pembangunan proyek infrastruktur yang dilakukan pemerintah.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menuturkan, ketika masih menjabat Bupati Bantaeng, lingkungan politik Nurdin masih terbatas. Ia pun bisa menjaga integritasnya. Situasi berubah saat Nurdin menjabat Gubernur Sulsel. Lingkungan politiknya lebih luas dan kompleks, ia pun gagal mempertahankan integritas.
Menurut Azyumardi, pejabat yang semula antikorupsi bisa kehilangan integritas jika tidak bisa menghadapi lingkungan politik dan bisnis yang koruptif. Mereka bisa terseret pada tindakan koruptif. ”Sistem, proses politik, dan orang atau kelompok bisa saja koruptif. Namun, jika pejabat itu tegar menjaga integritasnya, dia bisa selamat dari korupsi sampai akhir masa jabatan,” tutur Azyumardi.
Siap diperiksa
Juru bicara Gubernur Sulsel, Veronica Moniaga, mengatakan, pihak keluarga Nurdin menghormati dan kooperatif dengan proses hukum yang berjalan di KPK. Pihak keluarga akan memberikan keterangan kepada KPK apabila diminta.
Ternyata, Edhy melakukan transaksi tanpa sepengetahuan saya. Itu saja. Saya sama sekali tidak tahu.
Selain uang Rp 2 miliar, Nurdin diduga menerima pemberian dari kontraktor lain. Pada akhir 2020, Nurdin diduga menerima Rp 200 juta. Lalu, pada awal Februari 2021, Nurdin melalui ajudannya, Samsul Bahri, menerima Rp 2,2 miliar dan pada pertengahan Februari 2021 Nurdin kembali menerima uang Rp 1 miliar melalui Samsul.
Sementara Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, Nurdin merupakan orang yang baik. Namun, dalam situasi ini, PDI-P tetap mendukung KPK dalam memberantas korupsi.
Menurut Hasto, Nurdin sudah menghubungi Ketua DPD PDI-P Sulsel Andi Ridwan Wittiri dan mengatakan akan bertanggung jawab. Nurdin mengaku tidak melakukan apa yang disangkakan kepadanya.
Sebelumnya, seusai ditetapkan tersangka oleh KPK, Nurdin mengaku ikhlas menjalani proses hukum. Ia mengaku tidak mengetahui apa yang terjadi. ”Ternyata, Edhy melakukan transaksi tanpa sepengetahuan saya. Itu saja. Saya sama sekali tidak tahu,” kata Nurdin kepada wartawan.