Efektivitas kerja pemerintahan tak cukup hanya dengan perampingan birokrasi. Perlu perubahan budaya kerja, selain mengatasi disharmoni regulasi dan koordinasi antarinstansi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Efektivitas kerja pemerintahan belum sesuai harapan. Hal ini terutama di tengah pandemi Covid-19 ketika efektivitas dibutuhkan guna menghadapi pandemi sekaligus dampak-dampaknya. Ada kekhawatiran terobosan-terobosan kebijakan akan berdampak persoalan hukum, selain problem disharmoni regulasi yang membuat kerja birokrasi belum optimal.
Inefektivitas kerja pemerintahan jadi persoalan yang belum teratasi dari pemerintahan ke pemerintahan. Di tengah pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin berulang kali mengeluhkan kerja birokrasi yang lambat dan masih berbelit-belit. Keduanya pun selalu meminta birokrasi agar menciptakan terobosan-terobosan, terutama saat negara kini dihadapkan pada persoalan pandemi Covid-19. Namun, permintaan itu sejauh ini belum terwujud.
Hal ini setidaknya terlihat dari rendahnya realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), hingga 27 Agustus 2020, realisasi belanja APBD baru sekitar 43,04 persen. Adapun untuk kementerian/lembaga baru sekitar 48 persen. Padahal, anggaran 2020 bakal berakhir empat bulan lagi. Di sisi lain, anggaran belanja tersebut diharapkan lebih cepat diserap agar dapat memacu perekonomian yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan saat dihubungi, akhir pekan lalu, mengatakan, masih ada kekhawatiran di antara aparatur sipil negara bahwa mereka akan terjerat persoalan hukum jika menciptakan terobosan-terobosan. Hal ini terutama jika menyangkut penggunaan anggaran. Oleh karena itu, mereka kerap menunda pekerjaan sampai turunnya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Bahkan, tak jarang, mereka terlebih dulu meminta persetujuan legislatif.
”Itu menjadi jalur panjang untuk dilalui oleh birokrasi untuk bisa mereka aman (dari hukum) juga. Itu hukum besi birokrasi,” ujarnya.
Selain itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng melihat, sering kali terjadi disharmoni regulasi yang membuat aparatur birokrasi bingung.
Yang terbaru, ia mencontohkan kebingungan yang dihadapi pemerintah desa setelah terbit Surat Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor S.2294/ HM.01.03/VIII/2020 tanggal 4 Agustus 2020 tentang gerakan 500 juta masker.
”Ini problem banget. Di desa, sebagian besar dana desa sudah terpakai untuk hal-hal lain, entah itu BLT (bantuan langsung tunai), atau pelaksanaan program di desa. Nah, sekarang, Mendes keluarkan surat edaran yang sifatnya wajib, lalu dananya dari mana?” tuturnya.
Persoalan koordinasi di antara instansi pemerintah, dilihat Robert, juga masih mengemuka. Salah satunya terlihat dalam penyaluran bantuan sosial untuk masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Akibat dari persoalan itu, masih banyak terjadi salah sasaran dalam pemberian bantuan. ”Membangun basis data yang solid dan sama dari pusat hingga daerah masih jadi pekerjaan rumah yang besar,” ujarnya.
Asistensi APIP
Terkait anggaran, Mendagri Tito Karnavian mengakui, masih ada kekhawatiran di kalangan aparatur akan terjerat persoalan hukum sehingga anggaran lambat dibelanjakan.
Untuk itu, ia mendorong agar peran serta aparat pengawas internal pemerintah (APIP) ikut diperkuat dalam memberikan asistensi dan pengawasan penyelenggaraan program dan kegiatan pemerintah daerah.
Selain persoalan itu, ia melihat daerah terlalu tinggi menetapkan target pendapatan tanpa memperhatikan potensi yang dimiliki. Hal ini diperparah di tengah pandemi, pendapatan daerah, di antaranya pungutan terhadap potensi pajak dan retribusi, kurang optimal. Masalah lain, terjadinya pengurangan dana transfer dari pusat akibat penerimaan negara yang ikut berkurang akibat pandemi. Akibat persoalan-persoalan itu, pemerintah daerah hati-hati membelanjakan anggarannya.
”Mereka hati-hati belanja dengan memperhatikan cashflow pendapatan,” ujar Tito.
Untuk mendorong pendapatan daerah, Tito meminta daerah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi sumber- sumber pendapatan. Optimalisasi teknologi pun dibutuhkan untuk mengejar pendapatan daerah.
Penyederhanaan birokrasi
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo mengakui, salah satu tantangan yang masih dihadapi adalah mengefektifkan kerja pemerintahan.
Untuk itu, Kemenpan dan RB terus berupaya menyederhanakan birokrasi. Salah satunya dengan memangkas eselon III hingga V. Sejak kebijakan pemangkasan dicetuskan Presiden Joko Widodo pada awal periode kedua pemerintahannya, hingga kini, proses pemangkasan birokrasi itu sudah berjalan 60 persen. Total jabatan yang telah dihapus di tingkat kementerian/lembaga sebanyak 24.644 jabatan.
”Targetnya, bulan Desember (tahun ini) selesai. Saya optimistis target tersebut bisa tercapai,” ujarnya.
Selain itu, peleburan lembaga non-struktural (LNS) pun terus dilakukan. Presiden, pada periode pertama pemerintahannya, sudah melebur 23 lembaga. Kemudian, beberapa waktu lalu, Presiden membubarkan 18 tim kerja, badan, dan komite. Di luar itu, Kemenpan dan RB telah mengajukan pembubaran 18 LNS.
Guru Besar Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Sofian Effendi mengingatkan, upaya debirokratisasi tersebut harus dibarengi dengan deregulasi.
Selain itu, penting pula dibarengi perubahan budaya kerja birokrasi menjadi inovatif, berani mengambil terobosan, dan kerja keras. Untuk ini, perlu dilakukan perombakan pada kurikulum pendidikan dan pelatihan calon birokrat.